Liputan6.com, Jakarta - Keriuhan membandingkan dokter di Indonesia versus luar negeri belum selesai. Di media sosial masih seliweran cerita warganet yang mendapatkan pelayanan dari dokter luar negeri yang lebih baik dari dalam negeri.
Memang yang santer terdengar adalah curahan hati komika Kiky Saputri saat membalas cuitan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Maret 2023. Saat itu Jokowi mencuit soal hampir dua juta penduduk RI masih berobat ke luar negeri.
Baca Juga
Dokter di Papua Jadi Korban Kekerasan Oknum Pejabat, PB IDI Minta Aparat Kepolisian Tindak Pelaku Sesuai Ketentuan
Dilempar dan Dipukul oleh Oknum Pejabat Papua, Dokter di RSUD Lukas Enembe Alami Patah Tulang
The Changcuters Kini Minta Riders Dokter Tiap Kali Konser Usai Insiden Tria Pingsan di Panggung
Kiky Saputri menceritakan pengalaman mertuanya didiagnosis stroke telinga di Indonesia. Sudah mendapatkan pengobatan tapi tak kunjung membaik. Lalu, dibawa ke Singapura dan didiagnosis flu.
Advertisement
Saat ini, kondisi mertua Kiky sudah sembuh. Seperti ini cuitan wanita dengan followers 142 ribu itu:
"Mertua saya didiagnosa stroke kuping karena tiba2 pendengarannya terganggu. Disuntik dalemnya malah makin parah pendengarannya. Akhirnya ke RS Spore & diketawain sama dokternya mana ada stroke kuping. Itu cuma flu jadinya bindeng ke telinga & sekarang udah sembuh. Kocak kan?"
Menkes Budi Gunadi Sadikin Juga Menyinggung Warga RI yang Berobat ke Luar Negeri
Sebelum Jokowi, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin juga pernah membahas soal banyak warga RI yang berobat ke luar negeri. Budi mengungkapkan dirinya malu karena masih ada warga Indonesia yang harus ke Malaysia untuk mendeteksi penyakit langka.
Ungkapan itu dituturkan oleh Menkes Budi saat berbincang dengan orangtua yang anaknya mengalami penyakit langka Maple Syrup Urine Disease (MSUD).
"Aku sih mohon maaf agak gengsi juga, kita dibawa ke Malaysia itu gengsi. Jadi, Menteri Kesehatan itu kayaknya kita gagal juga. Menteri Kesehatan Indonesia enggak bisa ngurus orang Indonesia, mesti pergi ke Malaysia kan kita malu,” ujar Menkes Budi dalam acara Rare Disease Day 2023 bersama Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia.
Reaksi Warganet dan Alasan Memilih Berobat ke Luar Negeri
Terkait ungkapan Menkes, seorang warganet dengan akun @keluarga***** mengatakan bahwa dia dan keluarganya punya alasan berobat ke luar negeri.
"Pak Menkes, saya cuma mau komentar, kenapa orang kita sukanya ke luar negeri? Karena kita nggak mendapatkan hasil yang baik, dicoba-coba menggunakan obat-obatan," kata wanita dalam video itu.
Wanita itu bercerita bahwa ayahnya sempat mengeluh sakit di bagian perut yang teramat sangat. Lalu memeriksakan diri ke dokter di puskesmas menggunakan BPJS Kesehatan.
Dokter mendiagnosis ayahnya mengalami hipertensi, kolesterol dan diabetes. Lalu, diberikan obat untuk penyakit tersebut.
Selang tiga hari, sang ayah pingsan. Lalu, dibawa ke rumah sakit dan menggunakan BPJS Kesehatan tapi oleh pihak rumah sakit disampaikan bahwa sang ayah memang pingsan tapi tidak dalam keadaan gawat.
Lalu, ayahnya tidak membaik bahkan kuning. Dibawa lagi ke sebuah rumah sakit di Jakarta Utara untuk bertemu dokter penyakit dalam konsultan gastro.
Alasan Memilih Berobat ke Luar Negeri, Malaysia
Tak mendapatkan kejelasan penyakit, kemudian mereka berdiskusi dan memilih membawa ke Malaka, Malaysia. Di sana, pasien menjalani tes darah serta kolonoskopi.
"Dari situ baru tahu batu empedu. Enggak perlu operasi cuma dikasih obat karena batu empedunya masih kecil. Boleh pulang dan sembuh," katanya.
Dari pengalaman sang ayah, jika masih sakit biasa saja maka tetap di Indonesia. Namun, kalau sudah agak berat maka lebih memilih ke luar negeri karena mendapatkan kejelasan penyakit.
Kenapa Memilih Berobat ke Malaysia?
Kisah lain, juga diceritakan di TikTok diunggah di akun @tusuk******. Ia menceritakan pengalaman berobat ke Malaysia yang cepat dan ringkas. Efisien di waktu dan tenaga.
"Kalau kita berobat ke sana (Malaysia) dalam satu hari semua urusan selesai. Ketemu dokter, hasil lab keluar semua, tahu penyakit kita," kata wanita tersebut.
Advertisement
Pakar Kesehatan Masyarakat, Kemampuan Komunikasi Dokter di Indonesia yang Kurang
Diagnosis yang tidak tepat, dokter yang pelit menjelaskan, dokter yang telat datang, suster yang judes dan ribetnya sistem mendapatkan pelayanan kesehatan adalah beberapa yang kerap dikeluhkan masyarakat.
Terkait itu, Hermawan Saputra, pakar kesehatan publik yang juga Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan ada banyak faktor yang mendasari.
"Ini adalah masalah yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Tentu ada banyak faktor," kata Hermawan lewat sambungan telepon kepada Health Liputan6.com ditulis Senin (13/3/2023).
Menurut Hermawan ada empat faktor yang mendasari munculnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan di fasilitas kesehatan dalam negeri, yaitu:
- Hilangnya pelayanan yang berpusat pada pasien
- Kurang Clinical Effectiveness
- Medical Tourism Negara Asing
- Regulasi
4 Faktor Ketidakpuasan Masyarakat Berobat di Indonesia
1. Hilangnya Pelayanan yang Berpusat pada Pasien
Hermawan menuturkan pelayanan kesehatan itu utamanya berfokus pada pasien (patient centeredness). Bila menerapkan hal ini, dokter serta tenaga kesehatan maupun non kesehatan di faskes menghargai pasien, cepat dan tanggap yang sejakan dengan keramahan dan kesopanan.
Namun, di Indonesia, faktor ini kerap diabaikan. Hal ini yang kerap menjadi ketidakpuasan masyarakat saat mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan di Tanah Air.
"Ini adalah main problem nomor satu. Kita menyebutnya patient centeredness less, hilangnya pelayanan yang berpusat pada pasien dan keluarga. Itu yang banyak membuat rasa tidak puas," kata Hermawan.
Sehingga, ketika nakes atau dokter berbicara dengan kurang baik seperti judes, itu sudah membuat masyarakat tidak nyaman dan puas.
"Ini kita belum bicara substansi klinis tapi baru terkait dengan terkait menghormati pasien, ketanggapan dan komunikasi yang efektif," kata Hermawan.
2. Kurang Clinical Effectiveness
Beberapa warganet mengutarakan terdapat perbedaan diagnosis saat ditangani dokter di Indonesia. Ketika di luar negeri baru diketahui penyakit yang sebenarnya.
Pada kasus-kasus seperti ini, Hermawan melihat bahwa terkait denagn kurangnya clinical effectiveness atau pelayanan klinis yang kurang efektif.
"Untuk layanan kita yang memakai JKN (Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan) itu sangat terkesan membolak-balikkan pasien, ini karena ada sistem rujukan berjenjang," kata Hermawan.
Sistem kesehatan berjenjang ini membuat memiliki potensi salah diagnosis. Hal ini terkait dengan keterbatasan laboratorium, radiologi dan dokter spesialis yang terbatas di fasilitas kesehatan dasar.
Sementara, kalau di luar negeri, seperti di Singapura, pasien yang berasal dari luar negeri dimanjakan. Sementara kalau di Indonesia, saat mendaftar bisa hitungan jam, lalu masih menunggu dokter yang mungkin telat, lalu masih periksa lab dan radiologi. Bila membayar sendiri, lalu masih antre di kasir yang lokasi antara satu dan lainnya jauh.
"Jadi, akhirnya berjam-jam kadang penuh air mata. Tidak efektif dan efisien," kata Hermawan.
Advertisement
3. Medical Tourism Negara Asing
Negara di luar negeri seperti di Singapura atau Malaysia yang menjalankan medical tourism, pasien yang berasal dari luar negeri dimanjakan. Mulai dari mendaftar hingga hasil pemeriksaan laboratorium yang cepat hasilnya.
"Ini biasanya dalam keadaan pemeriksaan kesehatan level skrining atau berkonsultasi," kata Hermawan.
4. Regulasi
Hermawan menuturkan bahwa Indonesia memiliki banyak regulasi sehingga sulit membuka layanan kesehatan Misalnya adanya ketersediaan dokter spesialis di sebuah rumah sakit mesti jumlah tertentu.
Padahal, jumlah dokter dan dokter spesialis di Indonesia selain terbatas juga terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Ketika tidak ada dokter di dekat tempat tinggal, hal ini membuat masyarakat memilih terbang ke negara tetangga yang bisa jadi lebih dekat daripada mesti ke Pulau Jawa.
Kritikan Masyarakat Penting untuk Perubahan Layanan Kesehatan di Indonesia yang Lebih Baik
Melihat banyak kritikan terhadap pelayanan fasilitas kesehatan di Indonesia baik itu dari dokter maupun tenaga kesehatan lain, menurut Hermawan ini saat yang tepat untuk bertransformasi.
"Oh iya, ini esensi dari transformasi layanan kesehatan kita. Saatnya kita benahi," katanya.
Hal mendasar yang bisa Indonesia benahi adalah kemampuan berkomunikasi efektif dari dokter maupun tenaga kesehatan dan non kesehatan yang ada di fasilitas kesehatan.
"Enggak melulu bicara peralatan canggih atau fasilitas peralatan yang mewah dan mahal tapi keramahtamanahn dan kenyamanan itu harus diwujudkan," katanya.
"Di ranah kesehatan publik, ini penting," pungkas Hermawan.
Advertisement