Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah khawatir bahwa penandatangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dapat mengancam lapangan kerja perawat Indonesia.
“Undang-undang ini kalau dilihat dari substansinya juga mengandung bagaimana memudahkan kemungkinan bagi tenaga-tenaga kesehatan asing yang mengikuti investasi di bidang kesehatan untuk masuk ke Indonesia,” kata Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah dalam demo tolak RUU Kesehatan di depan gerbang Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Selasa (11/7/2023).
Baca Juga
“Sementara di kita, lulusan perawat lebih dari 75 ribu per tahun, mau ke mana ini? Jangankan membuka peluang kerja justru ini mengancam bagi keberadaan ruang-ruang kerja perawat yang ada di dalam negeri.”
Advertisement
Alih-alih dikirim ke luar negeri, lanjut Harif, nyatanya tidak ada upaya-upaya pemerintah untuk memberdayakan, memberikan insentif, dan membantu perawat Indonesia yang ada di luar negeri dalam RUU ini.
“Artinya undang-undang ini juga sama saja, tidak ada yang lebih baik. Oleh karena itu kami tolak.”
IDI, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia kembali turun ke jalan untuk melakukan aksi unjuk rasa pada hari ini, Selasa (11/7) tekait rencana RUU Kesehatan disahkan oleh DPR RI.
Berbeda dengan demo-demo sebelumnya yang disebut 'Aksi Damai', unjuk rasa yang dilakukan di depan Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, kali ini bertajuk 'Aksi Selamatkan Kesehatan Rakyat Indonesia'.
Ada tiga alasan PPNI menolak RUU Kesehatan disahkan hari ini, yaitu:
1. RUU Kesehatan seperti Dibuat Secara Sembunyi-Sembunyi
Menurut Harif, rancangan undang-undang ini seperti dibuat secara sembunyi-sembunyi. Sebab, kata Harif, hingga hari ini pihaknya tidak mendapatkan draf resmi dari RUU Kesehatan Omnibus Law itu.
"Sampai hari ini kami tidak mendapatkan akses terhadap draf yang dibahas. Kenapa sampai demikian kami meminta akses? Karena kami tenaga kesehatan, khususnya perawat yang (jumlahnya) 60 persen dari seluruh jumlah nakes adalah stakeholder yang penting yang akan menjalankan UU itu bila sudah jadi," kata Harif di depan gerbang Gedung DPR RI pada Selasa 11 Juli 2023.
Harif merasa bahwa dia dan jajarannya adalah pihak yang penting dalam RUU ini sehingga harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi di dalam pembuatannya.
"Kami ingin ada partisipasi dan dalam berbagai kesempatan kami melakukan lobi, advokasi, audiensi, dan sebagainya terhadap aspirasi kita ini tapi belum ada yang diterima aspirasi kami itu," kata Harif.
Advertisement
2. RUU Kesehatan dan Isu Mandatory Spending
Hal kedua yang dipermasalahkan oleh PPNI dan OP lain adalah isu menghilangkan mandatory spending atau anggaran belanja yang sebelumnya sudah diatur UU.
"Mandatory spending ini semula lima persen dari APBN dan 10 persen APBD. Apa yang terjadi kalau dihilangkan? Hari ini tenaga perawat itu lebih dari 80 ribu orang bertatus honor dan sukarelawan. Yang di daerah bahkan negara tidak mampu memberikan kompensasi untuk kerja mereka di daerah terpencil," katanya.
"Apa jadinya kalau mandatory spending dihilangkan? Saya kira akan semakin parah dan tidak mendapat kejelasan bagaimana mereka dibayar, sementara mereka sudah mengabdi puluhan tahun, belasan tahun kepada faskes milik pemerintah," Harif menambahkan.
Menghilangkan mandatory spending, lanjut Harif, dapat membuat para tenaga honor diberhentikan. Sementara di daerah-daerah jumlah PNS-nya lebih sedikit. Hal ini dapat berpengaruh pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat, ujar Harif.
3. RUU Kesehatan dan Pengaruh Khusus bagi Perawat
Berikutnya, mengesahkan RUU Kesehatan ini sama dengan mencabut UU 38 Tahun 2014 yang isinya soal sistem keperawatan yang menyangkut pengembangan kapasitas perawat Indonesia yang sudah dikembangkan sejak lama.
"Ini berisi tentang bagaimana perawat berkembang, bagaimana kompetensinya, bagaimana dia praktik, dan bagaimana menjaga mutu dirinya. Ini dihilangkan, dicabut tanpa ada pasal pengganti yang spesifik bagi perawat," katanya.
Pengesahan RUU Kesehatan, kata Harif, akan berdampak pada pengaturan delegasi blanko.
"Maka dampaknya adalah pada pengaturan delegasi blanko nanti kita tidak tahu aturan seperti apa yang akan dibuat oleh pemerintah nanti. Yang sudah ada dihilangkan, tapi kita tidak tahu yang baru seperti apa," Harif menekankan.
Ini dinilai sebagai bentuk penurunan kepastian hukum, pengembangan, keamanan, dan pengamanan profesi perawat.
Advertisement