Apa Hukumnya Jika Utang Puasa Belum Lunas? Berikut Pandangan dari Beberapa Mahzab

Ketahui hukum utang puasa Ramadhan menurut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali, termasuk kewajiban qadha dan fidyah, serta cara melunasinya jika menumpuk bertahun-tahun.

oleh Nurul Diva Diperbarui 26 Feb 2025, 10:48 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2025, 10:48 WIB
Bacaan Niat Puasa Senin Kamis
Ilustrasi Membaca Niat Puasa Senin Kamis Credit: shutterstock.com... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Bulan Ramadhan akan segera tiba, tetapi masih banyak umat Muslim yang belum menunaikan qadha (pengganti) puasa tahun lalu. Situasi ini kerap terjadi karena berbagai alasan, mulai dari sakit, perjalanan jauh, hingga kelalaian. Namun, tahukah Anda bahwa menunda qadha puasa memiliki konsekuensi tertentu dalam hukum Islam? Ini selalu jadi pertanyaan yang mengemuka di setiap masyarakat yang akan menjalankan ibadah puasa.

Para ulama dari empat mazhab utama yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali memiliki pandangan yang berbeda mengenai hukum utang puasa yang belum lunas hingga Ramadhan berikutnya tiba. Sebagian mazhab memperbolehkan qadha tanpa batas waktu, sementara lainnya mewajibkan fidyah sebagai bentuk tebusan. Namun sekiranya, umat Islam perlu memperhatikan hal ini agar pelaksanaan ibadah puasa mendatang dapat berjalan dengan maksimal dan tidak terhambat oleh tanggungan.

Lalu, bagaimana seharusnya umat Muslim menyikapi hal ini? Apa yang harus dilakukan jika utang puasa belum dilunasi hingga Ramadan berikutnya? Simak penjelasan berikut ini sebagai pedoman sehingga bisa dipahami dengan baik, dirangkum Liputan6, Rabu (26/2).

Pandangan Mazhab Terhadap Utang Puasa

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hanya qadha puasa yang wajib dilakukan, tanpa fidyah, meskipun Ramadhan berikutnya telah tiba. Mereka berpendapat tidak ada dalil hadis yang kuat untuk mewajibkan fidyah dalam kasus ini. Pandangan ini berbeda dengan mazhab lain, karena menurut Az-Zaila’i dalam kitab Tabiyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq dijelaskan bahwa kewajiban untuk mengqadha puasa yang tertunda tidak diiringi oleh kewajiban membayar fidyah, karena mengqadha puasa memiliki karakter tarakhi, yang berarti puasa yang tertunda tidak harus dilakukan secara langsung, namun dapat ditunda hingga waktu tertentu.

Berbeda dengan Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali memiliki pandangan yang lebih tegas. Ketiga mazhab ini sepakat bahwa jika seseorang mampu mengqadha puasa namun menundanya hingga Ramadhan berikutnya tanpa alasan syar'i (seperti sakit berkepanjangan), maka ia wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah. Besaran fidyah umumnya satu mud (sekitar 750 gram) makanan pokok per hari puasa yang ditinggalkan.

Mazhab Syafi'i menambahkan, jika penundaan berlangsung bertahun-tahun, fidyah dilipatgandakan sesuai jumlah tahun penundaan. Namun, perlu ditekankan bahwa jika ada uzur syar'i yang menghalangi (seperti sakit berkepanjangan), maka kewajiban qadha dan fidyah gugur. Ini menunjukkan fleksibilitas dalam hukum Islam dalam mempertimbangkan kondisi masing-masing individu.

 

Melunasi Utang Puasa yang Menumpuk

Bagi mereka yang memiliki utang puasa Ramadhan yang menumpuk selama bertahun-tahun, penting untuk segera melunasinya. Tidak ada batasan waktu khusus, namun semakin cepat dilunasi akan semakin baik. Prioritaskan qadha puasa terlebih dahulu, baru kemudian fidyah jika memang diwajibkan menurut mazhab yang dianut.

Dalam penjelasan oleh Syekh M Nawawi Banten disebutkan bahwa terdapat orang-orang yang boleh membatalkan puasanya atau tidak berpuasa, namun wajib mengqadha setelah bulan Ramadhan. Di antaranya adalah orang yang sedang sakit dan ibu yang sedang hamil atau menyusui. Jika qadha puasa Ramadhan tahun lalu belum selesai, sementara Ramadhan akan segera tiba maka orang yang menunda qadha puasanya karena kelalaian hingga Ramadhan  berikutnya tiba, mendapat beban tambahan. Mereka wajib membayar fidyah di samping mengqadha puasa yang pernah ditinggalkannya.

والثاني الإفطار مع تأخير قضاء) شىء من رمضان (مع إمكانه حتى يأتي رمضان آخر) لخبر من أدرك رمضان فأفطر لمرض ثم صح ولم يقضه حتى أدركه رمضان آخر صام الذي أدركه ثم يقضي ما عليه ثم يطعم عن كل يوم مسكينا رواه الدارقطني والبيهقي فخرج بالإمكان من استمر به السفر أو المرض حتى أتى رمضان آخر أو أخر لنسيان أو جهل بحرمة التأخير. وإن كان مخالطا للعلماء لخفاء ذلك لا بالفدية فلا يعذر لجهله بها نظير من علم حرمة التنحنح وجهل البطلان به. واعلم أن الفدية تتكر بتكرر السنين وتستقر في ذمة من لزمته.

"Kedua (yang wajib qadha dan fidyah) adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba. Hal itu berdasarkan hadits: “Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

 

 

Agar Puasa Tidak Bolong

Bagi sebagian orang yang tanpa sakit, hamil, datang bulan atau menyusui, batalnya puasa karena berbagai alasan seperti lemas, kelelahan, perjalanan jauh ataupun pekerjaan yang berat. Maka terdapat sejumlah tips agar puasa di bulan Ramadhan bisa berjalan dengan baik dan tanpa bolong, sehingga harus mengqadha setelah lebaran. Berikut adalah beberapa tipsnya:

1. Pastikan tidak melewati sahur

2. Memenuhi kebutuhan cairan tubuh

3. Tidak makan berlebihan

4. Membatasi makanan mengandung gula berlebih

5. Mencegah makanan dengan minyak berlebih

6. Tidur yang cukup

7. Tetap laksanakan olahraga sesuai porsi dan kondisi puasa

8. Konsumsi makanan sehat seperti buah, sayur dan protein.

 

People Also Ask: Pertanyaan Seputar Utang Puasa dan Jawabannya

1. Apa yang terjadi jika saya tidak mengqadha puasa hingga beberapa tahun?

Jika seseorang menunda qadha selama beberapa tahun berturut-turut tanpa udzur, maka menurut sebagian ulama, fidyah harus dibayarkan setiap tahun yang terlewat.

2. Bagaimana cara membayar fidyah bagi yang menunda qadha?

Fidyah dibayarkan dengan memberi makan orang miskin satu mud makanan per hari puasa yang ditinggalkan.

3. Apakah fidyah bisa digantikan dengan uang?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa fidyah harus diberikan dalam bentuk makanan, bukan uang, meskipun ada pendapat yang memperbolehkan konversi ke uang sesuai harga makanan.

4. Apakah ibu hamil atau menyusui harus membayar fidyah?

Jika ibu hamil atau menyusui tidak berpuasa karena kekhawatiran terhadap bayi atau dirinya, maka mazhab Syafi’i dan Hanbali mewajibkan qadha serta fidyah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya