Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dijuluki sebagai baby smokers county oleh Tobacco Control Support Center (TCSC) karena banyaknya balita yang merokok. Pada Mei 2010, Indonesia dan dunia juga sempat digegerkan oleh viralnya seorang balita berusia 2 tahun ARS asal Musi Bayuasin yang merokok sejak usia 18 bulan, dengan kuantitatif 40 batang sehari.
Setelah hampir satu dekade, menurut data yang disampaikan Yayasan Lentera Anak melalui film pendek Kilas Balik Satu Dekade Perokok Anak di Perpustakaan Nasional beberapa waktu lalu, terdapat 7,8 juta anak Indonesia yang merokok.
Baca Juga
Menurut Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari, peningkatan prevalansi perokok anak adalah bukti dari lemahnya pengendalian tembakau di Indonesia. Padahal, sejak tahun 2002, Indonesia sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Advertisement
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI)Â dr. Daeng M Faqih, S.H, M.H, yang turut hadir dalam acara tersebut mengatakan bahwa PP/109 sudah tidak cukup kuat.
Â
Simak Video Menarik Berikut:
Satu-satunya yang belum menandatangani FCTC
“PP 109/2012 saat ini sudah tidak cukup kuat, bahkan tidak sanggup lagi dipedomani sebagai instrumen yang cukup kuat dan tangguh untuk membentengi anak-anak Indonesia dari bahaya rokok," katanya.
Saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) -- traktat internasional yang membatasi dan mengontrol penyebaran produk tembakau seperti rokok.
Selain itu, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) juga turut memandang negatif (PP) No. 109/2012 ini. Menurut mereka, kebijakan ini lebih banyak mengatur bisnis rokok dan tembakau daripada mengatur kesehatan.
Ketua umum GAPPRI, Henry Najoan bahkan menyebut jika ingin membatasi rokok, buat regulasi yang tegas agar anak-anak tidak merokok.
Â
Penulis: Lorenza Ferary
Advertisement