Pakar Ungkap Orang Dewasa yang Pemarah Bisa Jadi Hasil Trauma Masa Kecil

Makin traumatis masa kecil seseorang, makin besar risikonya menjadi pemarah saat dewasa.

oleh Chelsea Anastasia diperbarui 07 Jun 2023, 15:00 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2023, 15:00 WIB
Ekspresi Marah
Ilustrasi Ekspresi Marah Credit: pexels.com/Anova

Liputan6.com, Jakarta - Orang yang memiliki trauma masa kecil ternyata lebih mungkin menjadi pemarah saat dewasa. Hal ini diungkapkan oleh penelitian yang diunggah di jurnal European Psychiatry pada Maret 2023 lalu.

Pemimpin penelitian dari Leiden University, Nienke de Bles, mengungkap bahwa makin traumatis masa kecil seseorang, orang tersebut makin mudah marah orang saat dewasa.

“Penemuan kami yang paling penting menunjukkan bahwa trauma masa kanak-kanak secara umum dikaitkan dengan semua aspek kemarahan, baik perasaan maupun ekspresi. Ini berarti semakin traumatis masa kanak-kanak, semakin marah ia saat dewasa,” tutur Bles kepada Everyday Health.

Lebih lanjut, penelitian itu mengungkap beberapa riwayat trauma masa kecil yang berkaitan dengan amarah saat dewasa.

Di antaranya adalah kehilangan orangtua, perceraian orangtua, dan tinggal di panti asuhan. 

Bles mengungkap, jenis trauma masa kanak-kanak ini dikaitkan dengan tingkat kemarahan yang lebih tinggi.

“Selain itu, kami juga menemukan terdapat risiko yang lebih tinggi bagi mereka untuk memiliki sifat kepribadian antisosial di masa dewasa,” katanya.

Amarah yang Ditekan Saat Kecil, Kembali Muncul Saat Dewasa

Menurut seorang psikolog klinis di Duke Health, North Carolina Amerika Serikat (AS), Stephanie Hargrove, penelitian ini masuk akal dengan temuan-temuan sebelumnya.

Ia mengungkap, ketika seseorang mengalami trauma saat masa anak-anak, sering kali mereka merasa kekuatannya diambil.

Pada situasi itu, anak merasa tidak diperbolehkan untuk menyuarakan perasaan atau kebutuhan mereka.

“Orang-orang ini kemungkinan bertumbuh besar berada dalam situasi yang menyakitkan atau sangat buruk untuk mereka. Karena tak diekspresikan saat kecil, mereka pantas untuk marah pada situasi semacam itu ketika dewasa,” kata Hargrove.

 

Marah dengan Sehat, Bisakah?

Ilustrasi marah
Ilustrasi marah. Sumber foto: unsplash.com/Raychan.

Menurut Hargrove, kemarahan tak seharusnya selalu dianggap buruk.

“Ketika kemarahan ditekan atau disingkirkan, saat itulah kita melihat kemarahan dapat berubah menjadi serangan terhadap orang lain. Jadi, penting bagi orang untuk dapat memproses kemarahan dengan cara yang sehat,” ungkap wanita lulusan George Mason University, AS itu.

"Kemarahan tidak berbeda dengan emosi lain seperti kesedihan, ketakutan, dan kebahagiaan karena tidak 'buruk' atau 'baik'. Semua emosi berguna dan melayani fungsi yang berbeda," lanjut Hargrove.

Menurut Hargrove, kemarahan sering kali merupakan emosi sekunder, bukan emosi primer. Artinya, bisa jadi ada emosi yang lebih utama dirasakan seseorang, seperti kesedihan. 

“Misalnya, seseorang yang kehilangan pekerjaan mungkin sangat sedih karena kehilangan itu, tetapi itu mungkin muncul sebagai kemarahan terhadap mantan rekan kerja mereka yang masih bekerja,” ujarnya.

 

Amarah yang Terpendam Bisa Berbahaya

Pengaruh Lingkungan dan Trauma Masa Kecil
Ilustrasi Trauma Masa Kecil Credit: pexels.com/Jonas

Hargrove juga menegaskan, amarah yang dipendam bisa memiliki efek yang berbahaya.

“Memendam amarah bukan strategi yang dapat membantu dalam jangka panjang. Meskipun itu dapat membantu orang menghindari konflik dalam jangka pendek, emosi yang tidak diungkapkan dapat menumpuk,” terangnya.

Dalam banyak kasus, seseorang yang memendam arah dapat "meledak" pada waktu yang tak terduga.

“Dia bisa marah dengan tingkat kemarahan yang tidak sesuai dengan situasi sebenarnya. Dan bukan itu yang kami inginkan,” tambah Hargrove.

Tak hanya itu, Hargrove mengungkap, kemarahan yang terpendam dapat “mengikis” seseorang di dalam dirinya sendiri. 

“Orang-orang ini dapat membenci diri sendiri, sangat kritis terhadap diri sendiri, ataupun mengalami depresi dan gangguan lain karena kemarahan yang diarahkan ke diri sendiri,” tuturnya.

 

Merefleksikan Amarah Dapat Berdampak Positif

Jurnal
Ilustrasi Menulis Jurnal (Unsplash.com)

Saat kemarahan mulai muncul, Hargrove menyarankan untuk refleksi dan memeriksa diri sendiri daripada langsung memendam.

Salah satu cara untuk mempraktikkannya adalah melalui menulis jurnal, mengutip Hargrove.

“Tuliskan apa yang Anda rasakan dan alasannya. Biarkan diri Anda sejenak untuk memproses. Ingat, terkadang kemarahan masuk akal. Itu dapat membantu membuat perubahan dan mengatasi masalah yang perlu ditangani,” terangnya.

Misalnya, jika suatu masalah di tempat kerja telah memicu kemarahan, tuliskan ide dan buatlah rencana untuk bertemu dengan atasan yang dapat membantu.

"Gunakan amarah untuk berkomunikasi dengan diri Anda atau orang lain,” pungkas Hargrove.

 

INFOGRAFIS JOURNAL_ Beberapa Gejala Permasalahan Kesehatan Mental pada Anak
INFOGRAFIS JOURNAL_ Beberapa Gejala Permasalahan Kesehatan Mental pada Anak (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya