Di suatu titik di Gurun Sahara, terdapat tengara yang menarik -- sebuah gambar besar berbentuk sebuah pesawat yang hidungnya mengarah ke Paris. Foto penampakan yang tertangkap satelit Google Maps dan Google Earth, yang mirip tato di atas lanskap, telah menyebar luas lewat perantaraan dunia maya.
Itu tak sekadar goresan, melainkan monumen peringatan untuk sebuah penerbangan yang tak pernah tiba di tujuan.
Pada 19 September 1989, pesawat UTA Penerbangan 772 milik maskapai Union des Transports Aeriens sedang dalam perjalanan dari Brazzaville, Republik Kongo, menuju Paris, Prancis. Di atas Sahara di Niger, burung besi itu meledak. Seluruh orang di dalamnya, 156 penumpang dan 14 awak pesawat tewas.
Tepat di tempat pesawat itu jatuh, keluarga korban membangun sebuah peringatan abadi dengan tampilan mencolok. Siluet pesawat seukuran asli di dalam lingkaran batu gelap dikelilingi 170 cermin rusak -- satu cermin mewakili 1 nyawa yang melayang. Di titik utara, menyembul sayap kanan pesawat berjenis McDonnell Douglas DC-10 nahas.
Seorang pria, Guillaume Denoix de Saint Marc, adalah salah satu otak di balik pendirian monumen. Ayahnya, Jean-Henri, tewas dalam kecelakaan tersebut.
Pada hari saat tragedi terjadi, Denoix de Saint Marc sedang mempersiapkan presentasi untuk klien penting. Saat itu ia berusia 26 tahun, bekerja sebagai staf penjualan di perusahaan marketing di Paris. Saat sang ibu menelepon, menyampaikan kekhawatiran soal ayahnya yang sedang terbang, ia tak punya waktu untuk mendengarnya. "Saat itu aku bersikap sangat kasar, memberi tahunya bahwa aku sedang kerja dan punya banyak hal penting untuk dilakukan," kata dia, seperti dimuat BBC, Rabu (22/1/2014).
Beberapa saat kemudian, ia baru tahu kabar yang menyebut pesawat yang dinaiki ayahnya menghilang. Rasa sesal menyesaki dadanya.
Bersama keluarga korban yang lain, ia dan sang ibu harap-harap cemas menanti kepastian kabar. Sehari kemudian nasib penerbangan tersebut dikonfirmasi. Para penerjun payung dari Angkatan Udara Prancis mencapai lokasi kecelakaan dan memastikan tak ada yang selamat.
Dua hari kemudian, sisa-sisa bahan peledak ditemukan di bangkai pesawat. Mengindikasikan bom berperan sebagai faktor utama kecelakaan. Pemerintah Prancis memanggil ahli soal teroris Judge Jean-Louis Bruguiere untuk melakukan investigasi. Sebanyak 15 ton puing-puing diangkut dari lokasi kecelakaan untuk dikaji. Namun, masih banyak yang tersisa di sana.
Aksi Teroris
Pada 1999, Pengadilan Prancis secara in absentia memutuskan 6 warga Libya bersalah dan menghukum mereka dengan pidana seumur hidup. Libya menyatakan tak bertanggung jawab atas insiden tersebut, namun, memberikan kompensasi sebesar US$ 34 juta pada tahun itu. Masing-masing keluarga korban UTA diberikan uang jumlah berkisar antara 3.000 sampai 30.000 euro -- tergantung kedekatan hubungan dengan para mendiang.
Namun, mereka yang dinyatakan bersalah masih hidup bebas di Libya. Salah satunya, Abdullah al-Senussi, ipar Moammar Khadafi. "Kami menuntut keadilan, Libya harus bertanggung jawab," kata Denoix de Saint Marc.
Ia mengaku kaget saat putra Khadafi, Saif al-Islam, bicara dalam sebuah konferensi dan membuka pameran di Paris. "Aku sangat marah. Yang terpikir saat itu adalah aku pergi ke tukang jagal, membeli seember darah binatang untuk disiramkan ke dia. Namun, aku berhasil menenangkan diri dan berpikir, marah bukan jalan terbaik."
Namun, ia tetap datang ke konferensi. Saat Saif Khadafi menyatakan bahwa kasus kecelakaan UTA Penerbangan 772 telah usai, Denoix de Saint Marc berteriak dan berkata lantang, "Ayahku ada di DC 10!" Di pesawat nahas itu.
Singkat cerita Saif Khadafi kemudian mengundangnya ke Libya. Undangan yang ia tanggapi, namun menuai konfrontasi dari keluarga korban yang lain.
Dalam bukunya, 'Mon Pere Etait Dans le DC10' -- Ayahku berada dalam pesawat DC10, Denoix de Saint Marc juga menceritakan soal proses negosiasi yang ia lakukan dengan Libya, terkait kompensasi.
Hasilnya, pada 9 Januari 2004, Libya setuju membayar US$ 170 juta -- US$ 1 juta untuk masing-masing korban yang jumlahnya 170 orang.
Uang itu dibagikan ke seluruh keluarga korban di Chad, Maroko, Kongo, Amerika Selatan -- proses yang panjang dan rumit.
Uang sisa, dari bunga dan keluarga yang menolak, Denoix de Saint Marc berkonsultasi dengan yayasan untuk membangun sebuah peringatan di lokasi kecelakaan.
Juga bukan hal mudah, terutama soal keamanan di area yang dikuasai kelompok Al Qaeda. Tak cuma itu, lokasi kecelakaan berada di daerah yang tak ramah di lokasi terpencil di Sahara -- 650 km dari Agadez dengan suhu bisa mencapai 50 derajat Celcius. Air sangat sulit didapat, sumur terdekat berjarak ratusan kilometer.
Saat tiba di lokasi pada Maret 2007, 18 tahun pasca-kecelakaan -- Denoix de Saint Marc dan timnya melihat bagian pesawat, juga fosil prasejarah. "Yang kurasakan pada saat itu adalah kemarahan," kata dia.
Sudah ada sebuah peringatan di sana, dibuat rekan-rekan dari tiga karyawan Exxon yang meninggal dalam penerbangan. Berupa sayap kanan pesawat nahas yang dipasangi plakat bertulis nama 3 korban. Namun sayap yang awalnya berdiri itu ambruk.
"Mereka telah mencoba untuk membuat monumen sendiri," kata Denoix de Saint Marc. "Saya sangat tersentuh mengetahui siapa pun yang tidak berkaitan langsung telah melakukannya, saya ingin menyimpannya. Sayap tegak menjadi bagian integral dari desain monumen baru kami."
Kerja keras pun dimulai. Desain monumen terinspirasi Aeroostale, perusahaan pioner pengirim surat ke koloni Prancis pada 1920-an.
Mereka membangun sebuah siluet pesawat 10 km dari titik jatuh. Butuh bantuan dari 140 penduduk setempat dari Agadez selama 6 minggu --sebagian besar bekerja dengan tangan. Para pekerja berasal dari tiga suku utama: Toubou, Tuareg, dan Hausa.
Proses panjang yang dilalui Denoix de Saint Marc mengorbankan 2 hal penting dalam hidupnya: karirnya yang hancur pada 2003, juga keluarganya. Ia bercerai dari istrinya.
Namun, selalu ada hikmah dari setiap kerja keras dan pilihan. Denoix de Saint Marc bersyukur monumen yang susah payah mereka dirikan masih tegak. Pasir gurun hanya melewati, tidak menguburnya.
Dan hal yang dimaksudkan bisa dilihat dari atas pesawat yang melintas, setahun kemudian, justru muncul di Google Earth. "Itu kejutan yang menyenangkan," kata Denoix de Saint Marc.
Ketika foto itu menyebar lewat internet, kata dia, berarti korban UTA Penerbangan 772 tidak akan terlupakan.
"Sama sekali tidak ada semangat balas dendam dalam monumen itu, tapi keadilan dan perdamaian," kata Denoix de Saint Marc. "Sebuah pesan yang universal bahwa tidak ada alasan pembenar bagi tindakan terorisme." (Ein/Yus)
Baca juga:
Akhir Hidup `Prajurit Jepang Terakhir yang Menolak Menyerah`
Kanguru di Naskah Berumur 400 Tahun Akan Ubah Sejarah Australia?
Uji DNA Kuak Misteri Pembunuhan Sadis 83 Tahun Lalu
Itu tak sekadar goresan, melainkan monumen peringatan untuk sebuah penerbangan yang tak pernah tiba di tujuan.
Pada 19 September 1989, pesawat UTA Penerbangan 772 milik maskapai Union des Transports Aeriens sedang dalam perjalanan dari Brazzaville, Republik Kongo, menuju Paris, Prancis. Di atas Sahara di Niger, burung besi itu meledak. Seluruh orang di dalamnya, 156 penumpang dan 14 awak pesawat tewas.
Tepat di tempat pesawat itu jatuh, keluarga korban membangun sebuah peringatan abadi dengan tampilan mencolok. Siluet pesawat seukuran asli di dalam lingkaran batu gelap dikelilingi 170 cermin rusak -- satu cermin mewakili 1 nyawa yang melayang. Di titik utara, menyembul sayap kanan pesawat berjenis McDonnell Douglas DC-10 nahas.
Seorang pria, Guillaume Denoix de Saint Marc, adalah salah satu otak di balik pendirian monumen. Ayahnya, Jean-Henri, tewas dalam kecelakaan tersebut.
Pada hari saat tragedi terjadi, Denoix de Saint Marc sedang mempersiapkan presentasi untuk klien penting. Saat itu ia berusia 26 tahun, bekerja sebagai staf penjualan di perusahaan marketing di Paris. Saat sang ibu menelepon, menyampaikan kekhawatiran soal ayahnya yang sedang terbang, ia tak punya waktu untuk mendengarnya. "Saat itu aku bersikap sangat kasar, memberi tahunya bahwa aku sedang kerja dan punya banyak hal penting untuk dilakukan," kata dia, seperti dimuat BBC, Rabu (22/1/2014).
Beberapa saat kemudian, ia baru tahu kabar yang menyebut pesawat yang dinaiki ayahnya menghilang. Rasa sesal menyesaki dadanya.
Bersama keluarga korban yang lain, ia dan sang ibu harap-harap cemas menanti kepastian kabar. Sehari kemudian nasib penerbangan tersebut dikonfirmasi. Para penerjun payung dari Angkatan Udara Prancis mencapai lokasi kecelakaan dan memastikan tak ada yang selamat.
Dua hari kemudian, sisa-sisa bahan peledak ditemukan di bangkai pesawat. Mengindikasikan bom berperan sebagai faktor utama kecelakaan. Pemerintah Prancis memanggil ahli soal teroris Judge Jean-Louis Bruguiere untuk melakukan investigasi. Sebanyak 15 ton puing-puing diangkut dari lokasi kecelakaan untuk dikaji. Namun, masih banyak yang tersisa di sana.
Aksi Teroris
Pada 1999, Pengadilan Prancis secara in absentia memutuskan 6 warga Libya bersalah dan menghukum mereka dengan pidana seumur hidup. Libya menyatakan tak bertanggung jawab atas insiden tersebut, namun, memberikan kompensasi sebesar US$ 34 juta pada tahun itu. Masing-masing keluarga korban UTA diberikan uang jumlah berkisar antara 3.000 sampai 30.000 euro -- tergantung kedekatan hubungan dengan para mendiang.
Namun, mereka yang dinyatakan bersalah masih hidup bebas di Libya. Salah satunya, Abdullah al-Senussi, ipar Moammar Khadafi. "Kami menuntut keadilan, Libya harus bertanggung jawab," kata Denoix de Saint Marc.
Ia mengaku kaget saat putra Khadafi, Saif al-Islam, bicara dalam sebuah konferensi dan membuka pameran di Paris. "Aku sangat marah. Yang terpikir saat itu adalah aku pergi ke tukang jagal, membeli seember darah binatang untuk disiramkan ke dia. Namun, aku berhasil menenangkan diri dan berpikir, marah bukan jalan terbaik."
Namun, ia tetap datang ke konferensi. Saat Saif Khadafi menyatakan bahwa kasus kecelakaan UTA Penerbangan 772 telah usai, Denoix de Saint Marc berteriak dan berkata lantang, "Ayahku ada di DC 10!" Di pesawat nahas itu.
Singkat cerita Saif Khadafi kemudian mengundangnya ke Libya. Undangan yang ia tanggapi, namun menuai konfrontasi dari keluarga korban yang lain.
Dalam bukunya, 'Mon Pere Etait Dans le DC10' -- Ayahku berada dalam pesawat DC10, Denoix de Saint Marc juga menceritakan soal proses negosiasi yang ia lakukan dengan Libya, terkait kompensasi.
Hasilnya, pada 9 Januari 2004, Libya setuju membayar US$ 170 juta -- US$ 1 juta untuk masing-masing korban yang jumlahnya 170 orang.
Uang itu dibagikan ke seluruh keluarga korban di Chad, Maroko, Kongo, Amerika Selatan -- proses yang panjang dan rumit.
Uang sisa, dari bunga dan keluarga yang menolak, Denoix de Saint Marc berkonsultasi dengan yayasan untuk membangun sebuah peringatan di lokasi kecelakaan.
Juga bukan hal mudah, terutama soal keamanan di area yang dikuasai kelompok Al Qaeda. Tak cuma itu, lokasi kecelakaan berada di daerah yang tak ramah di lokasi terpencil di Sahara -- 650 km dari Agadez dengan suhu bisa mencapai 50 derajat Celcius. Air sangat sulit didapat, sumur terdekat berjarak ratusan kilometer.
Saat tiba di lokasi pada Maret 2007, 18 tahun pasca-kecelakaan -- Denoix de Saint Marc dan timnya melihat bagian pesawat, juga fosil prasejarah. "Yang kurasakan pada saat itu adalah kemarahan," kata dia.
Sudah ada sebuah peringatan di sana, dibuat rekan-rekan dari tiga karyawan Exxon yang meninggal dalam penerbangan. Berupa sayap kanan pesawat nahas yang dipasangi plakat bertulis nama 3 korban. Namun sayap yang awalnya berdiri itu ambruk.
"Mereka telah mencoba untuk membuat monumen sendiri," kata Denoix de Saint Marc. "Saya sangat tersentuh mengetahui siapa pun yang tidak berkaitan langsung telah melakukannya, saya ingin menyimpannya. Sayap tegak menjadi bagian integral dari desain monumen baru kami."
Kerja keras pun dimulai. Desain monumen terinspirasi Aeroostale, perusahaan pioner pengirim surat ke koloni Prancis pada 1920-an.
Mereka membangun sebuah siluet pesawat 10 km dari titik jatuh. Butuh bantuan dari 140 penduduk setempat dari Agadez selama 6 minggu --sebagian besar bekerja dengan tangan. Para pekerja berasal dari tiga suku utama: Toubou, Tuareg, dan Hausa.
Proses panjang yang dilalui Denoix de Saint Marc mengorbankan 2 hal penting dalam hidupnya: karirnya yang hancur pada 2003, juga keluarganya. Ia bercerai dari istrinya.
Namun, selalu ada hikmah dari setiap kerja keras dan pilihan. Denoix de Saint Marc bersyukur monumen yang susah payah mereka dirikan masih tegak. Pasir gurun hanya melewati, tidak menguburnya.
Dan hal yang dimaksudkan bisa dilihat dari atas pesawat yang melintas, setahun kemudian, justru muncul di Google Earth. "Itu kejutan yang menyenangkan," kata Denoix de Saint Marc.
Ketika foto itu menyebar lewat internet, kata dia, berarti korban UTA Penerbangan 772 tidak akan terlupakan.
"Sama sekali tidak ada semangat balas dendam dalam monumen itu, tapi keadilan dan perdamaian," kata Denoix de Saint Marc. "Sebuah pesan yang universal bahwa tidak ada alasan pembenar bagi tindakan terorisme." (Ein/Yus)
Baca juga:
Akhir Hidup `Prajurit Jepang Terakhir yang Menolak Menyerah`
Kanguru di Naskah Berumur 400 Tahun Akan Ubah Sejarah Australia?
Uji DNA Kuak Misteri Pembunuhan Sadis 83 Tahun Lalu