Ajining Diri Ana Ing Lathi Artinya Nilai Diri Ada di Mulut, Pahami Makna Lengkapnya

Arti dan makna peribahasa Jawa Ajining Diri Dumunung Ana ing Lathi, Ajining Raga Dumunung Saka Busana dan juga peribahasa Jawa lainnya.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 09 Okt 2023, 15:00 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2023, 15:00 WIB
Ilustrasi budaya, Jawa
Ilustrasi budaya, Jawa. (Photo by Renda Eko Riyadi: https://www.pexels.com/photo/people-wearing-traditional-dress-2912492/)

Liputan6.com, Jakarta Peribahasa Jawa memiliki kekayaan kata-kata yang penuh makna dan hikmah. Salah satu peribahasa yang mendalam adalah ajining diri ana ing lathi. Ajining diri ana ing lathi artinya secara harfiah diterjemahkan sebagai nilai diri terletak di mulut. Peribahasa ini, dengan makna yang dalam, mencerminkan kebijaksanaan budaya Jawa dalam menghargai pentingnya komunikasi dan etika dalam berbicara. 

Dalam budaya Jawa, ajining diri ana ing lathi artinya sangat dalam, bahkan makanya juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga ucapannya. Hal ini berarti bahwa kita harus berhati-hati dengan kata-kata kita, menghindari kebohongan, kata-kata kasar, serta perilaku menghina. Kita menyadari bahwa tindakan kita dalam berbicara dapat mencerminkan karakter dan integritas kita sebagai individu. 

Ajining diri ana ing lathi merupakan bagian dari peribahasa Ajining Diri Dumunung Ana ing Lathi, Ajining Raga Dumunung Saka Busana. Jika ajining diri ana ing lathi artinya memiliki makna seputar perkataan, maka ajining raga dumunung saka busana memiliki makna seputar penampilan dan perilaku.

Untuk lebih memahami memahami peribahasa Jawa ini, berikut ini telah liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Senin (9/10/2023). Arti dan makna peribahasa Jawa Ajining Diri Dumunung Ana ing Lathi, Ajining Raga Dumunung Saka Busana dan juga peribahasa Jawa lainnya.

Makna Ajining Diri Ana Ing Lathi

Ilustrasi Jawa
Ilustrasi Jawa. (Unsplash/Agto Nugroho)

Ajining diri ana ing lathi adalah bagian dari petuah Jawa yang berarti "nilai diri terletak di mulut" atau secara lebih lengkap "Ajining diri dumunung ana ing lathi." Dalam konteks ini, petuah ini menyoroti pentingnya menjaga ucapannya dan perilaku komunikatif seseorang.

Makna dari ajining diri ana ing lathi adalah bahwa kualitas dan nilai diri seseorang sangat tergantung pada bagaimana dia menjaga mulutnya. Secara lebih spesifik, nilai diri seseorang terletak pada kebijaksanaan, kejujuran, serta cara berbicara dan bersikap terhadap orang lain. Bagaimana seseorang berkomunikasi dapat mencerminkan karakter dan integritasnya.

Penting untuk tidak berbohong, tidak menghina, dan tidak menyakiti perasaan orang lain melalui kata-kata. Jika seseorang mampu mengendalikan ucapannya dan memastikan bahwa kata-kata yang diucapkannya tidak merugikan orang lain, maka nilai dirinya akan meningkat.

Dalam budaya Jawa, menjaga etika berbicara dan bersikap adalah suatu nilai yang tinggi. Orang yang dapat mengungkapkan pendapat atau pikiran dengan sopan dan bijaksana akan dihargai dan dianggap memiliki nilai diri yang tinggi.

Dengan menjaga mulut, seseorang dapat membangun hubungan yang baik dengan orang lain, mendapatkan rasa hormat, dan menciptakan citra diri yang positif. Sebaliknya, jika seseorang tidak mampu mengendalikan ucapannya dan sering menyakiti perasaan orang lain, maka nilai dirinya akan terpuruk.

Jadi, ajining diri ana ing lathi mengajarkan pentingnya menjaga perilaku komunikatif dan etika berbicara sebagai landasan dari nilai diri yang baik.

Makna Ajining Raga Dumunung Saka Busana

Ilustrasi Jawa
Ilustrasi Jawa/Unsplash

Ajining Raga Dumunung Saka Busana adalah bagian lain dari petuah Jawa yang dapat diterjemahkan sebagai "nilai fisik terletak pada pakaian" atau secara lebih lengkap "Ajining Raga Dumunung Saka Busana." Pernyataan ini mengandung dua aspek penting.

Pertama, Ajining Raga Dumunung Saka Busana dapat diartikan sebagai peringatan untuk menjaga penampilan fisik atau tubuh dengan menggunakan pakaian yang sesuai dan pantas. Artinya, orang diharapkan untuk memperhatikan tata cara berpakaian yang sesuai dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat.

Pakaian yang pantas bukan hanya berkaitan dengan etika berpakaian dalam konteks budaya, tetapi juga mencakup penghormatan terhadap norma-norma agama dan kesopanan. Dengan menjaga penampilan fisik melalui pemilihan pakaian yang sesuai, seseorang dapat memancarkan kesan positif dan menjaga kehormatan dirinya.

Kedua, pernyataan ini juga dapat diartikan sebagai himbauan untuk memperhatikan penampilan saat berhadapan dengan orang lain. Ketika seseorang bertemu dengan orang lain, baik dalam konteks formal maupun informal, penggunaan pakaian yang sesuai dengan situasi akan menciptakan kesan yang baik. Ini mencakup penghormatan terhadap orang lain dengan memberikan perhatian terhadap penampilan fisik.

Secara keseluruhan, Ajining Raga Dumunung Saka Busana mengandung pesan penting tentang menjaga nilai fisik dan memperhatikan tata cara berpakaian yang baik. Melalui pemilihan pakaian yang sesuai dan pantas, seseorang dapat membangun citra diri yang baik di hadapan masyarakat, menunjukkan rasa hormat terhadap norma-norma sosial, agama, dan etika berpakaian, serta menjaga martabat dan kehormatan diri sendiri.

Contoh Peribahasa Jawa Lainnya Dan Maknanya

Berikut adalah satu peribahasa Jawa beserta artinya:

1. Peribahasa Jawa: "Urip iku urup, murub lan urup"

Arti: Hidup itu seperti sebatang lilin, kadang menyala terang, kadang redup, namun terus hidup dan menyala.

Penjelasan: Peribahasa ini menggambarkan sifat kehidupan yang penuh dengan tantangan dan perubahan. Hidup diibaratkan sebagai lilin yang kadang-kadang menyala terang, kadang redup, namun tetap terus hidup dan menyala. Ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan, ada masa-masa sulit dan cerah, namun kita harus terus melangkah dan menjalani perjalanan kehidupan dengan tekun.

 

2. Peribahasa Jawa: "Layang kang para ngrumat"

Arti: Terbang tinggi yang menjauh, mendekat kembali.

Penjelasan: Peribahasa ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan, ada saat-saat di mana seseorang mungkin harus menjauh dari situasi atau masalah tertentu untuk mendapatkan perspektif yang lebih baik atau untuk menghindari konflik. Namun, pada akhirnya, mereka akan kembali untuk menghadapi atau menyelesaikan apa yang harus dihadapi. Ini mengajarkan bahwa menghindar sejenak untuk merenung atau memperbaiki diri adalah langkah bijaksana, tetapi tidak boleh menghindari tanggung jawab atau masalah yang sebenarnya.

 

3. Peribahasa Jawa: "Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe"

Arti: Bersikap rendah hati dalam mencari imbalan, sibuk dalam beraksi.

Penjelasan: Peribahasa ini mengajarkan pentingnya memiliki sikap rendah hati dan tidak terlalu fokus pada imbalan atau keuntungan pribadi. Sebaliknya, peribahasa ini mengingatkan kita untuk fokus pada tindakan atau pekerjaan yang benar dan bermanfaat tanpa terlalu banyak mengkhawatirkan hadiah atau penghargaan. Sikap seperti ini dianggap lebih mulia dan akan membawa kesuksesan dalam jangka panjang.

 

4. Peribahasa Jawa: "Adoh peurih, matak perih."

Arti: Manis di mulut, pedih di mata.

Penjelasan: Peribahasa ini menggambarkan situasi di mana seseorang mungkin merasakan kelezatan atau kebahagiaan sesaat, tetapi pada akhirnya, pengalaman tersebut dapat menjadi pahit atau menyakitkan. Ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam membuat keputusan atau tindakan yang mungkin tampak menguntungkan pada awalnya, tetapi dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan di kemudian hari.

 

5. Peribahasa Jawa: "Uwong to teko, nyawang bocah."

Arti: Orang tua yang sudah tua, melihat anak-anaknya.

Penjelasan: Peribahasa ini menggambarkan situasi di mana ketika seseorang sudah tua, mereka menjadi lebih sadar akan pentingnya keturunan atau anak-anak mereka. Ini adalah pengingat bahwa orang tua akan merasa lebih berharga dan merasa terpenuhi ketika melihat generasi berikutnya tumbuh dan berkembang dengan baik. Peribahasa ini juga mengajarkan nilai keluarga dan perhatian terhadap keturunan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya