Liputan6.com, Jakarta Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa virus Marburg yang terkenal mematikan sudah menyebar di beberapa negara Afrika, yakni Ekuatorial Guinea dan Tanzania.
Di Tanzania, ada delapan kasus dengan lima kematian. Sementera itu, di Ekuatorial Guinea, sebanyak sembilan orang telah terkonfirmasi positif.
Baca Juga
Nama virus Marburg masih asing bagi sebagian besar masyarakat. Lantas dari mana asal virus Marburg?
Advertisement
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Profesor Tjandra Yoga Aditama mengatakan asal virus Marburg pertama kali ditemukan di Kota Marburg, Jerman. Selain itu ditemukan juga di Belgrade, Serbia. Penyakit ini pun diberi nama sesuai kota tempat pertama ditemukan.
“Penyakit ini bermula dari penelitian pada monyet dari Uganda yang diperiksa di Lab di Jerman. Jadi ini bukan penyakit baru,” kata Tjandra dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Senada dengan Tjandra, epidemiolog Dicky Budiman juga mengatakan bahwa virus Marburg ditemukan pertama kali pada 1967 di Marburg dan Frankfurt, Jerman, dan Beograd, Serbia. Penemuan ini setelah adanya wabah demam berdarah parah di kalangan pekerja laboratorium saat itu.
Selain pada monyet Afrika atau African green monkeys, penyakit Marburg juga dihubungkan dengan kelelawar jenis Old World Fruit Bat atau rousettus aegyptiacus.
Hewan ini bukan merupakan spesies asli Indonesia dan belum ditemukan di Indonesia, tapi Indonesia masuk jalur mobilisasi kelelawar ini.
Cara Penularan Virus Marburg
Cara penularan virus Marburg melalui kontak dengan cairan tubuh atau jaringan hewan atau manusia yang terinfeksi.
Lebih lanjut, WHO menjelaskan virus Marburg menyebar melalui penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung (melalui kulit yang rusak atau selaput lendir) dengan darah, sekresi, organ atau cairan tubuh lainnya dari orang yang terinfeksi.
Bisa pula dengan permukaan benda misalnya tempat tidur atau pakaian yang terkontaminasi dengan cairan ini.
Masa Inkubasi
Penyakit ini memiliki masa inkubasi dua hingga 21 hari dan menimbulkan gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, dan muntah. Dapat menyebabkan perdarahan, kegagalan banyak organ, dan kematian.
Sekitar hari kelima setelah timbulnya gejala, dapat timbul ruam dengan benjolan-benjolan di badan tepatnya di perut, dada, dan punggung.
Saat ini tidak ada pengobatan khusus untuk Marburg. Meski wabahnya jarang terjadi dan relatif kecil, tetapi penyakitnya sangat fatal.
Advertisement
Fatalitas Virus Marburg Tinggi
Tjandra menambahkan, angka kematian akibat penyakit ini memang tinggi, berkisar dari 25 sampai 80 persen dan belum ada obat serta vaksinnya.
“Gejalanya juga mirip Ebola dan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat, sehingga disebut Marburg Hemorrhagic Fever, mirip dengan nama Ebola Hemorrhagic Fever.”
Gejala lain selain demam dari penyakit Marburg ini adalah diare cair hebat, nyeri perut hebat dan kelemahan. Perdarahan dapat terjadi dengan muntah darah, berak darah, perdarahan dari hidung, mulut dan bahkan vagina.
Potensi Importasi Kasus Virus Marburg di Indonesia Rendah
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengonfirmasi bahwa hingga saat ini virus Marburg belum terdeteksi di Tanah Air.
"Sampai saat ini belum dilaporkan kasus atau suspek penyakit Marburg di Indonesia namun pemerintah tetap meminta masyarakat untuk waspada," mengutip keterangan pers Kemenkes, Rabu 29 Maret 2023.
Indonesia melakukan penilaian risiko cepat (rapid risk assessment) penyakit virus Marburg pada 20 Februari 2023.
Hasilnya didapatkan bahwa kemungkinan adanya importasi kasus virus Marburg di Indonesia adalah rendah.
Meski begitu, Juru Bicara Kementerian Kesehatan dokter Mohammad Syahril mengingatkan pemerintah dan masyarakat jangan sampai lengah terhadap virus tersebut.
"Kita perlu tetap melakukan kewaspadaan dini dan antisipasi terhadap penyakit virus Marburg," ujarnya mengutip keterangan yang sama.
Advertisement