Awal Mula Anjuran Berbuka Puasa dengan Yang Manis

Makanan manis kerap jadi pilihan menu berbuka di masyarakat.

diperbarui 03 Jun 2018, 17:45 WIB
Diterbitkan 03 Jun 2018, 17:45 WIB
[Bintang] Begini Cara Mengatasi Lemas ketika Puasa
Kamu suka merasa lemas ketika puasa? Jangan langsung buka puasa, simak beberapa tipsnya biar kamu nggak lemas lagi saat puasa. (Ilustrasi: iStockphoto)

Jakarta Menjelang dan saat Ramadan, kita mungkin sering mendengar kalimat 'Berbuka dengan yang manis'. Kalimat tersebut bahkan dijadikan jingle sejumlah iklan di televisi.

Selain itu, banyak juga masyarakat di sekitar kita menganjurkan hal yang sama. Berbuka lebih afdlal dengan makanan atau minuman manis.

Tetapi, apakah anjuran ini sesuai ajaran Islam? Bukankah Nabi Muhammad mencontohkan berbuka dengan kurma?

Dikutip dari laman Rumah Fiqih Indonesia, sebenarnya hadis tentang berbuka puasamenyebutkan makanan yang dikonsumsi ketika berbuka adalah ruthab, yaitu kurma segar yang baru dipetik, belum mengering akibat dijemur.

Jika tidak ada, Rasulullah Muhammad SAW biasa berbuka dengan kurma. Jika tidak ada juga, maka dengan air, seperti diterangkan dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud.

Dari Anas bin Malik ia berkata, " Rasulullah berbuka dengan ruthab sebelum sholat, jika tidak terdapat ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr, jika tidak ada beliau meneguk air."

Hadis di atas menyebutkan dua istilah, ruthab dan tamr yang keduanya berarti kurma. Bedanya, ruthab adalah kurma segar dan tamr itu kurma biasa.

Sementara hadis mengenai anjuran berbuka dengan yang manis sebenarnya tidak ditemukan. Sehingga, anjuran tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

Namun demikian, bukan berarti anjuran tersebut tidak ada dasarnya. Beberapa ulama ada yang menganjurkan berbuka dengan makanan manis.

Mereka menafsirkan perintah berbuka dengan ruthab atau kurma bertujuan untuk memulihkan penglihatan menurun akibat puasa. Jika dua jenis kurma ini tidak ada, bisa diganti dengan makanan manis.

Ulama yang berpendapat demikian seperti Al Hattab Ar Ru'aini. Ulama Mazhab Maliki ini menuliskan pendapatnya dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil.

" Syeikh Zarruq berkata dalam syarahnya: Di antara sunah-sunah puasa adalah menyeragakan berbuka, sebagai bentuk kasih sayang kepada orang yang lemah, menyayangi diri dan menjadi pembeda dengan orang yahudi. Dan dengan memakan kurma atau apa yang semakna dari yang manis-manis, agar mengembalikan penglihatan yang berkurang lantaran puasa."

Juga ada Al Qadhi Ar Ruyani yang punya pendapat serupa. Pendapat tersebut dikutip Imam An Nawawi dalam kitabnya Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab.

" Ar Ruyani berkata, 'Berbuka itu dengan kurma, bila tidak ada maka dengan halawah (manis-manis), bila tidak ada maka dengan air'. Al Qadhi Husein berkata yang lebih utama di zaman kami berbuka dengan apa yang didapatnya dengan kedua tangannya dari sungai, biar jauh dari syubhat. Namun apa yang disebutkan oleh kedua ulama ini syadz. Yang benar adalah apa yang sudah disebutkan di dalam hadis."

Meski begitu, Imam An Nawawi menyebut pendapat yang dia kutip adalah syadz atau pendapat yang tidak bisa diterima. Sebab hadis Rasulullah SAW sudah menyebutkan secara tegas yaitu ruthab atau tamr.

Kata halawah memang jika terjemahkan merupakan makanan yang rasanya manis. Meski demikian, tidak semua makanan manis bisa disebut halawah.

Sehingga, anjuran berbuka yang manis merupakan pendapat ulama yang nyatanya masih diperdebatkan. Kita boleh mengikutinya, boleh juga tidak.

Sumber: Dream.co.id

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya