Liputan6.com, Jakarta Dunia kesehatan Indonesia akan segera menghadapi perubahan signifikan dengan rencana Kementerian Kesehatan RI untuk memberlakukan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) RS bersamaan (atau hampir bersamaan) dengan rencana BPJS Kesehatan untuk merevisi sistem pembayaran dari Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) menjadi Indonesia Diagnosis Related Groups (INA-DRG) di tahun 2025 ini.
Bagaimana hal ini akan mempengaruhi layanan kesehatan nasional, terutama ketika hampir seluruh rumah sakit di Indonesia adalah provider JKN/BPJS Kesehatan?
Advertisement
Rencana Regulasi Baru KRIS dan Ina-DRG
Advertisement
Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) merupakan kebijakan baru yang akan menghapuskan pembedaan kelas perawatan (kelas 1, 2, dan 3) pada program BPJS Kesehatan lalu menggantinya dengan standar pelayanan yang sama untuk semua pasien.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI pada Februari 2025, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa KRIS akan memberikan standar pelayanan yang sama untuk seluruh peserta BPJS Kesehatan tanpa diskriminasi berdasarkan kelas iuran.
Sementara itu, sistem pembayaran INA-CBGs yang telah digunakan dalam program JKN sejak 2014 akan dikembalikan ke konsep INA-DRG dengan penyempurnaan.
Penting dicatat bahwa sebenarnya Indonesia sudah pernah menggunakan sistem Indonesia-Diagnosis Related Group (INA-DRG) sekitar tahun 2006-2008 untuk program Askes/Jamkesmas, sebelum dikembangkan menjadi INA-CBGs pada tahun 2010.
Dalam konferensi pers beberapa waktu lalu, Menkes BGS menjelaskan bahwa perubahan dari INA-CBGs menjadi Indonesian Diagnosis Related Group (INA-DRG) akan terjadi pada 1-2 bulan ke depan. Disebutkan bahwa tujuan perubahan itu dengan tujuan menciptakan keseimbangan antara tawaran dari rumah sakit dengan kemampuan masyarakat, serta mengontrol inflasi kesehatan dalam 10-15 tahun ke depan.
Tantangan dan Kekhawatiran Rumah Sakit
Kita tahu perubahan simultan ini telah mengundang kekhawatiran dari berbagai kalangan. Implementasi KRIS bersamaan dengan perubahan sistem pembayaran ke INA-DRG berisiko menciptakan kekacauan administratif dan finansial bagi rumah sakit terutama di daerah dengan infrastruktur terbatas.
Tentu peringatan ini tidak terlepas dari kemungkinan belum siapnya infrastruktur, SDM maupun kebijakan turunan di tingkat pusat dan daerah untuk mensinkronkan keduanya di tingkat pelaksana.
Dampak Finansial yang Tidak Pasti
Ada juga kekhawatiran bahwa penerapan KRIS akan mengubah pola pemasukan rumah sakit secara fundamental, sementara perubahan ke INA-DRG memerlukan adaptasi sistem koding dan klaim yang kompleks. Menurutnya, kedua perubahan ini secara bersamaan dapat menyebabkan ketidakpastian pendapatan bagi rumah sakit.
Ini paralel dengan hasil studi oleh Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2024 yang menunjukkan bahwa rumah sakit-rumah sakit mengkhawatirkan dampak negatif terhadap cash flow (arus kas) selama masa transisi implementasi kedua sistem baru tersebut.
Kesiapan Sumber Daya Manusia dan Sistem
Tantangan utama implementasi KRIS dan INA-DRG adalah kesiapan SDM. Terutama tenaga koder dan manajemen rumah sakit dalam memahami dan mengaplikasikan sistem koding DRG yang lebih kompleks, serta mengelola transisi ke sistem kelas perawatan tunggal.
Oleh sebab itu, kesiapan SDM nampaknya adalah kendala yang paling utama.
Advertisement
Implikasi KRIS terhadap Fasilitas Rumah Sakit
Bagaimana dengan fasilitas RS? Penerapan KRIS akan menghadirkan tantangan besar dalam restrukturisasi fasilitas rumah sakit yang selama ini terbiasa dengan pembagian kelas perawatan.
Banyak rumah sakit harus merenovasi atau bahkan membangun ulang fasilitas rawat inap mereka untuk memenuhi standar KRIS. Tidak sesederhana membuat peraturannya kelihatannya.
