Liputan6.com, Jakarta Diskusi tentang demokrasi di Indonesia kembali memanas dengan munculnya istilah "Partai Coklat." Istilah ini disoroti oleh beberapa politisi, mulai dari anggota DPR hingga pejabat partai besar, sebagai simbol penyimpangan demokrasi menjelang Pilkada 2024.
Istilah ini pertama kali mencuat dalam rapat Komisi I DPR RI yang membahas netralitas TNI dan penegakan hukum dalam proses demokrasi. Namun, istilah tersebut ternyata memiliki akar yang lebih dalam, merujuk pada dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok tertentu.
Advertisement
Baca Juga
Dengan berbagai pendapat yang mencuat, isu "Partai Coklat" ini tidak hanya menjadi wacana politik tetapi juga mencerminkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
Advertisement
Awal Kemunculan Istilah "Partai Coklat"
Istilah "Partai Coklat" pertama kali mencuat ketika Yoyok Riyo Sudibyo, anggota DPR RI Fraksi NasDem, mengungkapkan pandangannya dalam rapat bersama Menteri Pertahanan dan Panglima TNI.
Menurut Yoyok, netralitas TNI sangat baik, tetapi demokrasi Indonesia yang brutal membutuhkan tindakan tegas terhadap penyimpangan seperti politik uang dan kampanye hitam.
Ia menyebut "Partai Cokelat" sebagai fenomena baru yang terkait dengan Pilkada 2024. Istilah ini digunakan untuk mengkritik penyimpangan dalam proses demokrasi, yang dinilai mengarah pada pembentukan kekuasaan otoriter.
Advertisement
Pandangan Hasto Kristiyanto tentang Partai Coklat
Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menegaskan bahwa istilah "Partai Coklat" mengacu pada pendukung loyal Presiden Joko Widodo. Ia menuduh bahwa "Partai Cokelat" mencerminkan upaya Jokowi membangun "kerajaan politik" dengan menempatkan orang-orang terdekatnya di posisi strategis Pilkada.
Menurut Hasto, tindakan ini bertentangan dengan prinsip negara republik. Ia menyebut Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk memperkuat kekuatan politik keluarganya di berbagai wilayah.
Reaksi PDIP terhadap Keterlibatan Kepolisian
Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus, mengarahkan istilah "Partai Coklat" pada oknum kepolisian yang diduga terlibat dalam memenangkan calon tertentu di Pilkada. Ia mengkritik keras Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan.
Deddy juga menekankan bahwa keterlibatan institusi kepolisian dalam politik lokal adalah ancaman serius bagi demokrasi yang jujur dan adil. Namun, ia belum membeberkan temuan rinci terkait kasus-kasus tersebut.
Advertisement
Tanggapan Kepolisian terhadap Tuduhan
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyangkal tuduhan tersebut, menegaskan komitmennya untuk menjaga netralitas Polri di Pilkada. Ia memerintahkan bawahannya untuk tidak terlibat dalam politik praktis dan hanya fokus menjaga keamanan selama proses Pilkada.
Listyo juga menyebut bahwa pengawasan netralitas dilakukan oleh pihak internal dan eksternal untuk memastikan kredibilitas institusi Polri tetap terjaga.
Tanggapan Jokowi Terkait Partai Cokelat
Presiden Joko Widodo merespons tudingan yang menyebutkan adanya keterlibatan partai cokelat (parcok) dalam Pilkada 2024. Dalam keterangannya, Jokowi, yang mendukung sejumlah pasangan calon dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, menyebut bahwa proses dalam Pilkada sudah memiliki mekanisme yang jelas.
Joko Widodo mengungkapkan jika terdapat dugaan intervensi atau kecurangan, masyarakat dapat melaporkannya melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Advertisement
Tanggapan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman: Hoaks
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa isu adanya keterlibatan "partai cokelat" yang dikonotasikan dengan aparat kepolisian pada Pilkada 2024 merupakan kabar bohong atau hoaks.
"Apa yang disampaikan oleh segelintir orang terkait parcok (partai cokelat) dan lain sebagainya itu kami kategorikan sebagai hoaks," kata Habiburokhman saat konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Menurut dia, tudingan adanya keterlibatan partai cokelat pada Pilkada 2024 secara logika tidak masuk akal sebab kompetisi pilkada tak melulu antara dua kubu.
Habiburokhman juga mengingatkan pentingnya anggota DPR RI untuk berhati-hati dalam memberikan pernyataan, terutama terkait isu sensitif, agar didasarkan pada bukti yang kuat. Ia mengungkapkan bahwa pernyataan yang tak berdasar dapat menciptakan situasi tidak kondusif dan berimplikasi pada persoalan etik di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Dampak Istilah "Partai Cokelat" terhadap Demokrasi
Isu "Partai Cokelat" menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Istilah ini juga menjadi simbol kritik terhadap sistem demokrasi yang dinilai cacat, terutama dalam memilih pemimpin daerah.
Para pengamat politik menyarankan bahwa isu ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi semua pihak untuk memperbaiki sistem demokrasi di masa depan.
Advertisement
Apa itu Partai Cokelat dalam konteks Pilkada 2024?
Partai Cokelat merujuk pada dugaan kelompok atau oknum yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memenangkan calon tertentu di Pilkada.
Mengapa istilah ini menuai kontroversi?
Istilah ini menimbulkan perdebatan karena dianggap mencerminkan penyimpangan demokrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh institusi tertentu.
Advertisement
Siapa yang pertama kali menggunakan istilah ini?
Istilah ini pertama kali diangkat oleh Yoyok Riyo Sudibyo dalam rapat DPR RI dan diperkuat oleh pernyataan Hasto Kristiyanto dari PDIP.
Bagaimana reaksi pemerintah terhadap tuduhan ini?
Pihak kepolisian dan pemerintah menyangkal tuduhan tersebut dan berkomitmen untuk menjaga netralitas dalam Pilkada.
Advertisement