Bila RUU Kesehatan Disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil: Kelompok Masyarakat Ini yang Paling Dirugikan

Terdapat beberapa kelompok masyarakat yang dinilai paling dirugikan bila RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 19 Jun 2023, 17:00 WIB
Diterbitkan 19 Jun 2023, 17:00 WIB
FOTO: Pemerintah Targetkan Pengentasan Kemiskinan di 2022
Terdapat beberapa kelompok masyarakat yang dinilai paling dirugikan bila RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Apabila RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan menilai terdapat beberapa kelompok masyarakat yang dinilai paling dirugikan.

Alasan ini salah satunya berkaitan dengan dampak akibat besaran anggaran kesehatan 10 persen yang dihapus di RUU Kesehatan.

RUU Kesehatan meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan yang potensial berdampak pada semakin minimnya dukungan anggaran untuk pelayanan kesehatan.

Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik.

Maka pihak yang paling dirugikan adalah kelompok miskin, penyandang disabilitas, kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak, dan kelompok masyarakat di daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar), demikian rilis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan beberapa hari lalu.

Dihapuskannya alokasi anggaran minimal akan berdampak pada kondisi pemenuhan hak atas layanan kesehatan bergantung pada “kebaikan hati” penguasa pusat dan daerah.

Padahal, pemenuhan hak atas kesehatan adalah kewajiban negara dan pemenuhan kewajiban itu dibuktikan dengan adanya alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan.

Tidak adanya alokasi ketetapan besaran anggaran kesehatan minimal, ditegaskan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan, dapat berdampak pada penganggaran dana kesehatan yang semakin minim dan berkonsekuensi pada semakin buruknya pelayanan kesehatan.

Terlalu Banyak Belanja Negara Bersifat Mandatory

Secara rinci dalam draft RUU Kesehatan versi pemerintah, yakni pasal 420 (2) dan (3) menghapus alokasi anggaran minimal 10 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD yang ada dalam draft RUU versi DPR, dengan disertai beberapa alasan.

Salah satu alasannya, bahwa terlalu banyak belanja negara yang bersifat mandatory mengakibatkan kapasitas APBN/APBD menjadi sempit dan tidak fleksibel/inefisiensi.

Adapun yang dimaksud mandatory ini adalah mandatory spending. Yaitu belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang.

Hasil Reformasi yang Sudah Lama Diperjuangkan

Sebenarnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan memandang alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan adalah hasil reformasi yang sudah lama diperjuangkan masyarakat dan kini hendak dihapuskan begitu saja oleh RUU Kesehatan.

Penghapusan ketentuan alokasi anggaran minimal tersebut bertentangan dengan tujuan dibuatnya RUU Kesehatan, yaitu memperluas dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan hingga ke desa-desa, termasuk ke daerah 3T (terpencil, tertinggal, terluar), yang tentu saja membutuhkan peningkatan pembiayaan kesehatan yang menuntut adanya alokasi anggaranyang memadai, tulis Koalisi Masyarakat Sipil.

Dorong Peningkatan Alokasi Anggaran Kesehatan

[Fimela] ilustrasi menulis
ilustrasi Fraksi PKS di DPR RI mendorong peningkatan alokasi anggaran kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 10 persen. | pexels.com/@tirachard-kumtanom-112571

Terpisah, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani mengatakan Fraksi PKS di DPR RI  mendorong peningkatan alokasi anggaran kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 10 persen.

"Dalam rangka mewujudkan visi Presiden untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, berkualitas, dan berdaya saing, sangat penting untuk mengalokasikan anggaran yang memadai di sektor kesehatan,” kata Netty, Jumat, 9 Juni 2023 di Jakarta.

Alokasi Anggaran Kesehatan Minim

Walau masalah kesehatan banyak, Netty menilai, saat ini alokasi anggaran kesehatan masih minim.

“Dan itu tidak sebanding dengan urgensi dan kompleksitas masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat,” terang Netty.

Di sisi lain, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membeberkan 10 indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sulit tercapai di 2024.

Kesepuluh indikator ini adalah permasalahan kesehatan, di antaranya, eliminasi malaria, eliminasi kusta, dan problem merokok anak.

Dorong Anggaran Kesehatan 10 Persen

Netty Prasetiyani pun mendorong anggaran kesehatan 10 persen APBN. Dalam hal ini maksudnya penetapan anggaran kesehatan sebesar 10 persen.

"Kesehatan adalah komponen fundamental dalam upaya membangun SDM yang unggul,” beber Netty melalui pernyataan resmi yang diterima Health Liputan6.com.

“Oleh karena itu, kami mendorong pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran kesehatan sebesar 10 persen dalam APBN guna mengatasi masalah kesehatan yang semakin meningkat.”

Infografis Apa Itu ASO? Apa Untungnya bagi Masyarakat?
Infografis Apa Itu ASO? Apa Untungnya bagi Masyarakat? (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya