Liputan6.com, Jakarta - Konsumsi antibiotik sembarangan tanpa resep dokter bisa berujung pada resistensi antimikroba.
Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar, resistensi antimikroba sering dianggap sebagai salah satu bentuk silent pandemic. Pasalnya, kondisi ini berkembang secara perlahan tetapi memiliki dampak luas dan serius.
“Kejadian resistensi antimikroba merupakan salah satu ancaman terbesar dalam dunia kesehatan dan pembangunan global ke depan,” kata Taruna dalam webinar Ikatan Ahli Manajemen dan Administrasi Rumah Sakit Indonesia (IAMARSI), Sabtu (15/2/2025).
Advertisement
Taruna Ikrar menambahkan, resistensi antimikroba menjadi penyebab langsung atas 1,27 juta kematian dan berkontribusi pada 4,95 juta kematian secara global.
”Pengawasan BPOM menemukan apotek yang menyerahkan antimikroba secara tidak tepat, khususnya antibiotik tanpa resep dokter. Temuannya sangat tinggi, meskipun terjadi penurunan dalam 3 tahun terakhir. Tren pada kurun 2021 hingga 2023 secara berturut-turut, yaitu 79,57 persen, 75,49 persen, dan 70,49 persen,” urainya mengutip keterangan resmi di laman BPOM, Jumat (21/2/2025).
Karena itu, dalam rangka membangun semangat pengendalian antimikroba, BPOM bersama stakeholder terkait di seluruh Indonesia mengucapkan ikrar komitmen untuk bersinergi mengendalikan resistensi antimikroba pada 29 November 2024. Kepala BPOM menegaskan resistansi antimikroba tidak dapat diatasi tanpa kolaborasi semua pihak sesuai dengan perannya masing-masing, termasuk tenaga medis/dokter yang berpraktik di rumah sakit/praktik mandiri.
Pemberian Resep Antibiotik oleh Dokter Harus Rasional
Taruna berharap, asosiasi tenaga kesehatan memberikan pembinaan berkelanjutan kepada tenaga medis atau dokter yang berpraktik di rumah sakit/praktik mandiri agar konsisten dalam pola peresepan antibiotik yang rasional.
“Peran tenaga medis sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat sangat penting untuk pengendalian resistensi antimikroba serta edukasi masyarakat secara aktif guna meningkatkan awareness tentang bahayanya,” tutur Taruna.
Ketua Panitia Webinar IAMARSI Piping Agiani menyampaikan, diskusi ini dilakukan guna mempersiapkan rumah sakit dalam mencapai akreditasi dan memenuhi regulasi terkait dengan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di rumah sakit.
“Webinar hari ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan mengenai pentingnya PPRA dalam mencegah resistensi antimikroba sekaligus meningkatkan kesadaran dan komitmen rumah sakit dalam menerapkan kebijakan PPRA secara efektif,” ujar Piping.
Advertisement
Tata Kelola Obat di RS Bukan Cuma Tanggung Jawab Apoteker
Dalam keterangan yang sama, Ketua IAMARSI Daerah Istimewa Yogyakarta Wiwik Lestari mengatakan, tenaga kesehatan pasti tidak lepas dari antibiotik.
“Saat ini, pemerintah sedang berupaya menangani resistensi antimikroba. Tenaga kesehatan berperan dalam upaya penanganan ini,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam sambutannya, Ketua Umum Pengurus Pusat IAMARSI Hariyadi Wibowo menyinggung soal tata kelola obat-obat yang beredar di rumah sakit.
“Tata kelola obat, sekarang di rumah sakit tidak hanya menjadi tanggung jawab apoteker, tetapi juga level manager sampai dewan direksi,” ujarnya.
Mengenal Resistensi Mikroba
Dalam kesempatan lain, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono telah menerangkan bahwa resistensi antimikroba adalah kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit menjadi kebal atau resisten terhadap pengobatan antimikroba.
“Sekarang ternyata 70 persen antibiotik itu bisa didapatkan tanpa resep. Jadi orang beli di apotek terus dikasih sama apotekernya, disimpan di rumah tanpa penggunaan yang tepat. Kalau panas (demam) langsung minum antibiotik padahal panasnya itu bukan melulu disebabkan oleh mikroba, oleh bakteri,” kata Dante usai pembukaan diskusi Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba Sektor Kesehatan di Jakarta, Senin (19/8/2024).
Pada umumnya, sambung Dante, gejala demam yang disebabkan oleh virus dan pengobatan penyakit akibat virus tidak perlu menggunakan antibiotik. Jika kebiasaan ini dibiarkan, maka diperkirakan kematian akibat AMR di seluruh dunia bisa meningkat jadi 10 juta pada 2050.
“Kalau kita diamkan, maka nanti 2050 angka kematiannya di seluruh dunia jadi 10 juta orang. Makanya kita harus bergerak supaya penggunaan antibiotik ini lebih rasional,” kata Dante.
Pergerakan atau upaya untuk mendorong penggunaan antibiotik secara rasional, dapat menekan 30 persen beban pembiayaan kesehatan.
“Bayangkan 30 persen bisa dihemat. Kita sudah punya dua project rumah sakit yang melakukan penggunaan antibiotik secara rasional dan kita evaluasi, ternyata benar angka budget-nya turun 30 persen,” ucap Dante.
Advertisement
