Zhihar Adalah Suami Menyamakan Sang Istri dengan Mahram, Ini Hukumnya dalam Islam

Zhihar adalah perbuatan suami menyamakan istrinya dengan perempuan mahramnya.

oleh Ayu Rifka Sitoresmi diperbarui 09 Mei 2023, 19:30 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2023, 19:30 WIB
Zhihar Adalah Suami Menyamakan Sang Istri dengan Mahram, Ini Hukumnya dalam Islam
Ilustrasi suami istri. (Foto: freepik.com)

Liputan6.com, Jakarta Zhihar adalah istilah yang sering digunakan pada zaman jahiliyah. Dalam Islam sendiri melarang seorang Muslim mengatakan kata zhihar kepada istrinya. Secara bahasa, zhihar artinya punggung. Sedangkan secara istilah, zhihar adalah perbuatan suami menyamakan istrinya dengan perempuan mahramnya.

Secara sederana, zhihar adalah sebuah ungkapan yang dilontarkan oleh suami terhadap istrinya. Ungkapan tersebut sengaja diucapkan oleh suami dengan niatan untuk mengharamkan istrinya dari diri sang suami.

Agar lebih paham, berikut Liputan6.com ulas mengenai definisi zhihar dan hukumnya dalam Islam yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Selasa (9/5/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Definisi Zhihar

Zhihar Adalah Suami Menyamakan Sang Istri dengan Mahram, Ini Hukumnya dalam Islam
Ilustrasi Keluarga Muslim Credit: pexels.com/mentatdgt

Secara bahasa, kata zhihar diambil dari kata zhahr yang berarti ‘punggung’. Secara istilah, zhihar adalah ungkapan suami menyerupakan istrinya dengan salah seorang mahramnya, seperti ibu atau saudara perempuan. Di zaman Jahiliyah, masyarakat Arab menganggap zhihar sebagai salah satu cara talak.

Terlepas dari hal tersebut, dalam buku Hukum Perkawinan dan Keluarga (2022) oleh Dr. Dwi Atmoko, dijelaskan zhahar adalah sebuah ungkapan. Ungkapan tersebut sengaja diucapkan oleh suami dengan niatan untuk mengharamkan istrinya dari diri sang suami.

Ungkapan yang dimaksud dalam zhihar adalah "bagiku kamu seperti punggung ibuku". Secara bahasa, zhihar berarti punggung. Dalam praktiknya di Indonesia, zhihar tidak dapat memutus suatu hubungan perkawinan. Dalam memahaminya, harus ditegaskan bahwa zhihar adalah ucapan yang memiliki akibat serius di mata agama. Sedemikian parahnya akibat dari zhihar dapat menjadi perceraian di sisi Allah SWT. Untuk menghindari zhihar, seseorang harus menarik panggilan dan membayar kafarat (denda).

Kafarat tersebut harus dibayar oleh laki-laki yang memiliki denda kepada istrinya agar dapat kembali berhubungan badan. Ada pula yang menganggap penebusan tersebut sebagai utang seorang laki-laki kepada istri yang membencinya.


Hukum Zhihar dalam Agama Islam

Zhihar Adalah Suami Menyamakan Sang Istri dengan Mahram, Ini Hukumnya dalam Islam
Ilustrasi Al-qur'an (sumber: Pixabay)

Dikutip dari laman NU Online, para ulama telah sepakat bahwa hukum dari zhihar adalah haram dan termasuk dosa besar.

Hal itu didasarkan pada firman Allah yang menyebutnya sebagai ungkapan yang mungkar dan dusta.

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

Artinya: “Orang-orang yang menzhihar istrinya (menganggapnya sebagai ibu) di antara kamu, istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang  melahirkannya. Sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi,” (QS. al-Mujadalah [58]:2).

Ayat mengenai zhihar di atas turun berkenaan dengan seorang sahabat perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah yang telah di-zhihar suaminya.  Suaminya yang bernama Aus bin Shamit adalah seorang lelaki yang emosional. Saat emosinya memuncak, ia men-zhihar istrinya. Lalu Khaulah mengadukan permasalahan rumah tangganya tersebut kepada Rasulullah saw.

Perihal zhihar, sebenarnya telah ada di masa jahiliyah. Khitab atau sasaran pada lafal ‘minkum’ menurut az-Zamakhsyari, menunjukkan adanya unsur taubikh yakni Allah mencela orang Arab jahiliyah yang pada saat itu memiliki kebiasaan menyamakan istri dengan ibunya.

Berdasarkan ayat tersebut, fuqaha’ dari kalangan Syafi’i menggolongkannya sebagai dosa besar. Sementara mayoritas ulama sepakat bahwa hukum zhihar itu diharamkan. Berbeda dengan talak yang diperbolehkan berdasarkan adanya faktor-faktor tertentu, sehingga jika zhihar dilakukan, maka mewajibkan adanya kaffarah.


Istri Mengzhihar Suami

Zhihar Adalah Suami Menyamakan Sang Istri dengan Mahram, Ini Hukumnya dalam Islam
Ilustrasi Muslimah Credit: shutterstock.com

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa zhihar adalah perkara yang khusus dilakukan bagi suami dan tidak berlaku bagi istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT,

“Dan orang-orang yang menzhihar istri mereka,” (Q.S. Al Mujaadilah:3)

Dengan berhujjah kepada ayat tersebut, maka zhihar itu hanya khusus berlaku bagi para suami. Alasan lainnya, karena zhihar adalah sebuah ucapan yang menjadikan haramnya istri bagi suaminya itu, tindakan untuk menghilangkannya hanya dimiliki oleh pihak suami. Karenanya, zhihar itu hanya berlaku bagi suami sebagaimana halnya dengan talak.


Konsekuensi dari Zhihar

Zhihar Adalah Suami Menyamakan Sang Istri dengan Mahram, Ini Hukumnya dalam Islam
Ilustrasi Pria Muslim Credit: freepik.com

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa zhihar termasuk dosa besar dan hukumnya haram. Untuk menghindari zhihar, seseorang harus menarik panggilan dan membayar kafarat (denda). Kendati melanggar dan tetap menggauli istrinya, si suami dikategorikan bermaksiat dan tidak ada kafarat lagi selain salah satu kafarat yang tiga.

“Jika ungkapan zhihar tidak diikuti talak, maka tidak tercapai sesuatu yang memutuskan pernikahan. Sebab, zhihar dianggap kembali kepada perkataan suami dan bertolak belakang dengan ucapannya sendiri. Konsekuensinya, ketika suami tidak berpisah dengan istri karena telah menyerupakannya dengan salah seorang mahramnya, maka penyerupaan itu hanya dianggap pembatal dari pihak suami dan pelanggar ketentuan. Maka dalam kondisi itu, si suami hanya diwajibkan menunaikan kaffarat dan kaffarat itu dilakukan pada saat itu pula.” (al-Khin: IV/147)

Adapun bentuk kafaratnya adalah pertama memerdekakan budak beriman yang sehat jasmani dan rohani serta giat dalam bekerja. Kedua adalah berpuasa selama dua bulan hijriah secara berturut-turut. Ketiga memberi makan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud (kira-kira ¾ kg). Ketentuan dari membayar denda atau kafarat adalah harus berurutan dan bertahap. Tidak bisa langsung beralih ke kafarat yang ketiga selama kafarat pertama atau kedua belum ditunaikan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya