Liputan6.com, Jakarta Peningkatan kasus campak di Papua Tengah terjadi pada 83 anak, yang mana 15 di antaranya, meninggal dunia. Informasi ini sebagaimana data yang dihimpun Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 11 Maret 2023.
Dokter spesialis anak klinis, Anggraini Alam dari Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropik IDAI membeberkan, campak dapat menyebabkan infeksi yang berujung memperparah kondisi anak. Bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Baca Juga
"Nah, ini yang paling jelek campak, bukan dari hanya pada saat sakit dia bisa menyebabkan infeksi telinga. Kemudian kalau gizi buruk vitamin A-nya kurang, maka lapisan matanya akan keruh, buta," ungkapnya saat Media Briefing bertajuk, Mengapa Difteri dan Campak Harus Diwaspadai pada Jumat, 10 Maret 2023.
Advertisement
"Kemudian diare akibat dehidrasi berat, jadilah kematian. Kematian terbanyak ini karena campak menimbulkan terjadinya infeksi pada paru dan ini meninggal karena pneumonia akibat campak. Inilah yang menyebabkan anak menjadi meninggal.
Infeksi campak seperti di Papua Tengah yang merenggut nyawa belasan pula makin berat terhadap anak dengan kondisi gizi buruk. Anak bisa mengalami kejang.
"Apalagi apabila anaknya gizi buruk. Dikatakan kejang di sini memang kurang 1 persen, tetapi apa istilahnya kejangnya itu tidak tampak, tetapi sebenarnya yang lebih buruk lagi pas kena otaknya lebih cepat meninggal," sambung Anggraini.
Kemungkinan Meninggal karena Campak Sangat Banyak
Anggraini Alam menuturkan, campak termasuk penyakit yang paling menular. Tanda-tanda menular bisa saja selang empat hari sebelum muncul merah-merah di kulit sampai memudar merah-merahnya di kulit.
"Penularannya sangat panjang karena bisa melalui kita bicara, bersin, batuk ditularkan kepada yang rentan tidak ada daya tahan tubuh terhadap campak," tuturnya.
Lebih lanjut, Anggraini mengatakan, kematian 15 anak karena campak di Papua Tengah ibarat fenomena gunung es.
"Yang meninggal itu yang terlaporkan sekian, nah sangat mungkin lebih banyak lagi, apalagi kondisi di Papua ini jauh-jauh di hutan, sulit transportasinya. Bahkan untuk menanganinya Papua Tengah ini butuh bantuan logistik transportasi udara alias pesawat," katanya.
Kasus campak pun tak hanya terjadi di Papua Tengah, bahkan di Pulau Jawa tercatat ada di Banten, Jawa Barat.
"Ada juga kasus di Pangandaran, Jawa Timur itu terjadi, bahkan ada yang mix baik antara rubella dengan campak," terang Anggraini.
Advertisement
Soroti Kendala Penanganan Campak
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) turut menyoroti soal 83 anak di Papua Tengah yang terinfeksi campak. Dari data yang ia terima, 15 di antaranya, meninggal dunia karena kesulitan mendapatkan akses kesehatan.
Pria yang akrab disapa Bamsoet meminta pada pihak pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI bersama dengan Dinas Kesehatan untuk benar-benar fokus menangani wabah ini.
"Meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Dinas Kesehatan setempat untuk benar-benar concern menangani wabah campak yang kembali terjadi di Papua," ujar Bamsoet melalui keterangan yang diterima Health Liputan6.com, Selasa (7/3/2023).
"Salah satunya dengan melakukan imunisasi MR massal yang menyasar kelompok usia anak yakni 9 bulan hingga 15 tahun, dengan tujuan untuk membentuk antibodi dan proteksi diri terhadap virus campak tersebut. Mengingat, imunisasi masih menjadi upaya pencegahan terbaik menghadapi virus," tambahnya.
Selain itu, Bamsoet turut meminta Kemenkes RI untuk fokus pada tantangan atau kendala apapun dalam upaya penanganan kasus campak di Papua. Dalam hal ini, berkaitan dengan akses jalan menuju fasilitas kesehatan yang sulit.
Kesulitan akses jalanan menuju fasilitas kesehatan itu dianggap mempersulit tenaga kesehatan agar dapat tersebar secara merata di sana.Â
"Diperlukan solusi tepat serta upaya riil guna memaksimalkan penanganan kasus campak di Papua, yakni dengan membangun akses jalan di wilayah-wilayah terdalam hingga mengirimkan tenaga kesehatan yang disebar ke wilayah yang minim akses," kata Bamsoet.