Data menyebutkan bahwa dari 3.000-an rumah sakit di Indonesia, sekitar 65% masih memiliki struktur bangunan yang khusus untuk sistem kelas perawatan berbeda. Di lapangan ditemukan adanya rumah sakit yang kemungkinan mengalami penurunan jumlah tempat tidur yang signifikan (ada yang mengalami penurunan TT sampai 30%) dengan konversi ke model KRIS.
Perspektif BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan
BPJS Kesehatan berpendapat bahwa perubahan ini merupakan langkah penting untuk keberlangsungan program JKN. Perubahan ke INA-DRG akan meningkatkan akurasi pembayaran klaim dan mengatasi permasalahan koding kreatif yang selama ini terjadi dalam sistem INA-CBGs.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada rapat dengan Komisi IX DPR Februari 2025 memaparkan alasan perubahan. Menkes BGS menjelaskan bahwa saat ini baru 32 persen belanja kesehatan di Indonesia yang dikeluarkan lewat asuransi, padahal seharusnya naik sampai 80-90 persen.
Dia menambahkan bahwa dengan perubahan ke INA-DRG dan implementasi KRIS, pemerintah bisa memiliki daya tawar untuk mendorong agar harga yang diberikan ke penyedia layanan lebih wajar.
Advertisement
Pengalaman Internasional: Pembelajaran Berharga dari Australia
Pengalaman negara lain dalam melakukan perubahan sistem pembayaran dari CBGs ke DRG memberikan pelajaran berharga.
Australia, yang melakukan transisi dari AR-DRG ke ICD-10-AM DRG pada 2011-2013, menerapkan pendekatan bertahap dengan periode uji coba dua tahun di rumah sakit percontohan.
Dr. Stephen Duckett, pakar kebijakan kesehatan dari Grattan Institute Australia, menyimpulkan bahwa kunci keberhasilan transisi sistem pembayaran adalah persiapan yang matang, komunikasi intensif dengan provider, dan implementasi bertahap dengan periode adaptasi yang cukup.
Perbedaan INA-CBGs dan INA-DRG
Profesor Hasbullah Thabrany, Guru Besar Kebijakan Pembiayaan Kesehatan FKM Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya sedang melakukan semacam 'kembali ke akar' dalam sistem pembayaran rumah sakit.
Beliau menjelaskan bahwa sebelum INA-CBGs, Indonesia telah menggunakan INA-DRG pada program Jamkesmas sekitar 2006-2008.
Menurut Prof. Thabrany, perbedaan utama antara INA-CBGs dan INA-DRG yang akan diimplementasikan terletak pada tingkat kedetailan dalam klasifikasi kasus dan prosedur, dan INA-DRG versi baru ini diharapkan akan lebih akurat dalam membedakan kompleksitas kasus, komorbiditas, dan variasi prosedur, yang berpotensi menghasilkan pembayaran yang lebih adil.
Sebuah studi komparatif tahun 2024 menunjukkan bahwa sistem DRG dapat mengurangi varians pembayaran hingga 35% dibandingkan sistem CBGs, terutama untuk kasus-kasus dengan komorbiditas dan komplikasi.
Advertisement
Usulan untuk Solusi Konstruktif
Berdasarkan perspektif berbagai pemangku kepentingan dan pengalaman internasional, berikut beberapa solusi konstruktif yang dapat dipertimbangkan pemegang kebjakan:
1. Evaluasi Berkelanjutan dari Uji Coba yang Telah Berjalan
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, KRIS telah diuji coba di rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia tahun 2024, mencakup rumah sakit pemerintah dan swasta.
Hasil awal dari uji coba ini menunjukkan beberapa hal menarik: 73% rumah sakit melaporkan tantangan dalam penyesuaian infrastruktur fisik, 65% mengalami kesulitan dalam restrukturisasi pembiayaan internal, sementara 58% mencatat peningkatan kepuasan pasien dengan standarisasi pelayanan.
Namun, hampir 82% rumah sakit menekankan kebutuhan waktu transisi yang lebih lama untuk adaptasi penuh.
Dalam policy brief dari FKKMK UGM tahun 2025 menekankan pentingnya menganalisis temuan dan pembelajaran dari rumah sakit yang telah menjalankan uji coba KRIS. Menurutnya, hasil evaluasi ini sangat penting untuk menyempurnakan kebijakan, terutama ketika dikombinasikan dengan rencana implementasi INA-DRG.
Meskipun KRIS sudah diuji coba, implementasi bersamaan dengan INA-DRG masih memerlukan pendekatan bertahap dan hati-hati untuk mencegah kekacauan administratif dan finansial seperti yang dikhawatirkan terutama di daerah-daerah dengan infrastruktur terbatas.
2. Pelatihan Komprehensif dan Berkelanjutan
Jika kedua program ini dijalankan bertahap, tentu juga memberikan waktu bagi implementasinya terhadap kompetensi pengelola di lapangan. Pelatihan yang komprehensif dan terus menerus selama jangka waktu tertentu akan mengurangi resiko kesalahan akibat ketidaktahuan.
Komisioner DJSN, Muttaqien, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI Februari 2025 menekankan pentingnya program pelatihan komprehensif dan berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan, terutama tenaga koder dan manajemen rumah sakit, untuk memahami sistem INA-DRG yang lebih kompleks.
3. Evaluasi Dampak Finansial
Apakah Kemenkes dan BPJS Kesehatan sudah melakukan kajian terhadap dampak finansial dari implementasi bersamaan dan tidak bertahap kedua kebijakan baru ini terhadap RS? Semoga sudah dilakukan.
Tim Kajian JKN DJSN dalam studinya tahun 2024 merekomendasikan perlunya kajian dampak finansial yang komprehensif terhadap berbagai tipe rumah sakit untuk memastikan bahwa perubahan KRIS dan INA-DRG tidak mengganggu keberlangsungan pelayanan.
Tinggal apakah rekomendasi ini sudah ditindaklanjuti atau belum oleh para penentu kebijakan, karena saat diluncurkan, para pelaksana di lapanganlah yang terutama akan lebih merasakan dampak day-by-day-nya, selain juga masyarakat pengguna yang akan terimbas oleh pelaksanaannya.
Advertisement
4. Pendampingan Teknis untuk Rumah Sakit
Bagaimana dengan pendampingan teknis dari Kemenkes atau BPJS Kesehatan terhadap pelaksana dalam awal-awal implementasinya?
Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan perlu menyediakan tim pendampingan teknis bagi rumah sakit, terutama rumah sakit kecil dan daerah, untuk membantu proses transisi ke sistem baru. Mudah-mudahan rekomendasi ini sudah didengar dan juga dilaksanakan bahkan sebelum diluncurkan kebijakannya.
5. Konsultasi Lebih Intensif dengan Stakeholder
Perlunya konsultasi yang intensif dengan provider layanan publik dan swasta adalah untuk lebih melihat permasalahan di lapangan seperti apa dan agar provider juga dapat memahami bentuk DRG-nya lebih jelas lagi sebelum diimplementasikan, apalagi akan bersamaan dengan "riweuh"-nya mereka dengan persiapan menerapkan KRIS.
Pelibatan aktif seluruh stakeholder, terutama rumah sakit sebagai ujung tombak pelayanan, dalam proses perancangan dan finalisasi INA-DRG akan meminimalkan potensi masalah dalam implementasi
Kesimpulan
Implementasi KRIS dan perubahan ke INA-DRG merupakan langkah penting dalam reformasi sistem kesehatan Indonesia. Namun, kesuksesan implementasi bergantung pada keseimbangan antara kecepatan perubahan dan ketepatan persiapan.
Reformasi sistem kesehatan bukan tentang seberapa cepat perubahan dilakukan, melainkan seberapa tepat perubahan tersebut mencapai tujuannya tanpa menimbulkan gejolak yang tidak perlu.
Dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan dan pembelajaran dari pengalaman internasional, implementasi KRIS dan INA-DRG seharusnya dapat menjadi momentum pembenahan sistem pembiayaan kesehatan nasional yang lebih efisien, adil, dan berkualitas, oleh pemerintah, dengan syarat dilakukan dengan persiapan yang matang dan implementasi yang terarah dengan baik.
*Wawan Mulyawan dan Ahmad Fuady, keduanya adalah dokter dan staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Dr Wawan juga adalah Ketua ILUNI FKUI dan Ketua Umum PERDOKJASI (Perhimpunan Dokter Pembiayaan Jaminan Sosial dan Perasuransian Indonesia), sedangkan Dr Fuady adalah Ketua Policy Center ILUNI FKUI.
Advertisement
