Idul Fitri Pertama bagi Pengungsi Afghanistan di San Diego AS

Sebagian dari hampir 40% pengungsi Afghanistan yang masih belum menetap secara permanen di Amerika Serikat melaksanakan salat Id di San Diego, California.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Mei 2022, 07:22 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2022, 07:22 WIB
Ekspresi Pengungsi Afghanistan Saat Tiba di Spanyol
Ilustrasi pengungsi Afghanistan (AP Photo/Marcos Moreno)

Liputan6.com, San Diego - Sebagian dari hampir 40% pengungsi Afghanistan yang masih belum menetap secara permanen di Amerika Serikat melaksanakan salat Id di San Diego, California. Para pengungsi itu sampai sekarang masih tinggal di hotel-hotel. Badan amal yang dikelola Hajar Rochdi-Krim, Kind Hearts San Diego, pada akhir Ramadan mengumpulkan uang untuk membeli hadiah bagi anak-anak pengungsi yang akan merayakan Idulfitri.

“Ini Idulfitri pertama mereka. Ini Ramadan. Sebagai Muslim, kami hanya mempunyai dua perayaan per tahun. Yang pertama adalah Idulfitri, dan ini Idulfitri pertama mereka di Amerika. Kami hanya mencoba menghadirkan sedikit kebahagiaan ke hati mereka dan meringankan sedikit beban keuangan keluarga mereka karena banyak dari mereka sekarang ini tidak bekerja," kata Hajar Rochdi-Krim.

Pengungsi Abu Baker Samoon secara sukarela membantu mendistribusikan mainan dan kartu hadiah kepada lebih dari 200 keluarga yang membutuhkan. Ia bersyukur karena kerabatnya di San Diego membantu menyewa apartemen untuk keluarganya. Dia mengatakan pekerjaannya sebagai akuntan untuk pejabat-pejabat Amerika di Afghanistan menempatkan keluarganya dalam bahaya ketika Taliban mengambilalih Afghanistan.

“Tantangan terbesar jelas meninggalkan semua kehidupan yang telah kami bangun selama bertahun-tahun di Afghanistan, termasuk, seperti yang saya sebutkan, bisnis, pengalaman kerja, jaringan yang kami miliki di sana, tentu saja, rumah, semua yang kami miliki dalam rumah. Tak mudah meninggalkan itu semua," kata Abu Baker Samoon.

Samoon bekerja pada malam hari sebagai konsultan jarak jauh untuk bisnis asing yang masih beroperasi di Afghanistan. Ia sedang mencari dua pekerjaan lagi untuk membantu membayar biaya prasekolah dan tagihan medis.

“Saya orang yang selalu ambisius. Saya selalu percaya bahwa ada ruang untuk perbaikan. Apapun yang kita lakukan, kita bisa melakukannya lebih dari itu, lebih baik dari itu. Saya berencana mendirikan kantor akuntan sendiri suatu hari nanti. Plus, kalau ada peluang usaha lain yang saya bisa, saya akan ambil," katanya.

 

Salat di Taman Kota

ilustrasi ketupat lebaran/pexels
ilustrasi ketupat lebaran/pexels

Pada Idulfitri pertama bagi pengungsi Afghanistan di San Diego, imam masjid Darululoom, Shakib Nawabi menggelar salat di taman kota untuk menampung semua pendatang baru.

“Saya pergi dan berbicara dengan mereka. Saya mengajak mereka bersabar. Saya katakan bahwa di negara ini kita benar-benar bisa mencapai banyak hal dengan bersabar. Pada saat yang sama, saya dorong mereka mencapai tujuan apa saja di sini sehingga mereka dapat memperoleh manfaat di negara ini," paparnya.

Dengan lebih dari 200.000 Muslim di San Diego County, Nawabi mengatakan, sangat penting untuk membantu para pengungsi merasa diterima pada hari Idulfitri.

 

Pengalaman Pertama Tarawih di Amerika Serikat

Ilustrasi
Ilustrasi

Pada Ramadan tahun ini, masyarakat muslim di Amerika Serikat melaksanakan ibadah puasa di tengah-tengah musim semi. Durasi berpuasa rata-rata mendekati 16 jam setiap harinya. Sejumlah persiapan pun dilakukan, baik fisik maupun mental.

Jam puasa yang panjang di Amerika Serikat menjadi tantangan tersendiri bagi sejumlah muslim asal Indonesia, khususnya mereka yang baru pertama kali menjalani Ramadan di Negeri Paman Sam. Mengingat, itu artinya ibadah salat tarawih juga akan berlangsung lebih malam dari pada di Indonesia.

Hasna Fadhilah merasakan salat tarawih agak larut, sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia pada Senin (20/5/2019). Hal itu karena waktu magrib saja sekitar pukul 8 malam di Washington DC. Dosen IPDN Jatinagor yang sedang menjalani fellowship dengan Religious Freedom Institute itu merasa takut untuk menjalankan salat tarawih, karena berakhir pukul 10-11 malam.

"Dengan kondisi ini, kadang saya khawatir untuk pergi, namun kemudian di hari ke-dua tarawih, dari komunitas masjid banyak yang menawarkan tumpangan ke rumah," kata Hasna Fadhilah.

Sementara itu, Irwan Saputra tidak pernah khawatir akan waktu puasa Ramadan yang bisa mencapai 16 jam. Mahasiswa yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden di Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias DC) itu melaksanakan salat tarawih malam pertama Ramadan di IMAAM Center, Maryland.

"Namun karena lokasi yang sangat jauh, malam selanjutnya saya salat di apartemen dengan kawan yang juga muslim, dari Afghanistan. Saya selalu jadi imam di salat kami," kata Iwan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya