Kenapa Orang Indonesia Memiliki Nama dengan 1 Suku Kata, tanpa Nama Depan dan Belakang?

Mengapa banyak orang Indonesia hanya punya satu nama? Ini alasan budaya dan dampaknya di era global.

oleh Rizka Nur Laily Muallifa Diperbarui 11 Apr 2025, 09:42 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 09:42 WIB
Orang Indonesia dari berbagai suku (Foto: Pinterest/Ryo Adhytya)
Orang Indonesia dari berbagai suku (Foto: Pinterest/Ryo Adhytya)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Pada era globalisasi, nama bukan sekadar identitas, melainkan pintu masuk dalam sistem administrasi internasional. Banyak negara, termasuk Uni Emirat Arab, telah mulai menuntut struktur nama yang lengkap: nama depan dan nama belakang. Ini menjadi tantangan besar bagi sebagian orang Indonesia yang hanya memiliki satu kata sebagai nama.

Nama satu kata bukanlah hal yang aneh di Indonesia, bahkan sangat lazim di kalangan masyarakat Jawa dan suku-suku lain yang tidak mengenal sistem marga. Namun, fenomena ini ternyata menyimpan sejarah panjang, dari faktor budaya hingga tekanan politik yang memengaruhi cara orang Indonesia menyusun identitasnya. Dalam konteks global saat ini, warisan nama satu kata mulai berbenturan dengan kebijakan imigrasi di berbagai negara.

Budaya Indonesia Tidak Mengenal Marga

Pada dasarnya, banyak suku di Indonesia memang tidak memiliki sistem marga seperti yang umum ditemukan di negara-negara Barat atau Asia Timur. Dalam tradisi Jawa, misalnya, seseorang cukup memiliki satu nama saja tanpa perlu ada nama keluarga atau marga. Ini mencerminkan kesederhanaan sekaligus filosofi bahwa nama adalah doa, bukan struktur silsilah.

Tradisi ini bertahan selama berabad-abad, bahkan sampai ke masa modern. Contoh paling terkenal adalah Presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang hanya memiliki satu nama. Demikian pula dengan tokoh-tokoh besar lainnya seperti Suharto dan Megawati. Hal ini menjadi cerminan kuat dari identitas budaya yang tidak terikat pada sistem penamaan Barat.

Nama satu kata juga tidak berarti miskin makna. Justru, nama-nama ini sering kali dipilih dengan hati-hati dan menyimpan filosofi mendalam. Namun sayangnya, sistem globalisasi kini menuntut nama yang terstruktur dan lebih birokratis.

Kebijakan Politik Memengaruhi Identitas Nama

Faktor politik juga memainkan peran besar dalam membentuk cara masyarakat Indonesia menyusun nama. Pada masa Orde Baru, misalnya, kebijakan asimilasi yang diberlakukan terhadap keturunan Tionghoa memaksa banyak dari mereka menghapus atau mengganti nama marga asli mereka. Hal ini dilakukan demi menyembunyikan identitas etnis dan menghindari diskriminasi.

Contohnya bisa dilihat pada nama seperti "Nicholas Wong Susanto", di mana “Wong” merujuk pada nama keluarga Tionghoa dan “Susanto” adalah nama yang diindonesiakan. “Nama ‘Wong’ dipertahankan untuk mengisyaratkan asal etnis Nicholas tetapi telah kehilangan fungsi aslinya sebagai nama belakang,” ungkap Rosemary Bai dari Chinese University of Hong Kong, Shenzhen.

Setelah reformasi dan masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, pelonggaran terhadap ekspresi budaya Tionghoa memungkinkan beberapa keluarga mengembalikan nama marganya. Namun tetap saja, struktur nama Indonesia secara umum masih belum berubah secara sistemik.

Tradisi Global Membentuk Ekspektasi Nama

Ilustrasi banyak anak
Ilustrasi seorang lelaki memiliki 24 anak yang membuat ia lupa terhadap nama anaknya sendiri (dok.unsplash)... Selengkapnya

Berbeda dengan Indonesia, banyak budaya di dunia—khususnya di Eropa dan Asia Timur—memiliki sistem penamaan yang mencerminkan struktur keluarga atau status sosial. Di Eropa, nama belakang muncul sebagai simbol klan, pekerjaan, atau asal geografis. Di Asia Timur seperti Tiongkok, Korea, dan Jepang, marga diwariskan turun-temurun dan memegang peran penting dalam struktur sosial.

Nama belakang seperti "Ivanov" atau "Erikson" berasal dari patronimik, yaitu nama berdasarkan ayah. Bahkan, dalam masyarakat Skandinavia atau Rusia, nama keluarga bisa berubah tergantung pada jenis kelamin anak. Tradisi ini berbeda dengan Indonesia yang hanya sedikit suku yang menganut sistem marga, seperti Batak atau Minangkabau.

Uniknya, Minangkabau justru masih mempertahankan sistem matrilineal, di mana marga diwariskan dari pihak ibu. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman sistem penamaan yang unik, tapi juga membingungkan bagi sistem global yang mengharuskan format nama tertentu.

Nama Satu Kata Jadi Penghalang Akses Global

Pada November 2022, Uni Emirat Arab resmi mengeluarkan kebijakan yang melarang masuknya orang yang hanya memiliki satu nama dalam paspor, jika menggunakan visa turis, kunjungan, atau jenis visa lainnya. Aturan ini tidak berlaku jika orang tersebut memiliki visa kerja atau izin tinggal.

Ini menjadi masalah nyata bagi banyak warga negara Indonesia yang terbiasa dengan nama satu kata. Dalam sistem imigrasi modern, nama lengkap yang terdiri dari nama depan dan belakang dianggap penting untuk keperluan identifikasi, pengarsipan, dan keamanan.

Kasus ini menunjukkan bagaimana budaya lokal bisa berbenturan dengan standar administratif internasional. Banyak WNI akhirnya harus menambahkan nama baru secara administratif demi memenuhi persyaratan ini, meskipun tidak sesuai dengan tradisi atau keyakinan personal mereka.

Akankah Sistem Nama di Indonesia Berubah?

Melihat perkembangan global dan tekanan dari sistem internasional, pertanyaan yang muncul adalah: akankah masyarakat Indonesia perlahan-lahan mengadopsi sistem nama yang lebih sesuai dengan standar global? Kemungkinan itu ada, terutama di kalangan urban dan generasi muda yang sering bepergian ke luar negeri atau bekerja di lingkungan multinasional.

Namun, perubahan ini tentu bukan tanpa resistensi. Nama adalah bagian dari identitas dan budaya yang tidak mudah diganti begitu saja. Perlu pendekatan yang bijak dan inklusif agar perubahan tidak menimbulkan alienasi budaya. Selain itu, pemerintah juga bisa mengambil langkah dengan memberikan edukasi dan opsi administratif bagi mereka yang ingin menyesuaikan struktur nama tanpa kehilangan akar budaya.

Meski belum ada kebijakan nasional yang mewajibkan penambahan nama belakang, banyak orang tua kini mulai menamai anaknya dengan dua atau tiga kata agar tidak mengalami kesulitan di masa depan. Mungkin, inilah awal dari transformasi sistem nama di Indonesia.

Pertanyaan Seputar Topik 

Kenapa orang Indonesia banyak yang hanya punya satu nama?

Karena banyak suku di Indonesia, seperti Jawa, tidak memiliki tradisi marga atau nama keluarga. Mereka menggunakan satu nama yang sudah mencerminkan identitas pribadi.

Apa dampak dari memiliki nama satu kata?

Dalam sistem global, nama satu kata bisa menimbulkan masalah administratif, misalnya dalam pengisian formulir visa atau dokumen resmi yang mengharuskan nama depan dan belakang.

Bagaimana cara mengatasi nama satu kata di paspor?

Sebagian orang menambahkan nama belakang secara administratif, atau mengulangi nama satu kata tersebut sebagai nama depan dan belakang untuk memenuhi persyaratan teknis.

Suku mana saja di Indonesia yang menggunakan marga?

Suku Batak, Minangkabau, dan beberapa suku di Maluku serta Papua dikenal memiliki sistem marga yang diwariskan turun-temurun.

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya