Di musim semi 1958 itu Ciro Bustos berusia 26 tahun. Ia berada di rumah mertuanya, sedang memanggang barbekyu. Saat itulah, untuk pertama kali, ia mendengar suara seorang lelaki, pria Argentina, dokter yang usianya 4 tahun lebih tua darinya, yang berjuang bersama Fidel Castro di pegunungan tenggara Kuba. Pemilik suara itu: Che Guevara.
"Cara Che berbicara, cara dia menjawab pertanyaan, benar-benar berbeda dari Castro," kata Ciro Busto, yang ingat betul siaran tersebut, meski waktu telah berselang 50 tahun, seperti dimuat Guardian.
"Tak ada yang bombastis, tak ada sikap sok primadona. Seperti sedang bicara dengan saudara Anda sendiri, sangat normal, begitu tenang. Suara itu lah yang menggerakkan hatiku."
Wawancara yang disiarkan Radio El Mundo Minggu itu adalah panggilan bagi jiwa Bustos. Suara Che Guevara -- juga perjuangan politiknya menggerakkan Bustos ke Kuba, Cekoslovakia, Aljazair dan kembali ke Argentina, sebelum ekspedisi Bolivia yang berakhir bencana tahun 1967, yang menghilangkan nyawa Che.
Che tewas sebagai pahlawan, dan Bustos -- meski selamat-- namanya tercoreng selama berabad-abad. Sebagai pengkhianat.
Bustos dianggap sebagai orang yang mengkhianati Che dan rekan seperjuangannya, dengan menyerahkan sketsa wajah mereka ke para interogator yang menangkapnya saat ia keluar dari hutan di Bolivia atas perintah Guevara.
Hingga akhirnya, pada 2007, memoarnya yang berjudul "Che Wants to See You". Burtos ingin mengembalikan nama baiknya.
Buku, yang baru-baru ini terbit dalam Bahasa Inggris, didahului kutipan orang besar Argentina, Jorge Luis Borges: "Selain itu, kita tidak tahu apakah alam semesta nyata atau fantasi belaka."
Memoar Bustos berisi tulisan yang ditulis pihak lain tentang Guevara, kumpulan klaim -- juga bantahan klaim, juga pengalaman yang bagi bersama Guevara.
"Semua hal yang terjadi, hal baik juga semua kesalahan, seolah imajiner, seolah dibuat-buat," katanya.
Mitos Pengkhianat
Melalui bukunya, Bustos ingin mengenyahkan mitos bahwa ia "menjual" jiwa Guevara demi keselamatannya sendiri.
Menurut Bustos, seandainya wartawan saat itu terus mencari dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, ia akan menceritakan yang sebenarnya. Tak ada yang mau mendengar dari sisi dia, sampai wartawan AS, Jon Lee Anderson melacaknya hingga Malmo pada 1995.
"Aku tak bisa menjelaskan mengapa pers kala itu melakukannya, tapi penulis Argentina, Tomas Eloy MartÃnez pernah mengatakan: 'di mana ada pahlawan, pasti ada pengkhianat'. Itu yang diciptakan pers."
Bustos masih ingat pertemuan pertamanya dengan Guevara, di kantor kementerian industri di Havana. Che, kata dia, orang yang sangat rendah hati. "Tak seperti yang kubayangkan sebelumnya, ia sangat baik. Sebelumnya, apa yang kutahu tentang dia adalah apa yang kulihat di foto, kudengar di radio, dan apa yang pers sampaikan," kata dia.
"Saat bertemu langsung, aku melihat dia sebagai sosok yang sama sekali tak angkuh. Ia juga punya selera humor, di saat yang tepat."
Bustos dan beberapa orang lain dilatih dalam pemberontakan di Kuba dan Aljazair dan kemudian dikirim ke Argentina utara untuk membangun jaringan gerilya. Dilatih oleh Jorge Ricardo Masetti, yang bengis, yang lantas tewas di hutan.
Ke luar hutan, Bustos melanjutkan membangun jaringan revolusioner di Argentina. Tiga tahun kemudian, pada 1967, Che memintanya untuk bergabung dengan gerakan gerilya di Bolivia, ketika ia berharap untuk menggerakkan revolusi. Namun, ia tertangkap.
Bustos diinterogasi selama 3 minggu. Kata dia, CIA dan militer Bolivia sudah tahu segalanya, termasuk jumlah gerilyawan yang terlibat. Bustos mengiyakan saja saat ditanya apakah ia seorang seniman, dan setuju menggambar wajah para gerilyawan, rekan-rekannya sendiri, untuk membuktikan ia tak bohong.
"Aku mengambil kesempatan dan menggambar," kata Bustos. Gerilyawan toh akan tewas, apa bedanya? Tak ada. Tapi orang-orang yang bekerja secara sembunyi-sembunyi (di Argentina) yang harus dilindungi," kata dia.
Dan kini, 46 tahun setelah ia menggambar sketsa wajah rekan-rekannya -- yang akhirnya tewas dieksekusi, Bustos masih yakin, ia melakukan hal yang benar. "Terus terang aku marah karena orang-orang terus bicara soal gambar-gambar itu. Mereka hanya mengambil sepotong tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi."
Beberapa bulan kemudian, pada hari ia dan rekannya, Regis Debray, dijatuhi hukuman 30 tahun penjara oleh pengadilan militer Bolivia, Bustos tahu bahwa Guevara telah ditangkap dan dieksekusi.
Mendengar berita itu, ia merasa "seolah-olah peluru yang membunuhnya (Che) telah menerjang saya. Saat itu saya merasa kehilangan seorang pemimpin, saudara, dan teman, semuanya, pada saat bersamaan."
Tak sampai 30 tahun, Bustos dan Debray dibebaskan pada Desember 1970 setelah seorang jenderal sayap kiri mengambil alih kekuasaan di Bolivia. Ia sempat pulang ke Argentina lalu mengungsi ke Swedia pada 1976 saat hidupnya terancam algojo sayap kanan yang ingin mengenyahkan pembangkang.
Che Akan Sedih..
Meskipun bertahan hidup selama bertahun-tahun, ada penyesalan mengganjal di hati Bustos. "Orang-orang yang meninggal membayar harga termahal," katanya. Sementara dia masih hidup dan menyaksikan keluarga dan keturunannya bertumbuh.
Penyesalan lain adalah tentang nasib Guevara. Lima dekade sejak Che ditembak di sekolah kumuh di Bolivia selatan, Bustos telah menyaksikan status legenda Che justru menghilangkan realitas pejuang itu.
Menurut Bustos, salah satunya adalah gambar Che yang ada di kaus-kaus di seluruh dunia. Menurut dia, Guevara akan merasa sedih, juga ngeri, jika mengetahui bahwa gambar sosoknya telah menyingkirkan ide-idenya.
"Aku melihat pria muda yang mengenakan kaus Che, dan aku bertanya padanya: 'Kenapa kau mengenakan kaus Che, apakah karena dia seorang pejuang?'," cerita Bustos.
Pemuda itu tak bisa menjawab. "Kini itu hanya sekadar gambar, tak lebih. Orang perlu membaca sehingga mereka memahami sifat sejati dan kepribadian Guevara. Jika Che melihat wajahnya di t-shirt, dia akan berpikir bahwa dia gagal. Dan pasti ia ingin menghancurkan mitos dirinya itu."Â (Ein/Yus)
"Cara Che berbicara, cara dia menjawab pertanyaan, benar-benar berbeda dari Castro," kata Ciro Busto, yang ingat betul siaran tersebut, meski waktu telah berselang 50 tahun, seperti dimuat Guardian.
"Tak ada yang bombastis, tak ada sikap sok primadona. Seperti sedang bicara dengan saudara Anda sendiri, sangat normal, begitu tenang. Suara itu lah yang menggerakkan hatiku."
Wawancara yang disiarkan Radio El Mundo Minggu itu adalah panggilan bagi jiwa Bustos. Suara Che Guevara -- juga perjuangan politiknya menggerakkan Bustos ke Kuba, Cekoslovakia, Aljazair dan kembali ke Argentina, sebelum ekspedisi Bolivia yang berakhir bencana tahun 1967, yang menghilangkan nyawa Che.
Che tewas sebagai pahlawan, dan Bustos -- meski selamat-- namanya tercoreng selama berabad-abad. Sebagai pengkhianat.
Bustos dianggap sebagai orang yang mengkhianati Che dan rekan seperjuangannya, dengan menyerahkan sketsa wajah mereka ke para interogator yang menangkapnya saat ia keluar dari hutan di Bolivia atas perintah Guevara.
Hingga akhirnya, pada 2007, memoarnya yang berjudul "Che Wants to See You". Burtos ingin mengembalikan nama baiknya.
Buku, yang baru-baru ini terbit dalam Bahasa Inggris, didahului kutipan orang besar Argentina, Jorge Luis Borges: "Selain itu, kita tidak tahu apakah alam semesta nyata atau fantasi belaka."
Memoar Bustos berisi tulisan yang ditulis pihak lain tentang Guevara, kumpulan klaim -- juga bantahan klaim, juga pengalaman yang bagi bersama Guevara.
"Semua hal yang terjadi, hal baik juga semua kesalahan, seolah imajiner, seolah dibuat-buat," katanya.
Mitos Pengkhianat
Melalui bukunya, Bustos ingin mengenyahkan mitos bahwa ia "menjual" jiwa Guevara demi keselamatannya sendiri.
Menurut Bustos, seandainya wartawan saat itu terus mencari dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, ia akan menceritakan yang sebenarnya. Tak ada yang mau mendengar dari sisi dia, sampai wartawan AS, Jon Lee Anderson melacaknya hingga Malmo pada 1995.
"Aku tak bisa menjelaskan mengapa pers kala itu melakukannya, tapi penulis Argentina, Tomas Eloy MartÃnez pernah mengatakan: 'di mana ada pahlawan, pasti ada pengkhianat'. Itu yang diciptakan pers."
Bustos masih ingat pertemuan pertamanya dengan Guevara, di kantor kementerian industri di Havana. Che, kata dia, orang yang sangat rendah hati. "Tak seperti yang kubayangkan sebelumnya, ia sangat baik. Sebelumnya, apa yang kutahu tentang dia adalah apa yang kulihat di foto, kudengar di radio, dan apa yang pers sampaikan," kata dia.
"Saat bertemu langsung, aku melihat dia sebagai sosok yang sama sekali tak angkuh. Ia juga punya selera humor, di saat yang tepat."
Bustos dan beberapa orang lain dilatih dalam pemberontakan di Kuba dan Aljazair dan kemudian dikirim ke Argentina utara untuk membangun jaringan gerilya. Dilatih oleh Jorge Ricardo Masetti, yang bengis, yang lantas tewas di hutan.
Ke luar hutan, Bustos melanjutkan membangun jaringan revolusioner di Argentina. Tiga tahun kemudian, pada 1967, Che memintanya untuk bergabung dengan gerakan gerilya di Bolivia, ketika ia berharap untuk menggerakkan revolusi. Namun, ia tertangkap.
Bustos diinterogasi selama 3 minggu. Kata dia, CIA dan militer Bolivia sudah tahu segalanya, termasuk jumlah gerilyawan yang terlibat. Bustos mengiyakan saja saat ditanya apakah ia seorang seniman, dan setuju menggambar wajah para gerilyawan, rekan-rekannya sendiri, untuk membuktikan ia tak bohong.
"Aku mengambil kesempatan dan menggambar," kata Bustos. Gerilyawan toh akan tewas, apa bedanya? Tak ada. Tapi orang-orang yang bekerja secara sembunyi-sembunyi (di Argentina) yang harus dilindungi," kata dia.
Dan kini, 46 tahun setelah ia menggambar sketsa wajah rekan-rekannya -- yang akhirnya tewas dieksekusi, Bustos masih yakin, ia melakukan hal yang benar. "Terus terang aku marah karena orang-orang terus bicara soal gambar-gambar itu. Mereka hanya mengambil sepotong tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi."
Beberapa bulan kemudian, pada hari ia dan rekannya, Regis Debray, dijatuhi hukuman 30 tahun penjara oleh pengadilan militer Bolivia, Bustos tahu bahwa Guevara telah ditangkap dan dieksekusi.
Mendengar berita itu, ia merasa "seolah-olah peluru yang membunuhnya (Che) telah menerjang saya. Saat itu saya merasa kehilangan seorang pemimpin, saudara, dan teman, semuanya, pada saat bersamaan."
Tak sampai 30 tahun, Bustos dan Debray dibebaskan pada Desember 1970 setelah seorang jenderal sayap kiri mengambil alih kekuasaan di Bolivia. Ia sempat pulang ke Argentina lalu mengungsi ke Swedia pada 1976 saat hidupnya terancam algojo sayap kanan yang ingin mengenyahkan pembangkang.
Che Akan Sedih..
Meskipun bertahan hidup selama bertahun-tahun, ada penyesalan mengganjal di hati Bustos. "Orang-orang yang meninggal membayar harga termahal," katanya. Sementara dia masih hidup dan menyaksikan keluarga dan keturunannya bertumbuh.
Penyesalan lain adalah tentang nasib Guevara. Lima dekade sejak Che ditembak di sekolah kumuh di Bolivia selatan, Bustos telah menyaksikan status legenda Che justru menghilangkan realitas pejuang itu.
Menurut Bustos, salah satunya adalah gambar Che yang ada di kaus-kaus di seluruh dunia. Menurut dia, Guevara akan merasa sedih, juga ngeri, jika mengetahui bahwa gambar sosoknya telah menyingkirkan ide-idenya.
"Aku melihat pria muda yang mengenakan kaus Che, dan aku bertanya padanya: 'Kenapa kau mengenakan kaus Che, apakah karena dia seorang pejuang?'," cerita Bustos.
Pemuda itu tak bisa menjawab. "Kini itu hanya sekadar gambar, tak lebih. Orang perlu membaca sehingga mereka memahami sifat sejati dan kepribadian Guevara. Jika Che melihat wajahnya di t-shirt, dia akan berpikir bahwa dia gagal. Dan pasti ia ingin menghancurkan mitos dirinya itu."Â (Ein/Yus)