Liputan6.com, Jakarta Video permainan skip challenge yang tengah viral di dunia maya ini dilakukan oleh anak sekolah menengah. Dalam video tersebut, cara bermain berupa menekan dada lawan sekencang-kencangnya selama beberapa detik dinilai sangat berbahaya.
Baca Juga
Advertisement
Namun, sebelum video ini merebak di pengguna media sosial Indonesia, skip challenge, yang juga dikenal dengan sebutan pass out game atau chocking game sudah lebih dahulu merebak di negara Barat. Bahkan di negara Barat, banyak kasus kematian anak akibat melakukan skip challenge.
Lantas mengapa permainan anak-anak yang berbahaya ini masih saja dilakukan anak-anak?
Saat dihubungi Health-Liputan6.com pada Jumat (10/3/2017), Psikolog Keluarga dan Anak Anna Surti Ariani memberikan beberapa kemungkinan anak-anak melakukan permainan berbahaya tersebut.
1. Tidak mengetahui informasi lebih jelas mengenai skip challenge
Kemungkinan anak-anak memainkan permainan karena mereka tidak tahu informasi lebih mendalam soal apa dan bagaimana permainan tersebut.
Ketika skip challenge ternyata banyak dimainkan oleh teman-teman sebayanya, mereka juga ikut bermain.
2. Tidak mengetahui risiko berbahaya
Anak-anak akan tetap memainkan skip challenge karena tidak mengetahui risiko berbahaya.
Mencari tantangan
3. Anak-anak ingin mencari tantangan
"Dilihat dari rentang usianya, anak-anak dan remaja termasuk individu yang rentan terhadap berbagai fenomena yang ada di hadapannya. Mereka ingin mencari tantangan, dalam arti segala sesuatu yang berbahaya. Ada kecenderungan untuk mengejar tantangan," kata psikolog, yang akrab dipanggil Nina ini.
4. Ada kecenderungan melanggar aturan
Meskipun skip challenge berbahaya dan kemungkinan di antara mereka ada yang mengetahui risiko bahaya, mereka tetap melakukan permainan.
"Dalam hal ini, anak-anak melanggar aturan. Sudah tahu tidak boleh dilakukan, tapi kenapa masih dilakukan juga," ungkap Nina.
5. Takut dan malu bila tidak ikut melakukan skip challenge
Pengaruh lingkungan cukup besar bagi anak-anak, sehinga apa yang dilakukan sekelompok anakĀ akan ditiru anak-anak lainnya. Ketika anak-anak lain melakukan skip challenge, ada rasa malu bila diri sendiri tidak ikut serta.
"Kemungkinan mereka malu dengan teman-temannya kalau tidak ikut bermain. Bahkan juga takut, mungkin mereka takut dibilang cemen atau lemah oleh teman-teman lainnya," lanjut Nina.
Advertisement