Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan bahwa negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik menghadapi beban ganda nutrisi akibat paradigma ketahanan pangan yang hanya menyoroti kuantitas.
"Banyak negara berkembang di kawasan (Asia-Pasifik) menghadapi beban ganda baik kekurangan nutrisi maupun kelebihan nutrisi," kata Asisten Kepala Ekonom ADB, Cyn-Young Park dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (9/9/2013).
Menurut dia, beban ganda tersebut diakibatkan oleh kebijakan dalam mencapai ketahanan pangan yang hanya bergantung kepada aspek kuantitas atau jumlah semata-mata.
Untuk itu, ia mengemukakan bahwa hal yang dibutuhkan adalah dengan mengubah paradigma tersebut antara lain dengan memperbaiki standar nutrisi dibanding mendorong penambahan jumlah kalori.
Dengan demikian, lanjutnya, negara-negara tersebut juga akan mencapai tidak hanya mencukupi ketahanan pangan secara jumlah tetapi juga baik dari sisi kesehatan.
Studi ADB tentang Ketahanan Pangan di Asia dan Pasifik menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut telah disertai dengan dampak perubahan pola makan yang tajam dan akses yang tidak seimbang terhadap pangan.
Karena itu, menurut studi tersebut, masyarakat yang mampu akan memperbanyak pangan yang kaya protein dan kerap didapat dari makanan-makanan olahan, termasuk dari daging dan susu (dairy products).
Dampaknya antara lain terjadinya peningkatan obesitas di sejumlah pusat perkotaan dan negara-negara kepulauan di Pasifik yang merupakan salah satu tingkat tertinggi di dunia.
Hal tersebut karena perubahan pola makan sehingga semakin banyak menyantap makanan dengan kadar gula yang tinggi juga kerap menjadi penyebab meningkatnya diabetes dan sejumlah penyakit terkait lainnya. Sementara meningkatnya permintaan akan daging juga dinilai berkontribusi pada perubahan pola penggunaan lahan untuk pertanian.
Sedangkan di sisi lain, masyarakat yang kurang mampu di kawasan Asia Pasifik kerap mengalami defisiensi nutrisi seperti kekurangan vitamin A di sejumlah negara seperti Kamboja, India, Myanmar, Nepal, dan Pakistan.
Untuk itu, dalam mengatasi isu ketahanan pangan juga harus memperhatikan sejumlah aspek seperti jumlah populasi yang terus menanjak naik, kebutuhan akan lahan, air, dan energi, serta ancaman perubahan iklim.
Solusi yang disajikan juga harus berkelanjutan yang mencakup baik domestik maupun pertimbangan lainnya yang lebih luas seperti teknologi yang lebih baik untuk menghasilkan panen yang lebih produktif serta masyarakat kurang mampu di pedesaan harus mendapatkan dukungan agar lebih produktif.
Pembuat kebijakan juga mesti mencari cara agar kaum papa tidak terdampak akan kenaikan harga pangan dan memastikan bahwa mereka juga menikmati hasil pertumbuhan ekonomi.
(Abd)
"Banyak negara berkembang di kawasan (Asia-Pasifik) menghadapi beban ganda baik kekurangan nutrisi maupun kelebihan nutrisi," kata Asisten Kepala Ekonom ADB, Cyn-Young Park dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (9/9/2013).
Menurut dia, beban ganda tersebut diakibatkan oleh kebijakan dalam mencapai ketahanan pangan yang hanya bergantung kepada aspek kuantitas atau jumlah semata-mata.
Untuk itu, ia mengemukakan bahwa hal yang dibutuhkan adalah dengan mengubah paradigma tersebut antara lain dengan memperbaiki standar nutrisi dibanding mendorong penambahan jumlah kalori.
Dengan demikian, lanjutnya, negara-negara tersebut juga akan mencapai tidak hanya mencukupi ketahanan pangan secara jumlah tetapi juga baik dari sisi kesehatan.
Studi ADB tentang Ketahanan Pangan di Asia dan Pasifik menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut telah disertai dengan dampak perubahan pola makan yang tajam dan akses yang tidak seimbang terhadap pangan.
Karena itu, menurut studi tersebut, masyarakat yang mampu akan memperbanyak pangan yang kaya protein dan kerap didapat dari makanan-makanan olahan, termasuk dari daging dan susu (dairy products).
Dampaknya antara lain terjadinya peningkatan obesitas di sejumlah pusat perkotaan dan negara-negara kepulauan di Pasifik yang merupakan salah satu tingkat tertinggi di dunia.
Hal tersebut karena perubahan pola makan sehingga semakin banyak menyantap makanan dengan kadar gula yang tinggi juga kerap menjadi penyebab meningkatnya diabetes dan sejumlah penyakit terkait lainnya. Sementara meningkatnya permintaan akan daging juga dinilai berkontribusi pada perubahan pola penggunaan lahan untuk pertanian.
Sedangkan di sisi lain, masyarakat yang kurang mampu di kawasan Asia Pasifik kerap mengalami defisiensi nutrisi seperti kekurangan vitamin A di sejumlah negara seperti Kamboja, India, Myanmar, Nepal, dan Pakistan.
Untuk itu, dalam mengatasi isu ketahanan pangan juga harus memperhatikan sejumlah aspek seperti jumlah populasi yang terus menanjak naik, kebutuhan akan lahan, air, dan energi, serta ancaman perubahan iklim.
Solusi yang disajikan juga harus berkelanjutan yang mencakup baik domestik maupun pertimbangan lainnya yang lebih luas seperti teknologi yang lebih baik untuk menghasilkan panen yang lebih produktif serta masyarakat kurang mampu di pedesaan harus mendapatkan dukungan agar lebih produktif.
Pembuat kebijakan juga mesti mencari cara agar kaum papa tidak terdampak akan kenaikan harga pangan dan memastikan bahwa mereka juga menikmati hasil pertumbuhan ekonomi.
(Abd)