IDAI: Kasus Gangguan Ginjal Akut Misterius pada Anak Jadi 131

Gangguan ginjal akut misterius atau Acute Kidney Injury (AKI) pada anak-anak kasusnya melonjak dua bulan terakhir. Per 10 Oktober 2022 sudah ada 131 anak alami kondisi tersebut.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 12 Okt 2022, 15:06 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2022, 18:33 WIB
Ilustrasi gangguan ginjal akut misterius atau Acute Kidney Injury (AKI)
Ilustrasi gangguan ginjal akut misterius atau Acute Kidney Injury (AKI). Foto: Unspalsh.

Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan, hingga 10 Oktober 2022 kasus gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) sudah mencapai 131 sepanjang tahun ini. 

“Per 10 Oktober (data) yang masuk ke kami, mungkin tidak representatif seluruh Indonesia ya, ada 131 kasus. Tentu saja ini menimbulkan kewaspadaan buat kita semua,” ujar Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso dalam konferensi pers virtual, Selasa (11/10/2022).

Piprim memperkirakan, puncak kasus gangguan ginjal akut ini sudah terjadi pada September lalu karena di bulan ini terjadi penurunan. Awalnya, ia mengira kasus ini berkaitan dengan COVID-19 tapi ternyata tidak.

“Oleh karena itu, ini masih perlu terus kita dalami, yang jelas angka kematiannya cukup tinggi. Tetap waspada tapi tidak perlu panik berlebihan,” tambah Piprim.

Piprim juga memberi gambaran, biasanya acute kidney injury terjadi pada anak-anak yang memiliki masalah ginjal bawaan. Namun, pada pasien-pasien yang ada saat ini, ginjal mereka awalnya normal dan bukan disebabkan kelainan bawaan.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI Eka Laksmi Hidayati menambahkan. Sejak Agustus 2022, pihaknya melihat ada lonjakan kasus anak-anak yang dibawa ke rumah sakit dengan keluhan acute kidney injury.

Unknown Origin

Ia menambahkan, penyakit ini disebut unknown origin seperti hepatitis akut. Pasalnya, gangguan ginjal akut ini sebelumnya tak pernah menjadi diagnosis tunggal.

“Jadi AKI itu pasti merupakan kondisi yang ada penyebabnya. Pada anak-anak ini kami tidak menemukan penyebab yang biasanya timbul. Yang sering terjadi, AKI itu biasanya efek dari kehilangan cairan atau kekurangan cairan dalam waktu yang singkat.”

Misalnya, kehilangan cairan pada anak yang mengalami diare sehingga dehidrasi hebat. Bisa terjadi pula pada anak yang mengalami perdarahan hebat atau dengue hebat.

“Nah kondisi-kondisi seperti itu, di mana terjadi kekurangan cairan yang masuk ke ginjal maka itu akan menyebabkan AKI. Ada juga yang sering menjadi penyebab adalah infeksi yang berat.”

Namun, pada anak-anak yang menjadi pasien AKI sekarang ini, tidak ada alasan atau penyebab yang jelas yang dikeluhkan sebelum terjadi gangguan ginjal akut.

“Dalam wawancara dengan orangtuanya ini tidak jelas dan cenderung tiba-tiba mengalami penurunan jumlah urine. Jadi kami belum mendapatkan penyebabnya.”

Upaya Pencarian Penyebab

Upaya pencarian atau investigasi penyebab sudah dilakukan. Namun, sejauh ini data-data yang didapat belum mengarah ke satu titik. Padahal, investigasi dilakukan secara lengkap.

“Sejauh ini kami tidak mendapatkan data yang konsisten yang mengarah pada penyebab anak-anak ini mengalami AKI.”

Hingga 10 Oktober, ada 14 cabang IDAI yang melaporkan kasus AKI dengan jumlah total 131 seperti yang disampaikan Piprim.

Sebelumnya pada Agustus, ada sebanyak 35 kasus. Satu bulan kemudian, yakni pada September terjadi penambahan menjadi 71 kasus.

Gejala AKI

Terkait gejalanya, Eka mengatakan bahwa anak-anak yang terkena AKI menampilkan gejala yang cenderung seragam. Diawali infeksi lalu anak tersebut mengalami penurunan volume dan frekuensi buang air kecil bahkan tidak bisa pipis sama sekali. 

“Kurang lebih seragam gejalanya, diawali gejala infeksi seperti batuk pilek atau diare dan muntah. Infeksi tersebut tidak berat, maksudnya bukan tipikal infeksi yang kemudian bisa menyebabkan AKI secara teori.”

Anak hanya mengalami batuk, pilek, muntah, dan dalam beberapa hari. Kemudian dalam tiga sampai lima hari mendadak tidak ada urinenya.

“Tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sama sekali urinenya. Anak-anak ini hampir semuanya datang dengan keluhan tidak bisa buang air kecil atau buang air kecilnya sangat sedikit.”

“Jadi perlu waspada jika ada penurunan volume buang air kecil pada anak maka harus segera dibawa ke rumah sakit.”

Umumnya, anak-anak yang terkena adalah kelompok usia bawah lima tahun (balita). Namun, ada pula yang berusia 8 tahun khususnya bagi kasus di Jakarta.

“Kalau data Indonesia, kurang lebih sama yaitu balita, tapi di luar Jakarta ada yang belasan tahun. Di Jakarta kami belum menemukan kasus yang di atas 8 tahun,” pungkasnya.

Infografis Tak Perlu ke Mal, Anak Lebih Baik di Rumah Saja. (Liputan6.com/Niman)
Infografis Tak Perlu ke Mal, Anak Lebih Baik di Rumah Saja. (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya