Autopsi menentukan keberhasilan pengungkapan kasus pidana yang ditangani kepolisian, terutama pembunuhan, kata Wakil Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Semarang Komisaris Polisi dr Ratna Relawati.
"Sepanjang 2012 lalu setidaknya ada 100 kasus yang ditangani Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang ditindaklanjuti dengan autopsi. Sebanyak 80 kasus di antaranya berhasil dipecahkan setelah proses autopsi," katanya di Semarang, seperti dikutip dari Antara, Senin (8/7/2013).
Hal itu diungkapkan ahli forensik Polda Jateng itu usai seminar bertema "Visum dan Autopsi; Apa dan Mengapa?" yang diprakarsai Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
Menurut Ratna, banyaknya kasus pembunuhan yang berhasil dipecahkan dengan langkah autopsi itu membuktikan pentingnya pemeriksaan jenazah meliputi bagian dalam dan luar yang hanya boleh dilakukan tenaga kesehatan yang berwenang itu dalam membantu pengungkapan kasus.
Hasil autopsi, kata dia, bisa menjadi salah satu alat bukti yang membantu penyidikan, misalnya bisa mengetahui penyebab kematian dari luka tusukan, pukulan benda tumpul, atau dari penyebab yang lainnya.
"Bisa saja terjadi begini, misalnya ada korban tewas dengan banyak luka tusuk. Setelah diautopsi ternyata luka-luka tusukan itu ternyata tidak mengenai bagian mematikan yang menyebabkan kematian, tetapi kematiannya berasal dari sebab lain, seperti penyakit," katanya.
Namun, kata dia, bisa juga hasil autopsi itu tidak menemukan penyebab kematian, seperti terkendala kondisi jenazah yang sudah membusuk sehingga saat dilakukan pemeriksaan kesulitan menemukan tanda-tanda kematian.
Selain itu, Ratna mengatakan proses autopsi baru bisa dilakukan setelah ada izin dari keluarga korban, sebab ada pula keluarga korban yang tidak mengizinkan jenazah korban yang merupakan anggota keluarganya diautopsi.
Ahli forensik RSUP dr Kariadi Semarang dr Sofwan Dahlan mengatakan banyak kasus pembunuhan yang semula tak terungkap akhirnya berhasil diungkap dengan bantuan keilmuan kedokteran forensik, yakni melalui proses autopsi.
"Ini membantu mengetahui suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan. Contohnya visum atas korban penganiayaan, bisa membantu kepolisian dalam penyelidikan maupun penyidikan atas suatu kasus pidana yang tengah ditangani," katanya.
Kalau korban sudah meninggal, atau sudah dikubur sekalipun, kata dia, bisa pula ditangani forensik melalui autopsi untuk melihat sebab-sebab kematiannya, misalnya diracun atau karena sebab yang lainnya.
"Orang meninggal akibat diracun misalnya, bisa diketahui racun apa yang menyebabkan kematiannya. Bisa diperiksa dari tulangnya kalau ternyata jenazah sudah tinggal tulang belulang, sebab kandungan racunnya bisa saja terserap tulang," kata Sofwan.
Ketua panitia seminar dr Andriana T. mengatakan latar belakang kegiatan itu didasari banyaknya kasus-kasus pidana yang memerlukan peran kedokteran forensik, seperti kasus mutilasi dan pembunuhan yang sekarang banyak terjadi.
"Karena itu, kami perlu mengadakan seminar yang khusus mengupas visum dan autopsi. Kegiatan ini diikuti kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran dan polisi," kata Ketua Bidang Promosi Fakultas Kedokteran Unissula Semarang itu.
"Sepanjang 2012 lalu setidaknya ada 100 kasus yang ditangani Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang ditindaklanjuti dengan autopsi. Sebanyak 80 kasus di antaranya berhasil dipecahkan setelah proses autopsi," katanya di Semarang, seperti dikutip dari Antara, Senin (8/7/2013).
Hal itu diungkapkan ahli forensik Polda Jateng itu usai seminar bertema "Visum dan Autopsi; Apa dan Mengapa?" yang diprakarsai Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
Menurut Ratna, banyaknya kasus pembunuhan yang berhasil dipecahkan dengan langkah autopsi itu membuktikan pentingnya pemeriksaan jenazah meliputi bagian dalam dan luar yang hanya boleh dilakukan tenaga kesehatan yang berwenang itu dalam membantu pengungkapan kasus.
Hasil autopsi, kata dia, bisa menjadi salah satu alat bukti yang membantu penyidikan, misalnya bisa mengetahui penyebab kematian dari luka tusukan, pukulan benda tumpul, atau dari penyebab yang lainnya.
"Bisa saja terjadi begini, misalnya ada korban tewas dengan banyak luka tusuk. Setelah diautopsi ternyata luka-luka tusukan itu ternyata tidak mengenai bagian mematikan yang menyebabkan kematian, tetapi kematiannya berasal dari sebab lain, seperti penyakit," katanya.
Namun, kata dia, bisa juga hasil autopsi itu tidak menemukan penyebab kematian, seperti terkendala kondisi jenazah yang sudah membusuk sehingga saat dilakukan pemeriksaan kesulitan menemukan tanda-tanda kematian.
Selain itu, Ratna mengatakan proses autopsi baru bisa dilakukan setelah ada izin dari keluarga korban, sebab ada pula keluarga korban yang tidak mengizinkan jenazah korban yang merupakan anggota keluarganya diautopsi.
Ahli forensik RSUP dr Kariadi Semarang dr Sofwan Dahlan mengatakan banyak kasus pembunuhan yang semula tak terungkap akhirnya berhasil diungkap dengan bantuan keilmuan kedokteran forensik, yakni melalui proses autopsi.
"Ini membantu mengetahui suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan. Contohnya visum atas korban penganiayaan, bisa membantu kepolisian dalam penyelidikan maupun penyidikan atas suatu kasus pidana yang tengah ditangani," katanya.
Kalau korban sudah meninggal, atau sudah dikubur sekalipun, kata dia, bisa pula ditangani forensik melalui autopsi untuk melihat sebab-sebab kematiannya, misalnya diracun atau karena sebab yang lainnya.
"Orang meninggal akibat diracun misalnya, bisa diketahui racun apa yang menyebabkan kematiannya. Bisa diperiksa dari tulangnya kalau ternyata jenazah sudah tinggal tulang belulang, sebab kandungan racunnya bisa saja terserap tulang," kata Sofwan.
Ketua panitia seminar dr Andriana T. mengatakan latar belakang kegiatan itu didasari banyaknya kasus-kasus pidana yang memerlukan peran kedokteran forensik, seperti kasus mutilasi dan pembunuhan yang sekarang banyak terjadi.
"Karena itu, kami perlu mengadakan seminar yang khusus mengupas visum dan autopsi. Kegiatan ini diikuti kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran dan polisi," kata Ketua Bidang Promosi Fakultas Kedokteran Unissula Semarang itu.