Mengenal Trust dan Mistrust di 1000 Hari Pertama Pertumbuhan Anak

Psikolog Klinis Anak Rayi Tanjung Sari menyampaikan terkait perkembangan perasaan anak dari sisi psikologi di 1000 hari pertama kehidupan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 01 Agu 2020, 20:00 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2020, 20:00 WIB
Ilustrasi balita
Ilustrasi balita (pixabay.com)

Liputan6.com, Jakarta Psikolog Klinis Anak Rayi Tanjung Sari menyampaikan terkait perkembangan dan pertumbuhan anak dari sisi psikologi di 1000 hari pertama kehidupan.

Menurutnya, pada usia 0 hingga 18 bulan anak akan membangun perasaan trust dan mistrust terhadap lingkungannya.

“Pada tahapan ini anak menyesuaikan dengan lingkungan dengan menumbuhkan rasa percaya ketika pengasuh atau orangtua responsif terhadap kebutuhannya dan membangun interaksi yang baik maka akan timbul rasa trust,” ujar Rayi dalam webminar Kalbe, Kamis (30/7/2020).

Dengan ini, anak dapat percaya bahwa dunia yang ia tinggali adalah dunia yang baik. Namun, jika pengasuh atau orangtua tidak memberikan respons maka akan tumbuh rasa mistrust.

“Mereka tidak akan percaya pada lingkungannya dan ini dapat berdampak kepada anak di masa depan.”

Ciri anak merasakan mistrust salah satunya memiliki keragu-raguan. Ciri lain adalah anak terlalu bergantung pada orangtua sehingga tidak ingin ditinggalkan.

“Kalau ada orangtua di dekatnya dia tidak mau dekat-dekat tapi kalau orangtua pergi dicari itu bisa jadi trust-nya tidak tumbuh sejak dini.”

Simak Video Berikut Ini:

Usia 1 Hingga 3 Tahun

Rayi menambahkan, di usia 1 hingga 3 tahun anak mulai menginjak tahapan autonomy versus shame.

“Jadi pada usia ini, anak-anak mulai eksplorasi di lingkungan sekitarnya dan mereka mulai punya rasa autonomy, jadi mau-maunya sendiri ingin coba ini ingin coba itu. Mulai bisa pilih warna pakaian, mulai pilih mainan.”

Tahap ini dapat dilihat dengan anak yang mulai memiliki keinginan sendiri. Ketika orangtua meminta A makai a inginnya B. Anak mulai merasa punya hak atas diri sendiri dan mampu melakukan berbagai hal sendiri.

“Ketika orangtua memfasilitasi, memberikan kesempatan untuk memilih, untuk eksplorasi, maka dia akan menumbuhkan perasaan autonomy ini. Jadi anak merasa mampu mengontrol dirinya, memprediksikan apa yang akan terjadi.”

Jika orangtua tidak memfasilitasi atau memberi kesempatan untuk memilih dan mengeksplorasi, maka anak tidak memiliki perasaan bisa mengendalikan lingkungan sekitarnya atau tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu.

“Maka akan tumbuh shame dan ke depannya bisa menyebabkan rendahnya self esteem anak.”

Menurut Rayi, untuk mencegah terjadinya hal ini, membangun interaksi dengan anak dapat menjadi solusi.

“Jadi membangun interaksi atau koneksi, ibaratnya radio, kita mencari frekuensi yang sama supaya kita bisa dengar anak dengan baik.”

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya