Liputan6.com, Jakarta Ada begitu banyak cara yang dianjurkan untuk menjaga kesehatan mental. Salah satunya dapat dilakukan dengan memiliki waktu tidur yang cukup dan berkualitas, terutama di malam hari.
Meskipun mungkin terdengar sederhana, tidur ternyata punya dampak yang begitu luas untuk kesehatan mental. Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana mengungkapkan bahwa seringkali tidur memang menjadi suatu hal yang dikesampingkan.
Baca Juga
"Seringkali itu (tidur) di nomor sekiankan. Jadi banyak kasus yang datang, remaja keluhannya adalah cemas, depresi, self harm, suicidal, dan sejenis itu. Kalau dirunut, itu memang tidurnya terganggu. Tidurnya kurang berkualitas," ujar Vera dalam acara Tanya IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) ditulis Kamis, (24/11/2022).
Advertisement
Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia. Menurut Vera, tubuh baru dapat berfungsi secara optimal bila kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Sebaliknya, saat kebutuhan dasar termasuk soal tidur tidak terpenuhi, maka akan ada dampak yang ditimbulkan.
"Ibaratnya, bagaimana sih badan kita mau berfungsi secara optimal kalau misalnya kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Bahkan saya baca, kalau remaja yang tidurnya kurang dari delapan jam memang meningkatkan risiko self harm, suicidal behavior, dan suicidal thought itu," kata Vera.
Vera menjelaskan, fungsi lain dari tubuh dapat terganggu saat Anda tidak memiliki waktu tidur yang cukup. Dari sana, emosi bisa mengalami gangguan dan menciptakan dampak-dampak lanjutannya.
"Kalau memang tidurnya kurang, tentu saja itu memengaruhi fungsi lainnya. Seperti berpikir dan pengendalian emosi. Jadi untuk mengendalikan emosinya, bukan anaknya diajak meditasi atau yoga, tapi cukupkan dulu tidurnya. Sesuaikan dengan usianya," ujar Vera.
Gangguan Tidur pada Remaja
Lebih lanjut Vera mengungkapkan bahwa selama pandemi COVID-19, gangguan tidur khususnya pada remaja pun mengalami peningkatan.
Menurutnya, hal ini disebabkan karena adanya pelonggaran batasan dimana segala aktivitas nampak bisa dilakukan kapanpun. Sehingga terjadilah perubahan aktivitas yang berdampak pada perubahan waktu tidur di kalangan remaja.
"Selama pandemi kemarin, meningkat tuh gangguan tidurnya karena kita di rumah, jadi longgar batasannya. Apa saja bisa dilakukan kapan pun. Jadi terjadi perubahan aktivitas. Klien saya ada yang tidur jam 3 pagi, karena tidak harus bangun pagi kan. Jadi cuma bangun, kucek-kucek mata, buka laptop deh masuk sekolah," kata Vera.
Pendapat selaras disampaikan oleh dokter spesialis anak, Prof Dr dr Rini Sekartini. Rini menjelaskan, banyak survei yang ikut menunjukkan bahwa gangguan tidur pada remaja mengalami peningkatan di masa pandemi COVID-19.
"Kita harus aware kalau bukan balita saja yang mengalami gangguan tidur. Ternyata anak remaja juga punya gangguan tidur terutama selama masa pandemi COVID-19. Dari banyak survei yang dilakukan ternyata gangguan tidurnya meningkat (pada remaja)," ujar Rini.
Advertisement
Kesulitan untuk Jalani Aktivitas
Rini mengungkapkan bahwa setelah mengalami gangguan tidur dan harus kembali menjalani aktivitas secara offline, banyak remaja yang akhirnya kewalahan untuk memutar kembali pola tidurnya.
Terlebih, seringkali gangguan tidur pada remaja tidak terdeteksi. Hal ini lantaran banyak remaja yang sudah tidur terpisah dari orangtuanya. Sehingga pola tidurnya tidak lagi cukup terpantau seperti saat anak-anak.
"Remaja diharapkan pola tidurnya sudah mandiri. Tapi justru dengan kemandiriannya ini, gangguan tidur yang dialami tidak terdeteksi dan orangtua kemudian baru tahu, baru ngeh kalau anaknya ada gangguan tidur," kata Rini.
"Jadi kita harus memperhatikan lagi pola tidur pada remaja, yang faktor lingkungannya sangat banyak yang mempengaruhi. Baik dari lifestyle, lingkungan kamar tidur, demikian juga pengaruh dari lingkungan pertemanan," tambahnya.
Jadi, Berapa Lama Waktu Tidur yang Dianjurkan?
Menurut Rini, berapa lama waktu tidur yang dibutuhkan oleh seseorang bergantung pada kategori usianya. Kategori usia remaja sendiri terbagi menjadi tiga.
Ketiganya adalah remaja awal (10-12 tahun), menengah (13-15 tahun), dan akhir (16-18 tahun). Rini mengungkapkan, jumlah waktu tidur yang dianjurkan pada ketiga kategori remaja tersebut tetap sama.
"Kalau pada remaja, pola tidur jumlah waktunya sama. Remaja awal maupun akhir itu minimal harusnya delapan jam. Tapi kalau kita tanya, banyak orangtua yang anaknya enggak ada yang pernah tidur delapan jam terutama tidur malam, bukan dijumlahkan," ujar Rini.
Persoalan kurang tidur sendiri telah banyak dibahas dalam berbagai penelitian. Salah satunya oleh sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS ONE.
Para peneliti menemukan bahwa orang yang sering aktif di malam hari memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami gangguan psikologis. Hal tersebut lantaran seseorang yang memiliki ritme sirkadian berbeda yakni lebih aktif pada malam hari memiliki strategi koping yang berbeda terhadap stressor.
Advertisement