Liputan6.com, Washington DC - Pada Ramadan tahun ini, masyarakat muslim di Amerika Serikat melaksanakan ibadah puasa di tengah-tengah musim semi. Durasi berpuasa rata-rata mendekati 16 jam setiap harinya. Sejumlah persiapan pun dilakukan, baik fisik maupun mental.
Jam puasa yang panjang di Amerika Serikat menjadi tantangan tersendiri bagi sejumlah muslim asal Indonesia, khususnya mereka yang baru pertama kali menjalani Ramadan di Negeri Paman Sam. Mengingat, itu artinya ibadah salat tarawih juga akan berlangsung lebih malam dari pada di Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Hasna Fadhilah merasakan salat tarawih agak larut, sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia pada Senin (20/5/2019). Hal itu karena waktu magrib saja sekitar pukul 8 malam di Washington DC. Dosen IPDN Jatinagor yang sedang menjalani fellowship dengan Religious Freedom Institute itu merasa takut untuk menjalankan salat tarawih, karena berakhir pukul 10-11 malam.
"Dengan kondisi ini, kadang saya khawatir untuk pergi, namun kemudian di hari ke-dua tarawih, dari komunitas masjid banyak yang menawarkan tumpangan ke rumah," kata Hasna Fadhilah.
Sementara itu, Irwan Saputra tidak pernah khawatir akan waktu puasa Ramadan yang bisa mencapai 16 jam. Mahasiswa yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden di Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias DC) itu melaksanakan salat tarawih malam pertama Ramadan di IMAAM Center, Maryland.
"Namun karena lokasi yang sangat jauh, malam selanjutnya saya salat di apartemen dengan kawan yang juga muslim, dari Afghanistan. Saya selalu jadi imam di salat kami," kata Iwan.
Menikmati Berpuasa yang Panjang
Maryam Nisywa sangat menikmati bepuasa 16 jam di Washington D.C., Amerika Serikat. Ia tetap menahan lapar dan nafsu sepanjang hari.
Mahasiswa George Washington University itu, bersyukur dengan cuaca musim semi yang sejuk dan beruntung dapat melaksanakan tarawih bersama keluarga yang sedang menetap di Amerika.
"Semenjak hari pertama tarawih, kami mengundang beberapa kerabat dekat untuk melaksanakan shalat tarawih di rumah kami," kata Maryam Nisywa.
Hal yang sama juga dialami oleh Rizki Harahap yang pernah tinggal di Jakarta dan Medan, kini bermukim di Durham, North Carolina. Beberapa masjid di kota tempat Rizki kuliah menyelenggarakan tarawih berjamaah.
"Menariknya, Duke University Centre of Muslim Life (CML) juga menyelenggarakan buka bersama, sholat tarawih berjamaah, dan pengajian selama Ramadan," jelas Rizki.
Advertisement
Perpaduan NU dan Muhammadiyah
Sementara itu Mauliya asal Yogyakarta menangis terharu untuk pertama kali bisa menjalankan Ramadan dan salat tarawih pertamanya di Islamic Center of San Diego.
Mauliya mengungkapkan salat tarawih di tempat itu tampak seperti perpaduan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dan ia tidak merasa canggung untuk menyesuaikannya.
"Sholat tarawih dilakukan sebanyak delapan rakaat, sama seperti orang Muhammadiyah, dan ketika sholat witir mereka menggunakan bacaan doa qunut, sama seperti orang NU di Indonesia," kata Mauliyah.