Pasien Koma Tidak akan Pernah Sadar, tapi Teknologi Ini Ungkap Sebaliknya

Dokter mengatakan, pasien koma tidak akan pernah sadar, tapi sebuah teknologi canggih mampu memprediksi kapan pasien koma dapat bangun.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 09 Sep 2018, 16:00 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2018, 16:00 WIB
Ilustrasi Otak
Pasien koma tidak akan pernah bangun lagi, tapi ada teknologi canggih yang mampu memprediksinya. (iStockPhoto)

Liputan6.com, Tiongkok Dokter mengatakan, pasien koma tidak akan pernah sadar. Namun, sebuah teknologi canggih berupa sistem kecerdasan buatan (Artificial Intelligence system) mampu melacak aktivitas otak yang tidak terlihat mata manusia. Teknologi ini mampu memprediksi kapan pasien koma dapat sadar.

Sistem kecerdasan buatan untuk pasien koma ini dikembangkan di Beijing, Tiongkok. Setidaknya tujuh pasien di Beijing didiagnosis tidak punya harapan untuk mendapatkan kembali kesadaran.

Yang menarik sistem kecerdasan buatan meramalkan, mereka akan bangun dalam setahun. Sebagaimana dilansir laman South Morning China Post, Minggu (9/9/2018), setelah pindai (scan) otak, komputer memberi lebih dari 20 poin, yang mendekati skor penuh.

Dalam kasus lain, dokter melaporkan, pasien wanita korban stroke berusia 41 tahun yang telah berada dalam keadaan koma selama tiga bulan dengan potensi skor pemulihan 6. Tapi komputer memprediksinya dengan skor 20,23.

 

 

 

Simak video menarik berikut ini:

Lacak aktivitas otak

Ilustrasi Otak
Sistem kecerdasan buatan mampu melacak aktivitas otak. (iStockPhoto)

Sistem kecerdasan buatan dikembangkan setelah delapan tahun penelitian oleh Chinese Academy of Sciences and PLA General Hospital di Beijing. Pengembangan sistem kecerdasan buatan mencapai hampir 90 persen akurasi penilaian, menurut para peneliti.

Beberapa hasil dirilis dalam makalah penelitian yang diterbitkan Agustus 2018 di jurnal eLife peer-review.

"Kami telah berhasil memprediksi sejumlah pasien yang sadar kembali, setelah awalnya didiagnosis tidak punya harapan pemulihan (sadar)," kata Song Ming, peneliti IInstitute of Automation, Chinese Academy of Sciences.

Pasien melakukan pemindaian otak dengan pencitraan resonansi magnetik fungsional, teknologi yang memetakan aktivitas otak dengan mengukur perubahan kecil dalam aliran darah.

"Sistem AI mengasumsikan, setiap pasien masih punya kesadaran," kata Song. “Teknologi ini tidak akan menggantikan dokter. Itu hanya alat untuk membantu dokter dan keluarga membuat keputusan yang lebih baik.”

Tingkat akurasi dan dilema budaya

Ilustrasi Otak
Di masa depan, tingkat akurasi teknologi makin berkembang. (iStockPhoto)

Para peneliti juga menemukan sistem kecerdasan buatan bekerja lebih baik pada pasien di Beijing karena dikembangkan menggunakan data, yang terutama dikumpulkan di ibukota. Di masa depan, keakuratan teknologi diperkirakan akan meningkat lebih lanjut.

Ini karena mencakup lebih banyak data dari bagian lain Tiongkok.Yang Tongwei, profesor di Shandong University, Jinan mengatakan, AI akan membantu pengambilan keputusan bagi orang-orang yang menghadapi dilema budaya.

Sesuai tradisi, keluarga Tionghoa cenderung memperpanjang hidup orang yang dicintai selama mereka mampu melakukannya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang yang menyadari hal ini dapat membawa penyiksaan dan rasa sakit kepada orang yang mereka cintai.

"Pemutusan dukungan hidup (dengan alat) pada tubuh pasien dapat menghemat pengeluaran medis dan mengalihkan sumber daya pada orang-orang dengan harapan lebih besar untuk menyembuhkan," lanjut Yang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya