Canggih, Peneliti AS Kembangkan Masker dengan Biosensor Pendeteksi COVID-19

Para peneliti di AS mengembangkan teknologi yang bisa disisipkan dalam masker, untuk mendeteksi apakah penggunanya terkena COVID-19 atau tidak

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 10 Jul 2021, 21:00 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2021, 21:00 WIB
Aturan Menggunakan Masker Ganda, Ini Hal yang Harus Dihindari
CDC melaporkan masker ganda mengurangi risiko paparan virus corona hingga 95 persen. Simak aturannya berikut ini. (Foto:Unsplash.com/Vincentghilione).

Liputan6.com, Jakarta Para peneliti terus mencari cara untuk dapat mendeteksi COVID-19 dengan cepat dan mudah. Salah satu teknologi yang dikembangkan baru-baru ini memungkinkan masker menjadi sarana untuk mendeteksi apakah seseorang tertular virus corona atau tidak.

Perangkat semacam ini tengah dalam penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Wyss Institute for Biologically Inspired Engineering di Harvard University,  Amerika Serikat (AS). 

Dikutip dari CNET, Kamis (8/7/2021), para peneliti ini menciptakan biosensor yang dapat digunakan dan diintegrasikan ke dalam kain, sehingga memungkinkan perangkat bisa dipakai mendeteksi patogen.

Dalam publikasi mereka di Nature Biotechnology, biosensor tersebut dipasang di masker KN95 dan dilaporkan berhasil mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 dalam napas seseorang.

Para peneliti mengatakan, sensor diaktifkan dengan tombol dan memberikan hasil strip pembacaan dalam waktu 90 menit. Mereka juga menyebut bahwa tingkat akurasi bisa sebanding dengan tes PCR COVID-19 standar.

"Konsep ini sama seperti cara kulit kita bekerja, di mana Anda secara otomatis merasakan lingkungan dengan kepekaan yang luar biasa tanpa perlu secara aktif berpartisipasi dalam detil proses itu sendiri," kata Peter Nguyen, salah satu peneliti di Harvard, mengutip France24.

 

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini


Menyamai Deteksi Virus di Laboratorium

Dalam studi baru ini, para ilmuwan menciptakan kembali bagian-bagian sel yang merasakan mikroorganisme berbahaya dan membekukannya. Mereka lalu diaktifkan kembali untuk memulai pengujian dengan menambahkan air.

Tes semacam itu sebelumnya didasarkan pada sel hidup, yang menurut para peneliti bisa terlalu rapuh dan terkadang berbahaya dalam pengaturan non-medis. Dalam studi baru, peneliti menggunakan reaksi bebas sel yang mengandung alat sel hidup tanpa sel itu sendiri.

Karena tidak hidup, sensor dapat dibekukan dan dikeringkan kembali, serta disimpan selama berbulan-bulan hingga siap untuk diaktifkan.

Para peneliti mengatakan, sensor tersebut, yang menggunakan teknologi penyuntingan gen CRISPR, bisa menyamai deteksi virus di laboratorium dan dijalin menjadi kain yang bisa dipakai.


Belum Diproduksi Secara Massal

Gambar Ilustrasi Wanita Menggunakan Masker Medis
Sumber: Unsplash

Setelah penggunanya memakai masker tersebut selama 15 menit, mereka lalu menusuk kantung kecil di masker dan air memasukkan sampel ke dalam sensor untuk berikutnya dianalisis.

Selain di masker, mereka juga tengah mengembangkan jaket bagi orang-orang yang bekerja di lingkungan berbahaya. Alat ini menggunakan alat penyuntingan gen CRISPR, untuk membuat sensor menyala ketika terkena patogen yang ditargetkan.

"Dalam jangka pendek, kami bisa melihat perangkat ini dan khususnya masker digunakan di klinik untuk situasi khusus," kata Nguyen. Namun ia mengatakan, untuk jangka panjang, cara ini bisa digunakan masyarakat secara luas, khususnya dalam wabah lokal, untuk tes mandiri.

Meski begitu, perangkat ini masih digunakan terbatas dalam penggunaan laboratorium. Tim dari Wyss Institute juga menyebut bahwa mereka masih mencari bantuan untuk produksi secara massal.


Infografis Cara Pakai Masker Dobel yang Benar

Infografis Cara Pakai Masker Dobel yang Benar
Infografis Cara Pakai Masker Dobel yang Benar (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya