Liputan6.com, Jakarta Kehidupan Alexander Agung memang dipenuhi misteri. Namun, baru-baru ini ilmuwan mulai menguak selubung yang menutupi penyebab kematian penakluk terkenal asal Makedonia itu.
Dilansir dari New York Post pada Rabu (30/1/2019), para peneliti mengungkap bahwa ada kemungkinan ahli perang yang meninggal muda itu menderita penyakit langka yang membuatnya lumpuh selama enam hari. Ini membuatnya tidak bisa bergerak, bicara, dan bernapas secara bertahap.
Baca Juga
Bahkan, studi ini juga mengungkapkan bahwa dia dinyatakan meninggal hampir seminggu lebih awal. Otot-ototnya yang lumpuh membuat para dokter saat itu tidak bisa melihat apakah Alexander Agung masih bisa bernapas atau tidak. Ini berarti para prajuritnya sudah mempersiapkan tubuhnya untuk dimakamkan pada 323 SM, sebelum dia benar-benar meninggal.
Advertisement
Kematian Alexander Agung di usia 32 tahun sendiri membingungkan para ilmuwan dan ahli sejarah. Beberapa mengatakan bahwa tifus, alkohol, hingga racun menjadi penyebab meninggalnya pria itu di Babel. Namun, baru-baru ini para ilmuwan di Selandia Baru berpikir bahwa penyakit autoimun langka menghancurkan tubuhnya. Temuan ini diterbitkan di Ancient History Bulletin.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Â
Gejala kelumpuhan
"Kematiannya mungkin merupakan kasus pseudothanatos yang paling terkenal, atau diagnosis palsu kematian, yang pernah dicatat," kata penulis studi Dr. Katherine Hall dari Dunedin School of Medicine, Selandia Baru.
"Saya ingin merangsang debat dan diskusi baru dan mungkin menulis ulang buku-buku sejarah dengan menyatakan kematian Alexander yang sebenarnya, enam hari lebih lambat dari yang diterima sebelumnya."
Hall dan rekan-rekan satu timnya meneliti catatan kuno yang mengungkapkan berbagai gejala penyakit yang diderita Alexander. Terungkap, penyakit itu dimulai setelah dia menenggak 12 liter anggur.
Keesokan paginya, Alexander mengeluh sakit namun tetap menjalankan tugasnya. Hingga hari berikutnya, dia merasakan sakit perut, demam, dan perlahan kehilangan kemampuannya untuk bergerak serta hanya bisa mengedipkan mata dan menggerakkan tangannya. Di hari ke sebelas, Raja Makedonia dan Persia itu dinyatakan meninggal. Hall mengungkapkan bahwa gejala tersebut mirip dengan gangguan otak Sindrom Guillain-Barre.
Namun, dokter saat itu tidak melihat denyut nadi untuk memeriksa pertanda kehidupan. Mereka hanya mencari tanda-tanda pernapasan. Selain itu, Hall memiliki asumsi bahwa ada kemungkinan Alexander masih berada di tahap koma ketika pemakamannya akan dimulai.
"Sangat mungkin dia dalam keadaan koma dalam tahap ini dan tidak akan memiliki kesadaran saat para prajurit memulai tugasnya."
Advertisement