Liputan6.com, Jakarta - Tidak semua orang melaksanakan puasa Ramadhan dengan paripurna. Di antara kita, ada yang utang puasa karena berbagai penyebab.
Lazimnya, seseorang lantas qadha puasa Ramadhan setahun ke depan, sebelum Ramadhan berikutnya tiba.
Advertisement
Namun, ada kalanya ada seseorang yang utang puasa hingga menumpuk bertahun-tahun. Lantas, bagaimana melunasi atau mengqadhanya?
Advertisement
Baca Juga
Ulasan Buya Yahya mengenai cara qadha puasa yang terutang selama bertahun-tahun menjadi artikel terpopuler di kanal Islami Liputan6.com, Sabtu (22/2/2025).
Artikel kedua yang juga populer yaitu hukum ziarah kubur menjelang Ramadhan, seperti yang telah menjadi tradisi di Indonesia, ulasan Ustadz Adi Hidayat (UAH) dan Ustadz Abdul Somad (UAS).
Sementara, artikel ketiga terpopuler yaitu hukum suami minum ASI istri saat berhubungan intim.
Selengkapnya, mari simak Top 3 Islami.
Simak Video Pilihan Ini:
1. Utang Puasa Ramadhan Menumpuk Bertahun-tahun, Begini Cara Melunasinya Menurut Buya Yahya
Puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Selama satu bulan penuh, umat Islam diwajibkan menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Namun, tidak semua orang mampu menjalankan puasa Ramadhan secara penuh karena berbagai alasan yang dibenarkan oleh syariat.
Di antara mereka yang diperbolehkan tidak berpuasa adalah wanita yang sedang haid atau nifas, orang yang sedang sakit, lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, serta musafir yang melakukan perjalanan jauh. Bagi mereka yang meninggalkan puasa Ramadhan, diwajibkan untuk menggantinya di luar bulan tersebut sebelum Ramadhan berikutnya tiba.
Kewajiban mengganti puasa ini tidak boleh dianggap remeh. Jika seseorang menunda penggantian puasanya hingga melewati Ramadhan berikutnya tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia tidak hanya wajib meng-qadha puasa tersebut, tetapi juga membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin per hari puasa yang ditinggalkan.
Lalu bagaimana jika utang puasa seseorang menumpuk selama bertahun-tahun hingga ia tidak lagi mengingat jumlah pastinya? Pertanyaan semacam ini pernah diajukan kepada Buya Yahya dalam sebuah forum tanya jawab.
Dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @albahjahtv, Buya Yahya memberikan penjelasan yang mendalam mengenai cara menyelesaikan utang puasa yang sudah tidak terhitung jumlahnya.
Menurut Buya Yahya, mereka yang bertanya tentang hal ini adalah orang-orang yang memiliki niat baik untuk memperbaiki diri. Kesadaran mereka untuk mengganti puasa yang telah ditinggalkan menunjukkan keinginan untuk kembali ke jalan yang benar. Oleh sebab itu, sikap umat Muslim seharusnya menyambut mereka dengan penuh semangat dan dukungan.
“Orang-orang seperti ini istimewa. Mereka berasal dari lingkungan yang mungkin tidak baik, tetapi kini ingin berubah menjadi lebih baik. Sementara kita yang sejak awal berada di lingkungan baik, tentu tidak mengalami tantangan seperti mereka,” ujar Buya Yahya dalam video tersebut.
Advertisement
2. Hukum Ziarah Kubur yang jadi Tradisi Jelang Ramadhan, Simak Penjelasan UAH dan UAS
Ulama kharismatik Ustadz Adi Hidayat atau UAH mengatakan, ziarah secara bahasa dimaknai kunjungan. Ziarah bukan hanya mengunjungi kepada orang yang wafat, tapi juga bisa diartikan mengunjungi orang yang masih hidup. Lantas, bolehkah mengunjungi orang yang wafat alias ziarah kubur?
“Boleh. Apa yang dikunjunginya? Kuburannya. Makanya ada istilah ziarah kubur, mengunjungi orang yang wafat dalam kuburnya. Apa yang dilakukan? Mendoakan mereka,” kata UAH dikutip dari YouTube Zhafran Channel, Jumat (21/2/2025).
UAH menyebutkan satu hadis tentang ziarah kubur. Ia menyampaikan bahwa Rasulullah SAW pernah melarang umatnya ziarah kubur di awal-awal kemunculan Islam, kemudian mencabut larangan tersebut dan dianjurkan melakukan ziarah ke makam.
Mengapa ziarah kubur sempat dilarang di zaman Nabi Muhammad SAW? UAH mengungkapkan bahwa kebiasaan orang jahiliyah ketika ada yang meninggal dunia adalah meratap terlalu berlebihan. Di sisi lain, iman orang yang mengikuti Rasulullah SAW masih lemah karena belum ada penguatan ketauhidan.
“Di awal-awal iman masih lemah, karena belum ada penguatan tauhid yang kuat. Muncul kebiasaan itu (meratapi berlebihan ketika ada yang meninggal), maka ziarah kubur dilarang oleh Nabi SAW untuk sementara waktu,” jelas UAH.
“Kenapa dilarang? Bukan gak boleh ziarah. Larangannya karena dikhawatirkan ketika ada orang meninggal tradisi tadi lebih kuat daripada awal-awal keislaman muncul seperti itu, sehingga iman yang seharusnya muncul itu terbatasi oleh nilai-nilai tradisi yang tadi,” tambahnya.
3. Suami Minum ASI saat Berhubungan, Apakah Otomatis jadi Anak Susuannya? Begini Kata Buya Yahya
Fenomena suami yang meminum ASI istri saat hubungan intim kerap menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam. Ada yang melakukannya dengan sengaja, ada pula yang tidak sadar saat menikmati kebersamaan dengan pasangan. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah tindakan tersebut menjadikan suami sebagai anak susuan dari istrinya?
Buya Yahya, pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, memberikan penjelasan mengenai hukum hal ini dalam Islam. Dalam salah satu ceramahnya, ia menyoroti bagaimana agama memandang kejadian ini, terutama dalam konteks hubungan suami istri yang sah.
Menurut Buya Yahya, hubungan suami istri adalah bagian dari ikatan suci yang dianjurkan dalam Islam. Di dalamnya, terdapat banyak hal yang bisa terjadi, termasuk suami yang tanpa sengaja atau sengaja mengisap ASI istri. Hal ini sering kali terjadi sebagai bentuk kedekatan dan kasih sayang antara pasangan.
"Tidak masalah jika suami meminum ASI istrinya, karena dalam Islam, ASI itu halal bagi suaminya," ujar Buya Yahya dalam ceramah yang dikutip dan dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @MurottalMakkah.
Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan bahwa yang menentukan seseorang menjadi anak susuan adalah terpenuhinya syarat penyusuan dalam Islam. Salah satu syaratnya adalah bayi harus menyusu dari seorang wanita dalam jumlah tertentu sebelum usia dua tahun.
"Dalam Islam, penyusuan yang menjadikan seorang anak sebagai mahram adalah jika dilakukan sebelum anak berusia dua tahun dan dilakukan sebanyak lima kali penyusuan yang sempurna," terang Buya Yahya.
Advertisement
