Perumusan RUU Kesehatan Disebut Senyap, Koalisi Ini Minta Pengesahan Ditunda

Perumusan RUU Kesehatan disebut-sebut tempuh proses senyap sehingga pengesahannya didesak untuk ditunda.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 16 Jun 2023, 12:00 WIB
Diterbitkan 16 Jun 2023, 12:00 WIB
Palu Jaksa untuk Menjatuhi Hukuman
Ilustrasi perumusan RUU Kesehatan disebut-sebut tempuh proses senyap sehingga pengesahannya didesak untuk ditunda. (Freepik).

Liputan6.com, Jakarta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan mendesak DPR dan Pemerintah untuk menunda Pengesahan Kesehatan RUU Kesehatan. Sejak digulirkan ke publik, RUU ini menuai pro-kontra cukup besar karena belum berpihak pada kepentingan rakyat.

Salah satu alasan penundaan pengesahan yang disuarakan, yakni perumusan RUU Kesehatan Omnibus Law disebut-sebut menempuh proses senyap dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

 

"Perumusan RUU Kesehatan juga tidak melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi, anak muda, kelompok perempuan dan ibu, pakar, akademisi, ilmuwan, dan kelompok disabilitas secara bermakna untuk memastikan kepentingan kesehatan segenap kelompok warga terlindungi dalam RUU Kesehatan," tulis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan dalam rilisnya baru-baru ini.

Pembahasan RUU Kesehatan Tertutup

Selain itu, pembahasan RUU Kesehatan dinilai tertutup. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan bahwa dari 478 pasal dalam RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3.020 sebanyak 1.037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi.

"Akan tetapi, DIM yang dibahas sejak Agustus 2022, baru diketahui publik sekitar Maret 2023. Hingga saat ini, publik juga belum disuguhkan draft terbaru RUU Kesehatan," lanjut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan.

Adapun naskah yang dipublikasi oleh Kemenkes melalui kanal partisipasisehat.kemkes.go.id merupakan naskah per Februari 2023 dan disebut oleh pihak Kemenkes sudah mengalami sejumlah perubahan.

Bukan Sekadar Sosialisasi Draft yang Sudah Disusun

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan, seharusnya perumus UU melibatkan publik sejak awal pembahasan, bukan sekadar sosialisasi draft yang sudah disusun.

Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUUXVIII/2020, partisipasi publik bermakna tak sebatas pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), melainkan pula menguji sejauh mana Pemerintah mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).

"Bahkan bila tidak diakomodasi, masyarakat berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Hal demikian, tidak dilakukan oleh pihak pemerintah maupun DPR dalam merumuskan RUU Kesehatan," terang Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan.

Penting Jamin Hasil UU yang Berkeadilan

Partisipasi publik yang bermakna sangat penting untuk menjamin hasil undang-undang yang memenuhi rasa keadilan (social justice) dan perlindungan kesehatan publik. Selain itu, proses yang tidak partisipatif melenceng dari amanah UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Terkait hal ini maka koalisi ini meminta pengesahan RUU Kesehatan harus ditunda sehingga Pemerintah dan DPR berkomitmen melakukan proses perancangan dan pembahasan yang memenuhi prinsip keterbukaan, kejujuran, dan kemanusiaan serta keadilan.

Kontradiksi RUU Kesehatan

Menerjemahkan Dokumen Penting ke Bahasa Inggris Melalui Jasa Penerjemah
Ilustrasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan membeberkan beberapa kontradiksi RUU Kesehatan. Credit: pexels.com/pixabay

Substansi RUU Kesehatan sendiri memuat berbagai kontradiksi yang bila diabaikan jelas akan membuat RUU ini gagal mencapai tujuannya. Artinya, penyusunan dan pembahasan RUU secara tergesa-gesa dan serampangan hanya akan membuang-buang sumberdaya negara yang sudah semakin terbatas.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan membeberkan beberapa kontradiksi itu di antaranya, perluasan dan peningkatan kualitas layanan kesehatan sampai ke tingkat desa vs penghapusan alokasi anggaran minimal dari APBN/APBD untuk sektor kesehatan, dan dominasi organisasi profesi vs dominasi Menteri Kesehatan (Menkes).

Kemudian kontradiksi soal percepatan produksi dokter lokal vs kemudahan masuknya dokter asing, peningkatan peran negara vs perluasan peran swasta, serta pertimbangan nilai-nilai ekonomi vs pertimbangan nilai-nilai hak asasi manusia.

Pengelolaan Dana Kesehatan Tidak Transparan

Selain itu, Kemenkes dalam RUU Kesehatan dimandatkan melakukan pengendalian potensi penyalahgunaan pelayanan dan kendali mutu biaya pelayanan kesehatan terhadap peserta, fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan.

"Namun, berkaca dari kondisi saat ini, kami melihat pengelolaan dana kesehatan tidak menggunakan prinsip transparansi, inklusifitas, dan tak jarang mutu pelayanan tidak maksimal," jelas Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan.

Salah satu masalah dalam pelayanan JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan selama ini, yaitu out of pocket -- biaya yang harus dikeluarkan sendiri -- peserta BPJS. Selama ini, Pemerintah sudah diberikan kewenangan untuk menetapkan besaran tarif yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan melalui skema INA CBGs.

"Tetapi dalam skema tersebut terdapat beberapa komponen yang tidak ditanggung oleh Pemerintah dan menyebabkan tingginya out of pocket masyarakat. Pengendalian ini juga terkesan mengeksklusi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pengawasan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," pungkas Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan. 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya