Liputan6.com, Jakarta Kata "psikopat" kerap digunakan masyarakat secara keliru untuk menggambarkan seseorang yang bersikap kejam atau kasar. Padahal dalam bidang psikologi, psikopat memiliki makna yang sangat spesifik. Secara harfiah, psikopat termasuk dalam golongan kelainan jiwa. Ciri-ciri individu psikopat di antaranya memiliki rasa superioritas yang tak realistis terhadap prang lain, kecenderungan untuk memanipulasi orang, kurang berempati, serta cenderung melakukan aksi antisosial dan kejahatan.
Studi terbaru menunjukkan, kelainan jiwa tersebut memiliki keterkaitan dengan pengalaman menyaksikan kekerasan semasa kecil. Melansir laman Foxnews, Senin (17/4/2017), bila studi terdahulu menemukan keterkaitan antara pengalaman kekerasan semasa kecil memicu risiko pengembangan gangguan psikopat pada individu dewasa, studi terbaru memperlihatkan bahwa hanya dengan menyaksikan perilaku kekerasan di masa kecil pun memiliki risiko yang sama.
Baca Juga
Pada studi terbaru yang dilakukan oleh University of Wisconsin School of Medicine and Public Health, peneliti mempelajari ciri-ciri psikopat pada 127 tahanan di Wisconsin. Peneliti memilih mempelajari para tahanan karena kelainan tersebut lebih umum ditemukan pada kelompok tersebut, dibandingkan pada masyarakat umum. Demikian penjelasan dari pemimpin studi, Monika Dargis, yang juga merupakan kandidat doktor psikologi klinis University of Wisconsin-Madison. Selain itu, peneliti pun ingin lebih fokus memahami gejala kelainan tersebut pada kelompok narapidana.
Advertisement
Setelah mengevaluasi kadar psikopati para tahanan dengan skala 0 hingga 40, peneliti menemukan 51 tahanan terbukti psikopat. Studi pun mengungkap, para tahanan yang semasa kecil melihat orangtua atau saudara mereka mendapat kekerasan di rumah lebih mungkin memiliki skor yang tinggi untuk skala tanda psikopati dibandingkan mereka yang tak pernah menyaksikan kekerasan domestik semasa kecil.
Meski studi yang dimuat oleh jurnal Law and Human Behavior ini menunjukkan keterkaitan antara menyaksikan kekerasan domestik semasa kecil dengan gangguan psikopati, hasilnya tak membuktikan bahwa melihat kekerasan domestik semasa kecil sudah pasti menjadi penyebab gangguan tersebut, jelas Dargis.
Menurut para peneliti, mekanisme pasti di balik kecenderungan tersebut masih belum jelas. Namun, anak yang melihat tindakan manipulatif serta pemaksaan oleh pelaku kekerasan domestik sangat mungkin mengembangkan perilaku serupa.
Anak pun bisa belajar menjadi manipulatif dan berbohong untuk menghindari menjadi korban kekerasan di rumah. Dengan kata lain, anak-anak tersebut mengembangkan perilaku psikopati untuk menghindari menjadi target kekerasan yang telah menimpa anggota keluarga lainnya di rumah.
Peneliti mengakui, kekurangan studi ini karena hanya mengumpulkan data secara terbatas sehingga tak mampu mempelajari hubungan kausal antara menyaksikan kekerasan domestik dan pengembangan sifat psikopati pada individu. Mereka berharap bisa melakukan penelitian lebih lanjut di masa mendatang dalam kurun waktu yang lebih panjang sehingga bisa mempelajari bagaimana keterkaitan menyaksikan kekerasan domestik semasa kecil bisa berdampak pada pengembangan perilaku psikopati seseorang.