Liputan6.com, Jakarta Layanan kesehatan reproduksi terutama bagi korban kekerasan seksual dan kelompok rentan dalam RUU Kesehatan perlu diatur dengan standar hak asasi manusia.
Hal ini disampaikan koalisi Save All Women and Girls (SAWG). Menurut koalisi ini, aturan soal layanan kesehatan seksual juga perlu memiliki prinsip layanan yang komprehensif dan berpusat pada pasien.
Baca Juga
Akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi (KSR) yang komprehensif merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Ketika akses atas layanan esensial ini tidak terpenuhi, maka seluruh spektrum hak yang dimilikinya akan terdampak.
Advertisement
Salah satu layanan yang hingga hari ini tidak pernah tersedia adalah pemulihan kesehatan seksual dan reproduksi bagi korban kekerasan seksual. Meskipun telah diatur dalam berbagai aturan seperti Peraturan Pemerintah (PP) 61/2014, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 3/2016, serta aturan turunan lainnya.
Adanya peningkatan kasus kekerasan seksual di tiap tahunnya, perlu disikapi dengan penyediaan layanan yang terkoordinasi dan terintegrasi. Mengingat, sebagian besar korban kekerasan seksual tidak memiliki akses ke dukungan psikososial, hukum, dan kesehatan yang mereka butuhkan untuk menavigasi kejadian traumatis yang dialami.
“Dalam hal ini, korban berusia anak menghadapi kerentanan yang berlipat disebabkan oleh tidak mumpuninya layanan pemulihan pasca-perkosaan. Termasuk ke layanan aborsi yang aman dan legal,” kata Koordinator Jaringan SAWG, Ika Ayu, dalam temu media di Kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (2/6/2023).
Perluasan Batasan Usia Kehamilan untuk Akses Aborsi
Tak jarang, lanjut Ika, korban kekerasan seksual yang terpaksa melanjutkan kehamilannya tidak dapat mengakses keseluruhan hak kesehatan seksual reproduksinya.
Salah satu komponen penting hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) yang perlu diatur dalam RUU Kesehatan adalah perluasan batasan usia kehamilan untuk akses aborsi bagi korban kekerasan seksual hingga 14 minggu. Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Perluasan batasan usia kehamilan ini menjadi penting, karena batasan yang sebelumnya terbatas pada usia 6 minggu terbukti tidak dapat diakses dan tidak implementatif dalam aplikasinya.
Ketiadaan akses kepada layanan aborsi, kurangnya informasi, masih kuatnya stigma, kendala kondisi geografis, juga disparitas sumber daya adalah beragam faktor penyebabnya.
Advertisement
Perlu Memberi Kejelasan Hukum Soal Aborsi
SAWG juga menyerukan bahwa RUU Kesehatan harus memberikan kejelasan hukum dan perlindungan yang kuat bagi individu yang menghadapi kedaruratan medis dalam mengakses layanan aborsi aman.
Konsensus global telah menggarisbawahi bahwa akses terhadap layanan aborsi yang aman sangat penting untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa perempuan.
Untuk memastikan perlindungan kesehatan dan hak asasi individu, ketentuan hukum yang jelas dan yang meniadakan interpretasi yang keliru menjadi sangat penting agar layanan bisa sesegera mungkin diakses begitu kehamilan beresiko terdeteksi.
Urgensi yang juga perlu ditangkap oleh RUU Kesehatan adalah perlu adanya upaya perbaikan untuk mengatasi kesenjangan yang ada dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia.
“SAWG mendesak pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan layanan kesehatan primer, termasuk melanjutkan upaya transformasi sistem kesehatan yang sedang dilakukan, dan memastikan ketersediaan sumber daya kesehatan, utamanya di daerah rural dan terpencil,” ujar Ika.
Perlu Alokasi Dana yang Cukup
SAWG juga melihat pentingnya mengalokasikan dana yang cukup dalam inisiatif kesehatan masyarakat yang memajukan kesehatan perempuan.
Anggaran kesehatan reproduksi dalam cakupan kesehatan masyarakat di dalam Anggaran Pembelanjaan Negara (APBN) saat ini masih terlampau sedikit. Dan tidak proporsional dengan skala masalah yang ada.
Sehingga, harus diperbaiki agar sejalan dengan tujuan Pemerintah Indonesia untuk menekan angka kematian ibu (AKI) dan mencapai sasaran tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2030.
SAWG juga menekankan pentingnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat sipil dalam mendukung upaya pencapaian kesehatan dalam RUU Kesehatan. Pendekatan partisipatif ini memastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan dapat tepat sasaran.
Koalisi SAWG menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menegaskan pentingnya bahasan RUU Kesehatan dalam upaya memajukan kesehatan dan kesejahteraan perempuan.
“Kami mendesak semua pemangku kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, masyarakat sipil, dan publik, untuk tidak mempolitisasi dan terus mengawal proses dan muatan-muatan di dalam RUU Kesehatan.”
Advertisement