Liputan6.com, Jakarta Politik identitas adalah fenomena kerap muncul menjelang pemilu. Secara umum, politik identitas melibatkan aspek SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Politik identitas dapat diartikan sebagai partisipasi individu dalam politik atas nama kelompok sosial tertentu. Praktik ini berkaitan erat dengan tujuan untuk memperoleh pengakuan maupun legitimasi.
Baca Juga
Advertisement
Politik identitas dalam pemilu sering digunakan sebagai strategi untuk memobilisasi dukungan dari segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Hal ini dapat termanifestasikan dalam bentuk kampanye yang menyoroti isu-isu yang sensitif secara identitas, seperti isu-etnis, agama, atau kebangsaan. Para politisi seringkali memanfaatkan politik identitas untuk memperkuat basis dukungan mereka dengan menekankan pada kesamaan identitas dengan pemilih potensial.
Namun, politik identitas dalam pemilu juga dapat memiliki dampak negatif, seperti memperdalam polarisasi dalam masyarakat dan mengaburkan isu-isu substansial yang seharusnya menjadi fokus dalam pemilihan umum. Selain itu, politik identitas dalam pemilu juga dapat menjadi alat bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan perbedaan identitas untuk kepentingan politik atau kekuasaan semata. Berikut ulasan lebih lanjut tentang politik identitas dalam pemilu yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (20/2/2024).
Sejarah Politik Identitas
Sejarah politik identitas dalam pemilu memiliki akarnya dalam gerakan sosial politik yang muncul pada tahun 1960-an di Amerika Serikat melalui gerakan mahasiswa SNCC (The Student Nonviolent Coordinating Committee). Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap diskriminasi rasial yang melanda masyarakat, di mana kaum Amerika kulit hitam dihadapkan dengan larangan menggunakan sekolah, gereja, restoran, bus, dan fasilitas umum lainnya. Pada masa itu, Amerika juga menerapkan kebijakan-kebijakan yang melemahkan hak-hak sipil, khususnya bagi kelompok minoritas.
Politik identitas mulanya diidentikkan dengan perjuangan melawan penindasan dan perlindungan hak-hak kaum minoritas. Tokoh-tokoh seperti Martin Luther King, Rosa Parks, Malcom X, dan banyak lagi, memimpin gerakan-gerakan politik identitas ini. Puncaknya terjadi pada tahun 1964 dengan penandatanganan Civil Rights Act oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, Lyndon B. Johnson. Civil Rights Act merupakan tonggak penting dalam sejarah AS yang menandai penghapusan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama, asal bangsa, dan faktor identitas lainnya.
Dari sinilah istilah politik identitas mulai muncul dan berkembang. Politik identitas tidak lagi hanya mengacu pada perjuangan rasial di Amerika Serikat, tetapi juga mencakup identitas-etnis, agama, gender, dan kelompok-kelompok sosial lainnya di seluruh dunia. Seiring waktu, politik identitas menjadi semakin kompleks dan relevan dalam konteks global, dengan pergeseran dinamika politik yang memengaruhi warga negara dari berbagai latar belakang identitas.
Advertisement
Praktik Politik Identitas di Indonesia
Praktik politik identitas dalam pemilu di Indonesia mencerminkan kompleksitas keberagaman sosial, budaya, dan agama di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai suku dan etnis. Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia telah mengalami berbagai tantangan dan konflik, baik eksternal maupun internal, yang menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam ujian yang serius. Dalam upaya mempertahankan persatuan, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi pedoman yang dipegang teguh, mengingatkan bahwa meskipun berbeda-beda, kita tetap satu.
Politik identitas dalam pemilu di Indonesia telah mengalami puncaknya pada beberapa peristiwa politik, seperti saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Pada saat itu, politik identitas menjadi sangat terlihat, memecah masyarakat menjadi dua kubu yang bertentangan, baik dari segi politik maupun identitas. Seiring dengan perkembangan zaman, politik identitas semakin meresap ke dalam dinamika politik Indonesia, baik dalam pemilihan umum maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Politik identitas di Indonesia sering kali dikerucutkan menjadi dua kelompok utama: nasionalis dan agamis. Dua kelompok ini sering kali berhadapan satu sama lain, menimbulkan gesekan dan pertentangan yang dapat mengancam stabilitas negara jika tidak dikelola dengan bijak. Perbedaan identitas menjadi alat bagi kepentingan politik yang dapat memecah belah masyarakat jika tidak diatasi dengan tepat.
Dampak dari politik identitas yang tidak terkendali dapat mengancam stabilitas negara dan menghambat proses demokratisasi yang mapan. Perbedaan pandangan dan ideologi tidak seharusnya menjadi sumber konflik yang merusak, melainkan harus dikelola melalui dialog yang terbuka dan saling pengertian. Kehadiran dialog antarberbagai kelompok identitas adalah kunci untuk meredakan ketegangan dan memperkuat persatuan dalam keberagaman.
Sebagai solusi, dialog menjadi penting dalam mengatasi perbedaan politik identitas. Dialog yang berlandaskan pada saling pengertian dan menghormati perbedaan dapat membuka jalan bagi pemahaman yang lebih baik antara berbagai kelompok identitas. Penting bagi setiap individu dan kelompok untuk menghargai keberagaman serta memahami bahwa kekuatan sejati bangsa Indonesia terletak pada kesatuan dalam keberagaman, bukan dalam perpecahan. Dengan demikian, politik identitas dapat menjadi sarana untuk memperkuat persatuan, bukan untuk memecah belah bangsa.
Bahaya Politik Identitas dalam Pemilu
Meski mulanya politik identitas bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kelompok terpinggirkan, politik identitas dalam pemilu dapat membawa risiko besar jika tidak dikelola dengan bijak. Berikut beberapa bahayapolitik identitas dalam pemilu yang perlu diwaspadai.
1. Diskriminasi dan Pemisahan
Politik identitas yang berlebihan dapat memperkuat perasaan diskriminasi dan pemisahan antarkelompok. Ini dapat menciptakan ketegangan antarberbagai kelompok di masyarakat dan memperparah perpecahan, mengancam keberagaman dan persatuan sosial.
2. Kebijakan yang Tidak Inklusif
Politik identitas yang terlalu memusatkan perhatian pada kepentingan tertentu dapat mengarah pada pembuatan kebijakan yang tidak inklusif dan tidak adil bagi kelompok lain. Hal ini dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan dan memperdalam kesenjangan sosial.
3. Eksploitasi Politik
Politik identitas seringkali dimanfaatkan oleh pemimpin politik untuk memperoleh dukungan politik dan kekuasaan. Mereka dapat memanipulasi perasaan identitas kelompok tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka, tanpa memperhatikan kepentingan umum.
4. Radikalisasi
Politik identitas yang ekstrem dapat memperkuat pandangan fanatik dan radikal tentang identitas kelompok. Ini dapat mengarah pada polarisasi yang lebih besar di masyarakat, meningkatkan risiko konflik, tindak kekerasan, dan kebijakan diskriminatif yang melanggar hak asasi manusia.
Dengan demikian, penting bagi masyarakat dan pemimpin politik untuk menyadari bahaya politik identitas dan berupaya untuk mengelola perbedaan dengan dialog yang terbuka, inklusif, dan menghargai. Kesadaran akan keberagaman dan pentingnya persatuan dalam keberagaman harus dijunjung tinggi untuk memastikan bahwa politik identitas tidak merusak keseimbangan sosial dan politik dalam masyarakat.
Advertisement