Liputan6.com, Jakarta Sifan Hassan, sosok pelari maraton asal Belanda menjadi pusat perhatian dunia dalam ajang Olimpiade Paris 2024. Bukan hanya karena prestasinya yang gemilang tetapi juga karena keberaniannya dalam menghadapi kontroversi.
Sifan Hassan memenangkan medali emas dalam kategori Marathon Putri, mengalahkan pesaing kuat dari Ethiopia dan Kenya. Namun, yang lebih menyita perhatian publik adalah keputusannya untuk mengenakan hijab saat upacara penutupan Olimpiade, sebuah tindakan yang seolah mendobrak kebijakan kontroversial Prancis yang melarang atlet Muslim mengenakan hijab saat bertanding.
Penampilannya ini menuai pujian dari berbagai kalangan dan menjadikannya simbol perlawanan terhadap kebijakan diskriminatif, memperkuat citranya sebagai atlet yang tak hanya hebat di lapangan, tetapi juga berani dalam menyuarakan identitasnya. Berikut ulasan lebih lanjut tentang sosok Sifan Hassan yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (12/8/2024).
Advertisement
Sosok Sifan Hassan
Sifan Hassan merupakan atlet Belanda kelahiran 1 Januari 1993. Hassan yang lahir di Adama, Ethiopia telah menjadi salah satu ikon dalam dunia atletik internasional. Hassan tiba di Belanda pada usia 15 tahun sebagai pengungsi dan memulai perjalanan l dalam dunia lari. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, ia telah menempatkan dirinya di antara pelari jarak menengah dan jauh terbaik sepanjang masa.
Perjalanan Hassan menuju puncak dimulai pada tahun 2013 ketika ia memenangkan gelar lintas negara U23 Eropa, hanya sebulan setelah resmi menjadi warga negara Belanda. Sejak saat itu, ia tidak pernah berhenti menorehkan prestasi di panggung internasional.
Pada tahun 2014, Sifan Hassan mulai mencuri perhatian dengan memenangkan emas di nomor 1500 meter dan perak di nomor 5000 meter pada Kejuaraan Eropa di Zurich. Kesuksesannya berlanjut di tahun-tahun berikutnya, termasuk mencetak rekor dunia dan Eropa di berbagai ajang, seperti Prefontaine Classic dan London Diamond League.
Hassan mengukuhkan namanya sebagai salah satu pelari terbaik dengan memenangkan medali emas di nomor 5000 meter putri di Olimpiade Tokyo 2020. Prestasi gemilangnya berlanjut di Olimpiade Paris 2024, di mana ia memenangkan medali emas di cabang maraton putri dengan waktu 2 jam, 22 menit, dan 55 detik.
Advertisement
Kenakan Hijab Saat Terima Medali
Sifan Hassan menerima pujian luas dari berbagai penjuru dunia saat ia meraih medali emas dalam upacara penutupan Olimpiade Paris 2024. Bukan hanya prestasi luar biasanya di arena lari yang menjadi sorotan, tetapi juga keberaniannya mengenakan hijab saat naik ke podium untuk menerima medali. Keputusan Hassan ini dianggap sangat berani mengingat kontroversi yang mengiringi edaran larangan dari Pemerintah Prancis yang melarang atlet mereka sendiri mengenakan simbol keagamaan seperti jilbab.
Pada upacara penutupan tersebut, maraton wanita mendapatkan kehormatan khusus dengan upacara penyerahan medali. Hassan mencatatkan rekor baru dengan menyelesaikan maraton dalam waktu 2 jam, 22 menit, dan 55 detik. Ia juga menjadi wanita pertama yang berhasil meraih medali emas di tiga nomor berbeda, yaitu 5.000 meter, 10.000 meter, dan maraton dalam dua Olimpiade berturut-turut.
Tindakan Hassan mengenakan hijab saat menerima medali ini dipandang oleh banyak orang sebagai pernyataan simbolis yang menentang kebijakan sekularisme Prancis, yang melarang atlet wanita dari negara tersebut mengenakan simbol keagamaan di acara-acara resmi. Walaupun Komite Olimpiade Internasional (IOC) menyatakan bahwa wanita bebas mengenakan hijab, aturan di Prancis berbeda karena atlet dianggap sebagai pegawai negeri yang harus mematuhi prinsip sekularisme negara.
Media sosial ramai dengan pujian untuk Hassan, yang dianggap sebagai simbol keberanian dan kebebasan berekspresi. Meskipun tidak dimaksudkan sebagai pernyataan politik, keputusan Hassan mengenakan hijab saat upacara penutupan jelas menarik perhatian global terhadap kebijakan kontroversial Prancis tersebut, dan menjadikan dirinya inspirasi bagi banyak wanita di seluruh dunia.
Aturan Kontroversial Olimpiade Paris Soal Hijab
Larangan hijab bagi atlet Prancis di Olimpiade Paris 2024 telah memicu kontroversi luas dan kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International. Larangan ini dianggap sebagai bentuk "kemunafikan diskriminatif" dari pemerintah Prancis dan menunjukkan "kelemahan" Komite Olimpiade Internasional (IOC) dalam menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang seharusnya dijunjung tinggi dalam acara olahraga internasional sebesar Olimpiade.
Pemerintah Prancis, melalui Menteri Olahraganya, Amélie Oudéa-Castéra, dengan tegas menyatakan bahwa atlet Prancis tidak diizinkan mengenakan hijab selama Olimpiade, mengacu pada prinsip sekularisme yang diterapkan secara ketat di negara tersebut. Larangan ini, yang diumumkan pada September 2023, bertujuan untuk menegakkan netralitas mutlak di bidang olahraga sebagai bagian dari pelayanan publik. Namun, keputusan ini segera memicu gelombang kemarahan, terutama di media sosial, di mana banyak yang menyerukan boikot terhadap Olimpiade Paris 2024.
Amnesty International dalam laporan terbarunya mengkritik keras larangan ini, dengan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional. Laporan tersebut menyoroti dampak negatif larangan hijab terhadap perempuan dan anak perempuan Muslim di Prancis, yang tidak hanya membatasi partisipasi mereka dalam olahraga, tetapi juga memperkuat diskriminasi dan intoleransi terhadap komunitas Muslim.
Meskipun menyatakan bahwa wanita bebas mengenakan hijab, pihak IOC menolak untuk meminta Prancis mencabut larangan tersebut. IOC, beralasan bahwa kebijakan ini berada di luar kewenangan Olimpiade. Namun, sikap IOC ini justru memperkuat kritik bahwa mereka gagal melindungi hak-hak dasar atlet dan tidak mematuhi Piagam Olimpiade, yang menegaskan bahwa olahraga adalah hak asasi manusia yang harus dapat diakses tanpa diskriminasi.
Prancis adalah satu-satunya negara yang menerapkan larangan hijab secara nasional dalam peraturan olahraga, dan hal ini semakin memperburuk reputasi negara tersebut di mata dunia. Amnesty International menegaskan bahwa larangan ini melanggar berbagai kewajiban internasional yang diemban oleh Prancis, termasuk konvensi tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan rasial. Dalam konteks ini, larangan hijab di Olimpiade Paris 2024 tidak hanya mencerminkan diskriminasi berbasis gender dan agama, tetapi juga mengungkapkan ketidakadilan sistemik yang mendasari akses terhadap olahraga di Prancis.
Advertisement