Liputan6.com, Jakarta Setelah satu setengah tahun berjalan, kini semakin banyak rumah sakit yang ingin bergabung dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dokter pun semakin banyak yang melayani peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tak terkecuali ahli anestesi dr Nirwan Satria, SpAn dari RS Sorulangun Jambi.
Menurut Nirwan, dampak BPJS sangat terasa. "Soal kepuasan materi yang diperoleh dari jasa medik, saya selalu mensyukurinya. Teman sejawat bisa menerima bagian yang diatur oleh pihak rumah sakit yang ditetapkan dalam rapat bersama antara lain dengan komite medik dan kepala ruangan," ungkapnya.
Baca Juga
"RSUD Sarolangun merupakan rumah sakit tipe C dan sudah berbentuk BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), jasa pelayanan rumah sakit tidak boleh lebih dari 44 persen. Jasa itu dibagi oleh pihak rumah sakit untuk bagian manajemen dan komponen yang mendukung pelayanan, termasuk satpam (tenaga security) dan cleaning service. Sejak adanya program JKN, pendapatan jasa medis meningkat 3 - 5 kali lipat," katanya, melalui siaran pers, Rabu (30/9/2015).
Advertisement
Yang terpenting, kata dokter yang sempat mendapat beasiswa dari Bank Dunia ini, adalah transparansi manajemen rumah sakit di dalam mengelola keuangan. "Sudah ada standar pelayanan yang disyaratkan oleh BPJS Kesehatan sehingga pendapatan rumah sakit juga bisa diperkirakan bahkan dibayar sebagian di depan," kata Nurdin.
Nurdin yang masih menjabat sebagai Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Sarolangun, mengaku dulu sering di-bully karena tarif kapitasi di Fasilitas Kesehatan Primer seperti Puskesmas dan Klinik hanya Rp 3.000 - Rp 6.000. Namun saat ini banyak dokter yang menunggu-nunggu, "Kapan ya kami bisa layani peserta BPJS sebagai dokter keluarga?” ungkapnya.