Musafir Adalah Apa? Panduan Lengkap Pengertian, Syarat, dan Ketentuan dalam Islam

Pengertian, syarat, jenis dan keringanan yang didapatkan oleh seorang musafir dalam ajaran Islam

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 08 Jan 2025, 08:30 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2025, 08:30 WIB
Ilustrasi Arab.
Ilustrasi Arab. Photo by Juli Kusilapova on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta Musafir adalah istilah yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks keagamaan Islam. Dalam pengertian dasarnya, musafir adalah seseorang yang melakukan perjalanan dengan jarak dan ketentuan tertentu yang telah diatur dalam syariat Islam. Pemahaman yang tepat tentang konsep ini sangat penting, mengingat terdapat berbagai keringanan ibadah yang diberikan kepada seorang musafir.

Dalam kajian fikih Islam, musafir adalah orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan tertentu dan memenuhi syarat-syarat khusus yang telah ditetapkan. Menurut para fuqaha (ahli fikih), status musafir tidak hanya ditentukan oleh aktivitas bepergian semata, tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek seperti jarak tempuh, tujuan perjalanan, dan durasi menetap di tempat tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap orang yang bepergian dapat dikategorikan sebagai musafir dalam konteks syariat.

Pemahaman yang mendalam tentang siapa yang disebut musafir menjadi semakin penting ketika dikaitkan dengan berbagai rukhshah (keringanan) dalam ibadah. Musafir adalah seseorang yang mendapatkan keistimewaan berupa kemudahan dalam menjalankan kewajiban agama, seperti kebolehan untuk mengqashar shalat atau berbuka puasa di bulan Ramadhan. Namun, keringanan ini tidak berlaku secara sembarangan dan memiliki ketentuan yang harus dipenuhi.

Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum pengertian, syarat, jenis dan keringanan yang didapatkan oleh seorang musafir dalam ajaran Islam, pada Rabu (8/1).

Pengertian Musafir dalam Islam

Ilustrasi - Kafilah pada masa Arab zaman Jahiliyah. (Foto: Tangkapan layar film The Message)
Ilustrasi - Kafilah pada masa Arab zaman Jahiliyah. (Foto: Tangkapan layar film The Message)

Secara etimologi, kata musafir berasal dari bahasa Arab "safara" atau "safar" yang berarti bepergian atau menempuh perjalanan. Dalam terminologi Islam, musafir memiliki definisi yang lebih spesifik dan terikat dengan berbagai ketentuan syariat. Para ulama telah merumuskan definisi yang komprehensif tentang siapa yang dapat dikategorikan sebagai musafir.

Allah SWT telah menyebutkan tentang safar (perjalanan) dalam Al-Quran, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah ayat 283:

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ

Artinya: "Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..."

Dalam pandangan syar'i, seseorang dapat disebut sebagai musafir ketika melakukan perjalanan dengan jarak minimal sekitar 80-85 kilometer. Ketentuan ini didasarkan pada interpretasi para ulama terhadap berbagai dalil dan disesuaikan dengan konteks masa kini. Namun, beberapa ulama juga mempertimbangkan 'urf (kebiasaan setempat) dalam menentukan status musafir.

 

Syarat dan Ketentuan Musafir

Dalam Islam, tidak semua orang yang bepergian dapat langsung dikategorikan sebagai musafir. Ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status musafir dan keringanan ibadah yang menyertainya. Syarat-syarat tersebut mencakup aspek tempat, tujuan, dan jarak perjalanan yang harus diperhatikan dengan seksama.

Pertama, seorang musafir harus keluar dari wathan atau tempat tinggalnya secara fisik. Ini berarti seseorang harus benar-benar telah meninggalkan batas wilayah tempat tinggalnya. Para ulama menjelaskan bahwa batas wilayah ini mengacu pada batas administratif tempat seseorang bermukim, seperti batas kelurahan atau kota.

Kedua, perjalanan yang dilakukan harus memiliki tujuan yang jelas dan spesifik. Islam tidak menganggap seseorang sebagai musafir jika hanya berkeliling tanpa tujuan yang pasti. Tujuan perjalanan ini juga harus sejalan dengan syariat, artinya bukan untuk maksiat atau hal-hal yang dilarang dalam agama.

Ketiga, jarak perjalanan harus memenuhi kriteria minimal yang telah ditetapkan. Mayoritas ulama menyepakati jarak minimal sekitar 80-85 kilometer, meski ada perbedaan pendapat dalam detailnya. Namun, sebagian ulama juga mempertimbangkan 'urf atau kebiasaan masyarakat setempat dalam menentukan status safar.

Jenis dan Tujuan Perjalanan Musafir

Ilustrasi Islami, Arab
Ilustrasi Islami, Arab. (Image by danmir12 on Freepik)

Islam mengklasifikasikan perjalanan musafir ke dalam beberapa kategori berdasarkan tujuannya. Pemahaman tentang kategori ini penting karena berkaitan dengan kebolehan mengambil rukhshah atau keringanan ibadah.

1. Safar Mubah (Perjalanan yang Dibolehkan)

Kategori ini mencakup perjalanan untuk tujuan yang diperbolehkan dalam Islam, seperti berdagang, bekerja, atau mencari nafkah. Perjalanan jenis ini mendapatkan keringanan ibadah selama memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.

2. Safar Mahmud (Perjalanan Terpuji)

Termasuk dalam kategori ini adalah perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji, umrah, menuntut ilmu, atau menziarahi ulama. Perjalanan jenis ini tidak hanya mendapatkan keringanan ibadah tetapi juga pahala karena tujuannya yang mulia.

3. Safar Madzmum (Perjalanan Tercela)

Ini mencakup perjalanan untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang dilarang dalam Islam. Menurut mayoritas ulama, perjalanan jenis ini tidak mendapatkan keringanan ibadah.

 

Rukhshah (Keringanan) bagi Musafir

Islam sebagai agama yang penuh rahmat memberikan berbagai keringanan ibadah bagi musafir. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 101:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

Artinya: "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meringkas shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir."

Berikut adalah beberapa keringanan yang diberikan kepada musafir:

1. Mengqashar Shalat

Musafir diperbolehkan meringkas shalat yang empat rakaat (Dzuhur, Ashar, dan Isya) menjadi dua rakaat. Keringanan ini berlaku selama perjalanan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.

2. Menjamak Shalat

Seorang musafir boleh menggabungkan dua waktu shalat, baik dengan cara jamak taqdim (menggabungkan di waktu awal) maupun jamak ta'khir (menggabungkan di waktu akhir). Shalat yang boleh dijamak adalah Dzuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya.

3. Kebolehan Berbuka Puasa

Pada bulan Ramadhan, musafir diberi keringanan untuk tidak berpuasa dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah RA yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW berbuka ketika safar sementara beliau memperbolehkan Aisyah untuk tetap berpuasa.

4. Shalat di atas Kendaraan

Musafir diperbolehkan melaksanakan shalat di atas kendaraan dengan beberapa ketentuan khusus:

  • Menghadap kiblat jika memungkinkan
  • Melakukan rukun shalat semampunya
  • Sujud lebih rendah dari rukuk
  • Tetap menjaga kesucian dan syarat shalat lainnya

Batasan Waktu dan Ketentuan Khusus

Status musafir memiliki batasan waktu tertentu. Jika seorang musafir berniat menetap di suatu tempat lebih dari empat hari, maka status musafirnya berakhir. Ini berdasarkan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa batas maksimal status musafir adalah empat hari.

Beberapa ketentuan penting yang perlu diperhatikan:

  • Status musafir mulai berlaku setelah keluar dari batas wilayah tempat tinggal
  • Perjalanan harus bertujuan baik dan tidak untuk maksiat
  • Keringanan berlaku selama dalam perjalanan dan belum berniat menetap
  • Jika rute perjalanan kurang dari jarak minimal (80-85 km), tidak termasuk kategori musafir

 

Hikmah dan Manfaat Rukhshah bagi Musafir

Islam memberikan keringanan bagi musafir sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Beberapa hikmah di balik pemberian rukhshah ini antara lain:

  1. Menghindari kesulitan dan masyaqqah (kesukaran) dalam beribadah
  2. Memudahkan umat Islam dalam menjalankan aktivitas perjalanan
  3. Menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang sesuai dengan kondisi dan situasi
  4. Memberikan kemudahan tanpa mengurangi nilai ibadah

Pemahaman yang tepat tentang konsep musafir dan ketentuannya sangat penting agar kita dapat menjalankan ibadah dengan benar sesuai syariat, sekaligus memanfaatkan keringanan yang diberikan dengan bijak dan bertanggung jawab.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya