Sedikit saja cobaan di dalam hidup ini kerap membuat orang cepat mengeluh. Namun, lihatlah Een Sukaesih yang mendapat cobaan bertubi-tubi tapi tak terlihat ada kelelahan di wajahnya.
Penerima Liputan6 Award itu memang sudah 32 tahun menderita penyakit Rheumatoid arthritis (RA). Dan penyakitnya itu membuat lumpuh selama 26 tahun. Namun, ia masih tetap bersemangat untuk memberikan yang terbaik untuk orang banyak.
Ia menyadari, kelumpuhannya mungkin merepotkan banyak orang. Namun Een ingin penyakitnya itu tak menghentikan dirinya memberikan yang terbaik untuk banyak orang.
Wanita kelahiran 10 Agustus 1963 itu ingat betul awal dari kelumpuhannya. Ketika usianya masih 18 tahun, ia mulai mengalami sakit-sakitan. Selama enam tahun mengalami sakit, Een masih bisa jalan. Namun, sejak 1987, penyakitnya membuatnya lumpuh dan hanya terbaring di tempat tidur.
Sakitnya Een dimulai pada suatu pagi. Tiba-tiba saja Een merasakan lengan kirinya tak bisa diangkat dan tak bisa digerakkan. Sakitnya pun luar biasa seperti ditusuk-tusuk.
"Sore harinya saya ke dokter untuk berobat dan sembuh dengan minum obat selama 3 hari. Pada hari keempat, obat itu habis dan penyakitnya kambuh. Bukan hanya lengan kiri kali ini, tapi kanan juga. Saya ke dokter lagi," ujar alumni IKIP Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia/UPI) itu saat dihubungi Liputan6 melalui telepon, Rabu 5 Juni.
Sakit yang dialami Een dari hari ke hari bukannya membaik malah memburuk. Secara bertahap penyakitnya berkembang. Dari lengan kiri, ke lengan kanan, beralih ke lutut kiri dan kanan, dan berkembang ke semua sendi dari kepala hingga ujung kaki.
Een sempat mengurangi makan jeroan meski ia tak terlalu menyukainya untuk melihat dampaknya ke penyakitnya. Bahkan ada dokter yang juga menganjurkan agar ia tak minum susu dan tak makan daging-dagingan. Tapi, sakit itu masih terasa.
"Dari situ saya merasakan kalau dari makanan tak ada pengaruhnya," ujar Een.
Penerima Liputan6 Award itu memang sudah 32 tahun menderita penyakit Rheumatoid arthritis (RA). Dan penyakitnya itu membuat lumpuh selama 26 tahun. Namun, ia masih tetap bersemangat untuk memberikan yang terbaik untuk orang banyak.
Ia menyadari, kelumpuhannya mungkin merepotkan banyak orang. Namun Een ingin penyakitnya itu tak menghentikan dirinya memberikan yang terbaik untuk banyak orang.
Wanita kelahiran 10 Agustus 1963 itu ingat betul awal dari kelumpuhannya. Ketika usianya masih 18 tahun, ia mulai mengalami sakit-sakitan. Selama enam tahun mengalami sakit, Een masih bisa jalan. Namun, sejak 1987, penyakitnya membuatnya lumpuh dan hanya terbaring di tempat tidur.
Sakitnya Een dimulai pada suatu pagi. Tiba-tiba saja Een merasakan lengan kirinya tak bisa diangkat dan tak bisa digerakkan. Sakitnya pun luar biasa seperti ditusuk-tusuk.
"Sore harinya saya ke dokter untuk berobat dan sembuh dengan minum obat selama 3 hari. Pada hari keempat, obat itu habis dan penyakitnya kambuh. Bukan hanya lengan kiri kali ini, tapi kanan juga. Saya ke dokter lagi," ujar alumni IKIP Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia/UPI) itu saat dihubungi Liputan6 melalui telepon, Rabu 5 Juni.
Sakit yang dialami Een dari hari ke hari bukannya membaik malah memburuk. Secara bertahap penyakitnya berkembang. Dari lengan kiri, ke lengan kanan, beralih ke lutut kiri dan kanan, dan berkembang ke semua sendi dari kepala hingga ujung kaki.
Een sempat mengurangi makan jeroan meski ia tak terlalu menyukainya untuk melihat dampaknya ke penyakitnya. Bahkan ada dokter yang juga menganjurkan agar ia tak minum susu dan tak makan daging-dagingan. Tapi, sakit itu masih terasa.
"Dari situ saya merasakan kalau dari makanan tak ada pengaruhnya," ujar Een.
Penyakit autoimun
Een didiagnosa terkena Rheumatoid arthritis (RA). Penyakit ini merupakan penyakit autoimun kronis, progresif dan melumpuhkan. Beberapa penelitian menunjukkan kalau penderita penyakit ini kebanyakan kaum wanita.
"Pada 1987 saya tak bisa jalan. Tak lama kemudian, saya terkena infeksi usus akibat terlalu banyak obat rematik. Kan panas," katanya lagi.
Saat sakit infeksi usus itu, Een sempat divonis dokter kalau usianya hanya bisa bertahan 1 minggu. Memang, dokter yang didatanginya itu bukanlah dokter yang biasa. Maklum saja, keluarganya sewaktu itu sedang panik dan mencari dokter yang berpraktik.
"Setelah beberapa hari, saya periksa ke dokter biasa setelah ia datang dari luar negeri," ujar Een.
Dan diagnosa dokter ternyata tak terbukti, infeksi ususnya bisa sembuh. Setelah itu, Een menjalani pengobatan alternatif selama enam bulan dan melakukan pijat. Sehari saja tidak dipijat, sakit yang dialami Een bisa kambuh lagi.
"Tapi beberapa bulan kemudian, tubuh belakang saya lecet karena tak bisa bolak-balik, cuma terlentang. Itu lecetnya kurang lebih selama 6 bulan".
Advertisement
Bantalan dengan ban
Kelamaan terbaring di ranjang membuat tubuh Een memar. Pengobatan alternatif mencari akal dengan memakai ban dalam untuk Vespa yang diletakkan di bawah pinggulnya. Ban itu hanya diisi sedikit angin sebagai bantalan agar punggungnya tak menekan ke kasur.
"Ban itu dibalut kain tipis supaya tidak panas. Sekarang sudah tidak lecet-lecet lagi. Sekarang pakai busa untuk di pinggul. Jadi punggung tidak terlalu menekan ke kasur. Lecet sampai sekarang sudah sembuh".
Dengan bantalan itu mungkin telah menyembuhkan masalah lecet yang dialami Een. Namun, dengan teratasinya satu masalah berlalu mendatangkan masalah yang lainnya. Pada 2007, tubuh bagian belakang Een kembali terasa pedih seperti ada benjolan di bekas lukanya. Sakit itu terasa beberapa lama. Ia tak mengobatinya ke dokter. Namun, seseorang memberinya obat untuk mengatasi benjolan itu.
Sejak saat itu, Een memilih tak mengobati penyakit sendinya ke dokter. Ia memilih membeli obat warungan jika sakitnya kumat.
"Dilematis, ke dokter berapa kali dibilangnya, ya sudah sabar," ujarnya.
Sakit mata bukan katarak
Penyakit Een bertambah lagi pada pertengahan Juli tahun lalu. Mata kirinya tiba-tiba sakit. Setelah diperiksa dan diobati, sakitnya agak mendingan. Namun, mata kirinya kini tak bisa melihat lagi.
"Saya pernah diperiksa ke rumah sakit karena mau ikut operasi katarak gratis. Kata dokter, mata saya harus ke rumah sakit dan ternyata, dokter mengatakan saya bukan katarak. Ini infeksi katanya yang mungkin faktor penyebabnya dari penyakit yang saya derita," jelas Een.
Sebenarnya, Een disarankan untuk melakukan operasi mata. Jika korneanya tidak rusak parah, ia masih bisa menerima donor mata. Namun jika rusak parah sudah tidak bisa. Namun, Een menolak untuk melakukan pengobatan.
"Pertama, saya tidak tahu orang yang mendonorkan matanya. Kedua, kondisi saya seperti ini, struktur tubuh sudah tidak normal lagi. Nanti, takut tumbuh masalah baru. Takut mata tertusuk".
Kedatangan Een ke Jakarta pada Liputan6 Award sebenarnya penuh perjuangan. Ia baru saja dirawat selama satu minggu. Namun, Een dengan semangat tetap datang ke Jakarta untuk mengetahui batas kekuatannya.
"Saya coba ke Jakarta sampai di mana kekuatan saya sekarang. Pas di Ancol saya sudah keluar keringat dingin tapi saya mau menguji sampai di mana saya bisa bertahan. Tapi karena banyak anak-anak saya jadi terhibur dan terobati," ujarnya menambahkan.
Een mengakui, sumber kekuatannya untuk tetap bertahan adalah dari anak-anak didiknya. Di usianya yang tak muda lagi Een memang masih melajang. Namun, hidupnya selalu dikelilingi anak-anak didiknya yang menyayanginya.
"Anak-anak ini obat buat saya. Sebenarnya, apa yang saya lakukan semata-mata demi Ridho Allah SWT dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Di satu sisi, saya merepotkan orang lain. Tapi, di sisi lain, saya ingin bermanfaat buat orang lain".
Menurutnya, ketika sakit menghampirinya, Een ingat ke anak-anaknya. Dulu, sewaktu neneknya masih ada, sang neneklah yang menjadi semangat hidupnya. Maklum saja, Een merupakan cucu kesayangan neneknya. Selama bertahun-tahun, Een hidup bersama nenek dan kakeknya.
"Nenek pernah berpesan, `Teteh jangan dahului nenek. Nenek nggak ada siapa-siapa`. Dan nenek meninggal ketika saya berusia 34 tahun".
Advertisement
Hidup dengan obat
Een menyadari, sejak dokter mendiagnosa penyakitnya kemungkinan untuk sembuh sangat tipis. Bahkan dokter memberitahu kalau penyakit yang dideritanya belum diketahui penyebab dan obatnya.
Untuk obat-obatan rematiknya, Een tidak setiap saat meminumnya. Ia baru akan meminumnya jika sakitnya terasa parah. Sedangkan obat yang rutin diminumnya malah obat maag.
"Dilematis. Kalau dimakan rutin (obat penghilang rasa sakit), lambung kena. Nggak dimakan, saya yang nggak kuat".
Tubuh Een mungkin sudah lumpuh. Namun, ketika berobat ke dokter penyakit dalam, Een bersyukur kondisi jantung dan hatinya masih bagus. Sakit yang dialami Een tak membuatnya patah semangat. Ia bahkan mengimbau teman-temannya yang senasib untuk tetap bersabar.
"Untuk saudara-saudara saya yang sependeritaan. Semoga tetap bersabar atas segala yang kita terima. Berprasangka baiklah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu kita akan yakin segala yang kita terima pasti yang terbaik untuk kita".
"Bersabar harus dengan bersyukur kita masih diberikan kehidupan. Masih banyak nikmat yang kita terima. Untuk mengantisipasi sakit yang kita derita, alangkah lebih baiknya kita imbangi dengan kegiatan yang positif. Syukur-syukur bermanfaat buat semua orang. Jika tidak, minimal untuk diri sendiri dan keluarga".
Bisa sembuh
Sebenarnya, penyakit yang diderita Een ini bisa sembuh jika diobati sejak dini. Namun, kemungkinan sembuhnya sangat tipis yakni sekitar 10 persen.
Di Indonesia penyakit ini juga cukup banyak ditemukan. Penelitian yang ada menunjukkan, sekitar 2 persen penderita RA. Sayangnya, penderita sering terlambat berobat karena kurangnya informasi, sehingga seringkali pasien datang setelah mengalami stadium lanjut.
"Ini jenis penyakit kronis. Sebenarnya 10 persen bisa sembuh total. Tapi biasanya yang paling banyak sembuh remisi, yakni bisa timbul lagi," ujar Dr Cecilia Renny Padang, PhD, FACR, saat dihubungi Liputan6.com melalui telepon, Rabu (5/6/2013).
Menurut Dr Cecilia, RA merupakan penyakit sistemik, kronis, inflamasi, progresif, erosive, yang mengenai sendi dan jaringan sinovium dan merupakan salah satu golongan penyakit autoimun. Ia menyarankan agar segera mengobati penyakit ini jika mengalami gejala-gejala seperti:
1. Pembengkakan pada sendi. Biasanya mulanya pada sendi jari tangan dan kaki, kemudian bisa mengenai sendi lain.
2. Berat badan menurun tanpa sebab tertentu
3. Dapat disertai demam tanpa sebab yang jelas
4. Kaku di pagi hari lebih dari satu jam
5. Badan letih
6. Nafsu makan berkurang
"Kalau RA harus diobati sedini mungkin. Begitu ketahuan harus diobati, kurang dari setahun atau terlambat," ujar Dr Cecilia.
Ia mengatakan, pada stadium awal belum terjadi kerusakan sendi dan tulang. Dan pada stadium lanjut bisa terjadi keropos tulang dan erosi sendi sehingga memerlukan tindakan operasi.
Advertisement
Kenapa bikin lumpuh?
Rheumatoid arthritis (RA) atau rematik sebenarnya merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh faktor gen yang menyertai. Sehingga penyakit ini tidak bisa dicegah karena sudah dibawa sejak lahir. Pencegahan yang dilakukan hanya berupa pencegahan kerusakan sendi dan tulang.
"Interaksi antara faktor genetik ini dengan faktor lingkungan akan mencetuskan munculnya Rheumatoid Arthritis. Faktor gen pada Rheumatoid arthritis adalah HLA-DR4," kata Dr Cecilia.
Menurut Cecilia, pasien RA bisa mengalami osteoporosis dan lumpuh total. Namun, itu semua harus dilihat dari beberapa hal. Penderita bisa saja lumpuh akibat ada penyakit lainnya seperti hipertensi dan stroke. Obat-obatan RA bisa meningkatkan tensi sehingga bisa menyebabkan lumpuh.
"Kelumpuhan harus dilihat apa karena tak bisa menggerakkan tubuhnya atau radang sendi yang membuat tulang erosi sehingga akan menekan saraf. Tapi bisa juga lumpuh karena tidak bisa jalan. Pada RA karena terjadi kerusakan sendi akibat peradangan yang kronis sehingga sendi rusak sehingga tidak bisa menggerakkan sendinya".
"Jadi lumpuhnya bukan saraf yang rusak, tapi tak bisa menggerakkan badan, dan tidak bisa bangun".
Rematik bikin cacat
Rematik (Artritis Rematoid) sangat berbahaya bagi tubuh manusia dan cenderung mengakibatkan adanya kelainan atau cacat seumur hidup.
"Pada dasarnya rematik memiliki dua jenis, yaitu rematik ringan dan rematik berat, namun jika tidak ditangani secara dini akan mengakibatkan dampak yang sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia" kata Dokter Spesialis Reumatologi RSUP Sanglah dr Gede Kambayana, ApPD-KR di Denpasar, seperti dikutip dari Antara, Rabu (5/6/2013).
Menurut Kambayana, penyakit rematik ringan masih bisa diatasi dengan pengobatan penghilang rasa nyeri dan melakukan olahraga secara rutin. Sementara itu, untuk penyakit berat perlu penanganan secara serius dan memerlukan biaya yang besar sehingga memulihkan kondisinya secara normal.
Karena itu, Group Product Manager Specialty Care Roche Vita Karunia Harsono, menawarkan pengobatan yang tepat pada sasarannya dengan tanpa menimbulkan efek samping.
"Karena biaya pengobatannya tinggi, maka kami memberikan bonus pelayanan gratis satu kali pengobatan bagi pemesanan pengobatan minimal dua kali," kata Vita.
Menurut dia, pengobatan tersebut tidak bisa dilakukan satu kali, namun minimal dua kali dan maksimal enam kali untuk memulihkan secara normal. Pengobatan yang ditawarkannya bukan sekadar wacana karena sudah banyak bukti dan tingkat keberhasilannya mencapai 83 persen di tingkat Asia.
Ia melihat banyak potensi munculnya rematik di Indonesia dan khususnya di Bali belum ditangani secara maksimal dan menganggap penyakit tersebut merupakan penyakit bawaan.
"Padahal di sisi lain, penyakit itu bisa ditangani secara optimal dengan berbagai melakukan berbagai langkah agar tidak mengakibatkan cacat hidup," kata Vita menambahkan.
(Mel/*)
Baca Juga
Advertisement
Lanjutkan Membaca ↓