Liputan6.com, Jakarta Sebuah kasus pencabulan terhadap bocah laki-laki berusia lima tahun sempat menarik perhatian masyarakat Sumatera Selatan tiga tahun silam.
Peristiwa ini mengundang perhatian publik karena dilakukan oleh seorang pengusaha terpandang asal Empat Lawang, Lahat, dan menimpa anak berusia lima tahun yang merupakan putra seorang dokter.
Baca Juga
Dengan menggandeng seorang pengacara ternama asal Jakarta, terdakwa (saat ini sudah terpidana) "Charles Bronson" berupaya keras agar lepas dari jeratan hukum atas tindakannya terhadap Ab (5).
Advertisement
Lantaran sidang berlangsung secara tertutup, maka kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hanya dapat dilakukan saat sidang vonis yang bersifat terbuka.
Ruang sidang Pengadilan Negeri Palembang pun penuh sesak karena dipadati oleh keluarga dari kedua belah pihak yang berseteru, wartawan, dan para aktivis anak saat pembacaan vonis pada 20 Agustus 2013.
Hakim mengawali dengan mulai membacakan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, dan fakta yang terungkap di persidangan yang bersifat tertutup sebelumnya.
Terdapat beberapa poin yang cukup menguras batin ketika mendengarnya, salah satunya mengenai keterangan psikolog anak yang diutus polisi untuk menggali informasi dari korban.
Sejak peristiwa tersebut, Ab menjadi anak yang pemurung dan tidak banyak bicara, sehingga membutuhkan upaya keras dari tim jaksa untuk mendapatkan bukti yang kuat.
Meski demikian, Ab masih suka melakukan hobinya menggambar.
Saat disuruh menggambar oleh psikolog, bocah ini menggambar seekor ikan di sebuah kertas putih.
Namun, setelah diamati ternyata ada yang aneh dari gambarnya, yakni si ikan emas yang cantik mengalami luka pada bagian ekornya.
Psikolog yang ditugaskan pengadilan untuk menggali informasi dari korban pun lantas bertanya. "Mengapa ekornya luka ?"
Ab tak memberikan jawaban. Ia hanya mengatakan bahwa ikan yang digambarnya sedang sakit.Â
Berdasarkan keterangan ahli yang dihadirkan di persidangan, disebutkan bahwa apa yang digambar anak itu sejatinya seperti yang dialaminya karena anak belum terbiasa berbohong.
Poin lainnya yang sangat miris mendengarnya yakni ketika ibu korban, dokter Nuke, harus meninggalkan pekerjaannya di Empat Lawang dan berpindah daerah karena mengalami trauma.
"Saat mengetahui dan mendengar cerita langsung dari anaknya, ibu korban langsung berlarian histeris ke rumah dinas Bupati Empat Lawang sambil menangis meminta bantuan. Besoknya ibu korban langsung meninggalkan Empat Lawang," kata ketua majelis hakim P Silalahi membacakan pertimbangan majelis hakim ketika itu.
Mendengarkan hakim membacakan keterangan saksi, ibu korban yang duduk di barisan depan dengan didampingi aktivis Women Crisis Center dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia berupaya tenang, meski sesekali ia menyeka air mata.
Seusai membacakan pertimbangannya hakim pun menjatuhkan vonis ke pengusaha kaya ini hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp200 juta (subsider tiga bulan) setelah terbukti melakukan tindakan pencabulan kepada anak berusia lima tahun.
Terdakwa dikenai Pasal 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan hukuman maksimal 12 tahun kurangan penjara.
Ketika itu, sejumlah aktivis anak mengatakan bahwa vonis itu sudah sesuai karena sudah melewati 2/3 hukuman maksimal 12 tahun meski sejatinya ibu korban merasa tidak ada hukuman yang sesuai selain hukuman maksimal 12 tahun hukuman penjara.
Perberat hukuman
Perberat hukuman
Lalu, berselang tiga tahun setelah kejadian tersebut, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Rabu (25/5).
Presiden Jokowi menyatakan pemberatan pidana berupa tambahan pidana sepertiga dari ancaman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, serta ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati pun masuk ke pemberatan pidana.
Sementara untuk tambahan pidana alternatif yang diatur ialah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Direktur Eksekutif Women's Crisis Centre Yenny Roslaini Izzi mengatakan pencabulan anak ini termasuk pelanggaran hukum berat karena akan berdampak pada psikologis seorang anak secara jangka panjang sehingga sudah sepatutnya negara mengeluarkan Perpu pengganti UU.
"Saat ini WCC aktif melakukan pendampingan terutama kepada ibu korban dalam menjaga tumbuh kembang korban. Beruntung anaknya tergolong cedas dan mendapat dukungan penuh dari keluarga sehingga proses pemulihan tidak berlangsung lama," katanya.
Yenny mengatakan trauma menjadi hal yang tersulit untuk dihilangkan bagi korban kekerasan seksual. Kondisi ini bukan hanya menimpa korban, tapi juga bisa meluas hingga ke anggota keluarga, seperti orang tua.
"Menangani korban kekerasan seksual itu tidak mudah, jika salah penanganan mereka akan cenderung menyalahkan diri dan bisa lebih patal semisal bunuh diri," kata Yenny.
Untuk itu, keluarga yang memiliki peran vital dalam menyelamatkan korban kekerasan seksual karena dukungan keluarga yang kuat akan mempercepat pemulihan korban.
"Catatan, jangan menyalahkan korban. Terkadang, beberapa kasus yang saya temui masih ada yang menyalahkan korban, misal 'sudah dikasih tahu, jangan ke sana, tapi masih ke sana', atau 'kamu sih kurang waspada', atau lainnya," ujar dia.
Meski sudah diterapi sedemikian rupa, tapi bukan berarti trauma yang dialami korban akan hilang begitu saja. Terkadang dengan pemicu sederhana sudah bisa membangkitkan ingatan ke kejadian yang dialami.
"Ini terkadang keluarga sudah menjaga tapi lingkungan yang tidak mendukung. Terkadang oleh karena menonton film yang ceritanya sedikit mirip, sudah bisa membangkitkan ingatan korban," kata dia.
Advertisement
Hubungan dekat
Hubungan dekat
Kasus pencabulan yang terjadi pada Ab diawali karena hubungan dekat bertetangga dengan pelaku. Ab sering bermain di rumah pelaku yang juga memiliki anak berusia lima tahun. Pelaku yang memiliki kelainan seksual berupaya mendekati Ab dengan sering mengajak jalan-jalan.
Namun, kelakuan bejat Charles Bronson terungkap ketika Ab mengeluh kesakitan ketika buang air besar pada seorang perawat yang bekerja dengan ibunya.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Palembang Adi Sangadi mengatakan, untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak, maka peran keluarga sangat dibutuhkan.
"Di mana pun lingkungan anak-anak bermain, harus dalam pengawasan keluarga. Jika pun saat berada di lingkungan sekolah, kalangan guru juga diminta untuk aktif memberikan pengawasan dan pembelajaran agar tidak terjadinya kasus kriminal," kata dia.
KPAID mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik yang menjadi pelaku maupun korban.
Pada periode Januari sampai April tahun 20016 terdapat 20 kasus yang pelakunya anak-anak, yakni kasus kekerasan seksual, seperti pencabulan dan pemerkosaan yang meningkat dibandingkan tahun lalu.
Jumlah kasus ini diyakini hanya sebagian kecil dari yang terjadi di masyarakat atau fenomena gunung es karena keengganan dari korban untuk melapor.
Lantaran itu pula sudah sepatutnya negara mengambil langkah ekstrem untuk mengatasi persoalan ini, yakni agar predator anak tidak berkeliaran menjamah anak-anak bangsa negeri ini. (Dolly Rosana/Ant)