Arba Mustamir dapam Pandangan Islam dan Tradisinya di Berbagai Daerah

Pengertian arba mustamir dan tradisi-tradisi arba mustamir yang ada di daerah-daerah di Indonesia.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 09 Mei 2023, 15:15 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2023, 15:15 WIB
Ilustrasi Islam, muslim, membaca Al-Qur'an
Ilustrasi Islam, muslim, membaca Al-Qur'an. (Photo by Syed Aoun Abbas on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Arba mustamir atau Rabu terakhir dibulan Safar adalah sebuah fenomena yang dianggap sebagai suatu kepercayaan dalam masyarakat Indonesia. Meskipun tidak ada dasar agama yang kuat untuk meyakini bahwa keberuntungan seseorang dapat dipengaruhi oleh waktu atau hari tertentu dalam kalender, namun beberapa masyarakat di Indonesia masih mempertahankan tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan ini.

Beberapa masyarakat di Indonesia meyakini bahwa pada hari Arba Mustamir, ada bahaya yang mengintai, seperti bencana atau gangguan roh-roh jahat. Oleh karena itu, mereka melakukan tradisi "ruwatan" atau "selamatan arba mustamir" yang dilakukan dengan cara melakukan doa-doa dan penghormatan kepada leluhur, membersihkan diri secara spiritual, dan melakukan ziarah kubur.

Namun, pandangan mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada dasar agama yang mendukung pandangan negatif terhadap Rabu terakhir dibulan Safar atau arba mustamir. Sebaliknya, pandangan mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara keberuntungan seseorang dengan waktu atau hari tertentu dalam kalender, kecuali pada hari-hari yang telah diakui dalam agama.

Lebih lengkapnya, berikut ulasan dari Liputan6.com yang telah dirangkum dari berbagai sumber pada Selasa (9/5/2023). Pengertian arba mustamir dan tradisi-tradisi arba mustamir yang ada di daerah-daerah di Indonesia.

Pengertian Arba Mustamir

Ilustrasi Islam
Ilustrasi Islam. (Bola.com/Pixabay)

Arba mustamir atau yang juga dikenal dengan Rabu terakhir dibulan Safar, adalah istilah dalam kalender Hijriyah yang merujuk pada Rabu terakhir dalam bulan Safar. Namun, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda-beda tergantung pada kepercayaan atau budaya yang memakainya.

Beberapa kelompok di masyarakat muslim meyakini bahwa Rabu terakhir dibulan Safar merupakan hari yang dianggap sebagai hari yang dianggap sebagai hari yang berbahaya atau memiliki keberuntungan yang kurang baik. Namun, pandangan ini bukanlah pandangan yang diakui oleh mayoritas umat Islam, dan tidak ada dasar agama yang mendukung pandangan tersebut.

Sebaliknya, pandangan mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara keberuntungan seseorang dengan waktu atau hari tertentu dalam kalender, kecuali pada hari-hari yang telah diakui dalam agama, seperti hari Jumat yang disebut sebagai hari yang istimewa bagi umat Islam.

Dalam hal ini, ulama mengajak umat Islam untuk lebih fokus pada ajaran-ajaran Islam yang benar dan meninggalkan kepercayaan-kepercayaan yang tidak sesuai dengan agama. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak terlalu mempercayai kepercayaan negatif terhadap "Rabu terakhir di bulan Safar" atau "arba mustamir", dan sebaliknya, kita harus lebih memfokuskan perhatian pada ajaran-ajaran Islam yang benar dan melakukan amalan-amalan yang sesuai dengan syariat Islam.

Tradisi Arba Mustamir di Berbagai Daerah di Indonesia

Meskipun tidak ada dasar agama yang mendukung pandangan negatif terhadap "Rabu terakhir dibulan Safar" atau "arba mustamir", namun beberapa masyarakat di Indonesia masih mempertahankan tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Beberapa contoh di antaranya adalah:

1. Masyarakat Jawa Tengah: Di daerah ini, masyarakat meyakini bahwa pada hari Rabu terakhir dibulan Safar, ada roh-roh jahat yang berkeliaran. Oleh karena itu, mereka melakukan tradisi "ruwatan arba' mustamir" yang dilakukan dengan melakukan doa-doa dan penghormatan kepada leluhur.

2. Masyarakat Banten: Di Banten, masyarakat meyakini bahwa pada hari Rabu terakhir dibulan Safar, ada banyak bala yang berkeliaran. Oleh karena itu, mereka melakukan tradisi "nyadran" atau "selamatan arba' mustamir" yang dilakukan dengan cara membersihkan diri secara spiritual, melakukan ziarah kubur, dan berdoa.

3. Masyarakat Bali: Di Bali, masyarakat juga meyakini adanya bahaya pada hari Rabu terakhir dibulan Safar. Oleh karena itu, mereka melakukan tradisi "tutug kambuhan" yang dilakukan dengan cara mempersembahkan sesajen kepada leluhur dan melakukan upacara bersih desa.

Namun, perlu diingat bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut tidak memiliki dasar agama dan sebaiknya tidak dijadikan sebagai patokan dalam beragama. Sebagai gantinya, kita dapat lebih memperkuat keimanan dengan mempelajari ajaran-ajaran agama secara benar dan melakukan amalan-amalan yang sesuai dengan syariat Islam.

Pandangan Mayoritas Ulama

Mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada dasar agama yang mendukung pandangan negatif terhadap "Rabu terakhir dibulan Safar" atau "arba' mustamir". Sebaliknya, pandangan mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara keberuntungan seseorang dengan waktu atau hari tertentu dalam kalender, kecuali pada hari-hari yang telah diakui dalam agama, seperti hari Jumat yang disebut sebagai hari yang istimewa bagi umat Islam.

Dalam hal ini, ulama memandang bahwa kepercayaan negatif terhadap "Rabu terakhir di bulan Safar" atau "arba mustamir" merupakan suatu bentuk kesesatan yang tidak memiliki dasar agama yang kuat. Mereka mengajak umat Islam untuk lebih fokus pada ajaran-ajaran Islam yang benar dan meninggalkan kepercayaan-kepercayaan yang tidak sesuai dengan agama.

Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak terlalu mempercayai kepercayaan negatif terhadap "Rabu terakhir di bulan Safar" atau "arba' mustamir", dan sebaliknya, kita harus lebih memfokuskan perhatian pada ajaran-ajaran Islam yang benar dan melakukan amalan-amalan yang sesuai dengan syariat Islam.

Asal Usul Kepercayaan Arba Mustamir

Asal usul kepercayaan tentang "arba mustamir" atau "Rabu terakhir dibulan Safar" masih belum dapat dipastikan dengan pasti. Namun, sebagian besar peneliti menyatakan bahwa kepercayaan ini berasal dari pengaruh budaya dan agama yang berbeda di Indonesia.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa kepercayaan ini berasal dari pengaruh kepercayaan animisme atau kepercayaan nenek moyang yang dipraktikkan oleh masyarakat pribumi Indonesia sebelum agama Islam masuk ke Indonesia. Masyarakat pribumi Indonesia mempercayai bahwa ada banyak roh halus yang berada di sekitar mereka, dan pada hari-hari tertentu, seperti hari-hari yang dianggap istimewa seperti Rabu terakhir dibulan Safar, roh-roh halus tersebut dapat menjadi lebih aktif dan membawa keberuntungan atau bahaya bagi manusia.

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa kepercayaan ini berasal dari pengaruh agama Hindu yang masuk ke Indonesia sejak zaman Kerajaan Majapahit. Agama Hindu memiliki banyak hari suci yang dianggap sebagai hari yang istimewa dan memiliki kekuatan magis tertentu, termasuk pada hari Rabu. Pada saat agama Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan Hindu tentang kekuatan magis pada hari Rabu kemudian bercampur dengan kepercayaan Islam tentang hari-hari yang dianggap istimewa.

Namun, secara umum, tidak ada dasar agama yang kuat untuk meyakini bahwa keberuntungan seseorang dapat dipengaruhi oleh waktu atau hari tertentu dalam kalender. Oleh karena itu, sebaiknya kita lebih fokus pada ajaran-ajaran Islam yang benar dan meninggalkan kepercayaan-kepercayaan yang tidak sesuai dengan agama.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya