Rencana Sanksi bagi Penunggak Iuran BPJS Kesehatan Disebut Melanggar Konstitusi

Menurut Direktur LBH Konsumen Indonesia, rencana penerapan sanksi administratif bagi penunggak iuran BPJS Kesehatan ini tidak bisa diterima akal sehat.

oleh Arie Nugraha diperbarui 14 Okt 2019, 19:01 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2019, 19:01 WIB
Iuran BPJS Kesehatan Naik
Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Bandunga Rencana pemerintah memberikan sanksi administratif kepada peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran dianggap melanggar konstitusi negara. Sanksi yang tengah digodok tersebut berupa tidak mendapatkan layanan publik meliputi seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Menurut Direktur LBH Konsumen Indonesia Firman Turmantara Endipradja, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Adanya sanksi administratif tersebut akan membuat hal yang menjadi tugas pokok negara dilanggar oleh pemerintah.

“Kebijakan penerapan sanksi administratif bagi penunggak iuran BPJS Kesehatan ini tidak bisa diterima akal sehat, karena dari aspek yuridis ada beberapa undang-undang, paling tidak ada tujuh undang-undang dan peraturan pemerintah yang dilanggar,” kata Firman dalam keterangan resminya, Bandung, Senin, 14 Oktober 2019. 

Firman menyebutkan konstitusi yang dilanggar yaitu UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS, UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjelaskan mengenai asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.

Sedangkan jika dilihat dari aspek filosofis, Firman mengatakan, penerapan kebijakan ini dapat dianggap sebagai persoalan ketidakadilan. Ini karena masih ada hal yang saling bertolak belakang.

Kenaikan iuran dan wacana sanksi administratif berupa tidak mendapat pelayanan publik namun tidak dibarengi dengan baiknya kualitas pelayanan BPJS dinilai sebagai ketidakadilan. Firman menyebut, hal itulah yang menjadi masalah krusial BPJS saat ini.

“Dari aspek sosiologis, BPJS merupakan pilihan utama rakyat Indonesia dalam menjaga ata memelihara kesehatannya. Dan dari aspek kepastian hukum, dapat dilihat dari belum adanya kejelasan layanan seperti penyakit dan obat apa saja yang sebenarnya ditanggung oleh BPJS,” ungkap Firman. 

Tidak ada aturan pasti dari BPJS yang menjelaskan semua hal itu kepada masyarakat, sedangkan Undang-Undang (UU) Konsumen dengan jelas mengatur bahwa dalam perlindungan konsumen harus ada kepastian hukum.

Firman mengatakan penerapan rencana kebijakan tersebut, seolah-olah terdapat unsur paksaan untuk jadi peserta BPJS. Padahal, jika seseorang memutuskan tidak ikut menjadi anggota BPJS, merupakan hak asasi tetapi dalam jangka waktu mendatang harus dipersulit mengurus STNK, SIM dan lainsebagainya.

“Sanksi layanan publik tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif. Namun demikian akan dibentuk juga regulasi untuk sanksi pelayanan publik melalui instruksi presiden,” terang Firman. 

 

Pemerintah Perlu Mengkaji Kebijakan Ini

Banner Infografis Sanksi Berat Penunggak Iuran BPJS Kesehatan
Banner Infografis Sanksi Berat Penunggak Iuran BPJS Kesehatan. (Liputan6.com/Triyasni)

Pelaksanaan sanksi layanan publik tersebut akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dengan basis data yang dimiliki kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain. Indonesia adalah negara menganut sistem hukum hirarki, oleh karenanya sanksi dalam PP Nomor 86 Tahun 2013, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) serta Inpres yang akan dibentuk itu, telah melanggar peraturan yang lebih tinggi bahkan melanggar konstitusi.

Rencana kebijakan penerapan sanksi terkait pelayanan publik ini dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021, yang menurut Menter Keuangan Sri Mulyani, tahun ini BPJS Kesehatan defisit Rp 32,8 Triliun.

“Namun pemerintah perlu mengkaji penerapan kebijakan ini dan juga rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen. Sebab, kenaikan yang drastis akan berdampak secara sosial dan ekonomi serta dapat menimbulkan gejolak baru di masyarakat,” lanjut Firman.

Pengenaan sanksi terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan oleh LBH Konsumen Indonesia,  dianggap sah. Tetapi dalam koridor penentuan kebijakan tersebut seharusnya pemerintah dan BPJS mencari cara yang lebih mendidik, inovatif, manusiawi dan tidak melanggar undang-undang.

LBH Konsumen Indonesia menyatakan recana kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai kebijakan yang tidak adil, tidak manusiawi dan melanggar konstitusi. Pemerintah bersama BPJS Kesehatan masih memiliki pilihan lain untuk memberikan sanksi kepada penunggak iuran BPJS yang lebih mendidik dan manusiawi serta tidak melanggar hukum. Dengan kata lain kebijakan ini tidak harus bersifat arogan dan otoriter atau menonjolkan kekuasaan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya