Liputan6.com, Jakarta Hingga Selasa, 14 Juni 2022 jumlah kasus baru BA.4 dan BA.5 tercatat sebanyak 20 kasus. Angka subvarian Omicron ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril.
"Sampai hari ini, ada 20 subvarian Omicron yang terdiri atas dua kasus BA.4 dan 18 kasus BA.5," kata Mohammad Syahril yang dikonfirmasi melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa siang (14/6/2022) mengutip Antara.
Baca Juga
Dengan demikian, laju kasus subvarian Omicron tersebut bertambah 12 kasus dari laporan sebelumnya yang berjumlah delapan kasus.
Advertisement
BA.4 dan BA.5 di Indonesia bermula dari laporan empat kasus di Bali pada 6 Juni 2022 dan bertambah empat kasus lagi di Jakarta dalam beberapa hari kemudian.
Sejak terdeteksi, subvarian ini telah menarik perhatian para ahli, salah satunya ahli epidemiologi Dicky Budiman. Ia pun menerangkan terkait karakteristik dari BA.4 dan BA.5.
Menurutnya, subvarian ini memiliki karakter yang lebih efektif lantaran terdiri dari kombinasi kecepatan menginfeksi Omicron dan kemampuan mengikat sel dari Delta.
BA.4 dan BA.5 adalah subvarian Omicron, lanjutnya, jadi masih bagian dari Omicron walaupun karakternya sudah sangat berbeda dari BA.1 dan BA.2.
“BA.4 atau khususnya BA.5 ini dia memiliki karakter yang merupakan kombinasi antara kecepatan menginfeksi yang dia warisi dari Omicron leluhurnya.”
“Dan dia mengadopsi juga mutasi dari COVID-19 varian Delta L452 yang membuat dia mudah terikat di receptor ACE2 dan mudah masuk ke dalam sel tubuh manusia untuk menginfeksi dan akhirnya mudah untuk bereplikasi di paru,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara Selasa (14/6/2022).
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bisa Menginfeksi Ulang
Hal tersebut membuat sebagian gejala orang yang terinfeksi BA.4 dan BA.5 khususnya yang belum divaksinasi lengkap terlihat hampir mirip dengan gejala Delta.
“Misalnya hilang penciuman, rasa lelah, dan pada kasus yang berat bisa seperti Delta, harus dibawa ke rumah sakit, ini merujuk data di Portugal.”
Selain itu, BA.4 dan BA.5 ini bisa menginfeksi ulang. Jadi, meskipun sudah terinfeksi oleh Omicron sebelumnya, tapi tetap bisa terinfeksi lagi dengan BA.4 dan BA.5.
Mengingat karakter subvarian BA.4 dan BA.5 lebih efektif, maka tidak heran jika akan ada banyak kasus infeksi baru, lanjut Dicky.
“Namun, bedanya dalam konteks Indonesia, 2 tahun ini kita sudah membentuk modal imunitas yang artinya orang akan banyak yang tidak bergejala.”
Dari hasil analisis yang dilakukan Dicky, ia menemukan bahwa cakupan vaksinasi berbagai dosis sudah tinggi di berbagai negara, tapi kasus baru bisa tetap tinggi.
Ini terutama bagi negara dengan populasi lanjut usia (lansia) tinggi dan tidak memiliki bekal imunitas hibrid.
Advertisement
Tak Mengganggu Upaya Menuju Endemi
Imunitas hibrid didapatkan ketika seseorang sudah sempat terinfeksi dan juga sudah divaksinasi.
“Pada negara yang belum terdampak besar Delta, ini akan memiliki risiko yang lebih besar karena modal imunitas hybrid-nya untuk memblokade dan meredam BA.4 dan BA.5 tidak memadai. Ini yang harus diwaspadai.”
Pada negara yang saat gelombang Delta terdampak besar dan sudah vaksinasi, maka akan ada proteksi silang terhadap BA.4 dan BA.5.
Meski memicu kenaikan kasus, tapi sejauh ini BA.4 dan BA.5 tidak mengganggu upaya menuju endemi.
Menurut pengamatan Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Siti Nadia Tarmizi, peningkatan kasus COVID-19 terbilang sedikit dan positivity rate-nya masih sangat rendah di kisaran 1,4-1,5 persen.
Peningkatan kasus pun bukan hanya disebabkan oleh subvarian BA.4 dan BA.5, tapi mobilitas masyarakat yang tinggi saat Lebaran pun berkontribusi.
“Mobilitas masyarakat itu kan hampir 80 juta, jadi memang pergerakan itu sangat tinggi dan pergerakan itu selalu menyumbang penambahan kasus.”
Tak Menimbulkan Klaster yang Luas
Namun, jumlah yang terlihat seperti meningkat itu tidak menimbulkan klaster atau perluasan kasus secara luas.
“Jadi melihat angka tersebut kita menilai bahwa peningkatan kasus tadi itu adalah suatu hal yang wajar dan ini masih dalam jumlah yang rendah dan tidak mengganggu terhadap upaya menuju endemi.”
“Jadi pandemi yang terkendali ini dengan adanya jumlah kasus yang sedikit meningkat itu sebenarnya merupakan sebuah dinamika dari penularan tapi tetap dalam koridor bahwa pandemi ini masih terkendali.”
Hal ini dibuktikan dengan laju angka penularan yang cenderung di angka satu dalam 4 minggu terakhir. Bahkan sempat di bawah angka satu, 0,96. Artinya, pandemi COVID-19 ini masih dalam kondisi terkendali.
Namun, Dicky memiliki pendapat berbeda. Ia mengatakan bahwa saat ini COVID-19 di Indonesia belum terkendali.
“Kalau bicara terkendali, kita haru sabar. Karena terkendali itu bukan hanya melihat indikator kasus infeksi yang menurun atau tidak terdeteksi, bukan hanya melihat dari sisi kematian atau keparahan atau angka reproduksi dan test positivity rate saja.”
“Tapi bagaimana tren penurunan dan indikator yang ada saat ini bisa bertahan. Hingga berapa lama tren ini bisa bertahan,” kata Dicky.
Advertisement