Produsen China Sindir Trump: Tas Mewah Seharga Rp 572 Juta Dijual Cuma Rp 23 Juta

Viral video mengenai sejumlah produsen di China mengungkapkan biaya produksi produk-produk yang dijual mahal di Amerika Serikat (AS). Mengejutkan, harga sebenarnya tak sampai 10 persen.

oleh Arthur Gideon Diperbarui 15 Apr 2025, 18:00 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2025, 18:00 WIB
Tas kulit
Ilustrasi tas kulit (iStockphoto)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Seiring memanasnya perang dagang antara AS dan China, produsen China membalas di media sosial dengan cara yang paling tidak terduga.

Beberapa pemasok China yang memproduksi barang untuk merek mewah global papan atas telah menggunakan platform media sosial seperti X dan TikTok untuk memamerkan keahlian mereka dan menawarkan penjualan langsung ke konsumen dengan harga yang jauh lebih murah dari harga eceran.

Desain mewah yang ditawarkan mulai dari Birkin, Louis Vuitton, hingga Chanel, Estee Lauder, dan Bobbi Brown.

Dikutip dari Business Standard, Selasa (15/6/2025), dalam video yang diunggah di media sosial memperlihatkan para pekerja pabrik tengah menjelaskan mengenai kulit premium, teknik jahitan tangan, dan jalur produksi yang digunakan untuk membuat produk mewah. Video tersebut telah ditonton jutaan kali di X.

Barang-barang yang diproduksi ini sering dijual dengan label harga lima digit dalam dolar Amerika Serikat (AS).

"Bayar USD 10, bukan USD 150": Pemasok China Banjiri Media Sosial

Beberapa produsen di China yang merupakan pemasok tas mewah memperlihatkan bahwa tas mewah Birkin yang dijual USD 34.000 atau kurang lebih Rp 572 juta (estimasi kurs Rp 16.850 per USD), ternyata biaya pembuatannya hanya sekitar USD 1.400 atau sekitar Rp 23 juta.

Mereka mengatakan, kenaikan harga yang besar itu semua karena pencitraan merek.

Saat ini mereka menjual tas yang sama dari sisi bahan hingga kualitas tetapi tentu saja tanpa logo, dengan harga sepersepuluh dari harga aslinya. Beberapa bahkan menawarkan pengiriman global gratis dan dalam beberapa kasus, bahkan menanggung bea masuk.

"Bahannya sama, tangannya sama, hanya saja tidak ada logo," kata seorang penjual.

"Merek-merek mewah mungkin menyebutnya pembajakan. Konsumen menyebutnya "puncak kapitalisme." komentar dalam unggahan tersebut.

"Jika saya bisa mendapatkan kualitas Bobbi Brown dengan harga toko obat, saya akan bertahan dari resesi ini dengan baik," cuit seorang pengguna.

Yang lain bercanda, "Saat ini, satu-satunya hal yang dijual merek-merek mewah adalah... keberanian."

"China benar-benar sedang naik daun... The tea is steaming hot," tulis seorang pengguna, membagikan ulang video pemasok China untuk Fila, Under Armour, dan Lululemon.

 

Picu Perdebatan

Pemasok dalam video tersebut mengungkapkan bahwa meskipun Lululemon mungkin mengenakan biaya hingga USD 100 atau Rp 1,6 juta untuk satu barang, barang yang sama sekarang bisa dibeli hanya dengan merogoh kocek USD 6 atau kurang dari Rp 200 ribu.

Pemasok lain menawarkan untuk menjual Birkenstock, yang dijual eceran di atas USD 150 seharga USD 10, termasuk bea masuk 145 persen.

Menentang Gagasan 'Made in China'

Video viral tersebut telah memicu perdebatan mengenai perbedaan harga dan kualitas barang buatan China. Beberapa klip bertujuan untuk menghilangkan anggapan bahwa manufaktur China berarti kualitas yang buruk, sebaliknya menyoroti proses produksi yang cermat dan perhatian terhadap detail.

Reaksi daring sangat cepat dan tajam. Beberapa pengguna berspekulasi bahwa penjualan langsung antar negara atau dari produsen langsung ke konsumen mungkin akan segera menjadi satu-satunya cara untuk membeli barang-barang tersebut jika tarif terus meningkat.

Reaksi lain mempertanyakan mengapa konsumen Amerika terus membayar ratusan dolar di toko eceran untuk barang-barang yang sekarang dijual dengan harga yang jauh lebih murah.

 

Industri Mewah, China, dan Tarif Trump

Langkah tersebut juga kemungkinan akan berdampak pada industri mewah yang telah tegang sejak pengumuman tarif Presiden AS Donald Trump. Merek-merek Eropa, yang membanggakan diri dengan label 'Buatan Italia' dan 'Buatan Prancis', sangat khawatir kehilangan basis pelanggan Amerika mereka.

Merek-merek seperti Hermes, Chanel, Louis Vuitton berkantor pusat di Prancis. Merek-merek ini mempertahankan eksklusivitas dan kualitas kerajinan dengan tetap memproduksi terutama di Prancis atau bagian lain Eropa, terutama untuk barang-barang kelas atas seperti tas tangan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya