Liputan6.com, Purwokerto - Beduk menjadi salah satu ciri khas masjid dan musala di Indonesia. Keberadaannya menjadi bukti otentik pembauran agama dan budaya di sebuah masyarakat.
Konon, tradisi beduk sendiri bukan berasal dari Indonesia. Beduk dibawa ke Indonesia dari Tiongkok dan India.
Kegunaan beduk adalah untuk menjadi penanda waktu salat. Zaman dulu, belum ada jam digital dan pengeras suara untuk menandakan waktu salat telah tiba.
Advertisement
Karena riwayat beduk tidak sampai ke zaman Nabi, maka ada sebagian orang yang menganggap beduk bid'ah yang tak boleh dilakukan. Lebih ekstrem lagi ada yang menganggapnya haram karena tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW.
Baca Juga
Beberapa tokoh agama diseret untuk mengamini pendapat mereka. Salah satunya adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari. Beliau disebut mengharamkan beduk. Benarkah?
Dalam Risalah Al Jasus fi Bayani Hukmi An Naqus karya Syekh Hasyim Asy’ari, pada halaman 13-14 disebutkan sebagai berikut:
فِي حُكْمِ ضَرْبِ الطَّبْلِ الْكَبِيْرِ الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ مُسْلِمُوْ اَرْضِ جَاوَاهْ فِي مَسَاجِدِهِمْ لِلاِعْلَامِ بِدُخُوْلِ الْوَقْتِ وَالدَّعْوَةِ اِلَى الْجَمَاعَةِ وَهِيَ خَشَبَةٌ كَبِيْرَةٌ طَوِيْلَةٌ جِدًّا يُنْحَتُ جَوْفُهَا نَحْتًا وَاسِعًا وَيُجْعَلُ عَلَى وَجْهَيْهَا جِلْدُ نَحْوِ جَامُوْسٍ وَيُسَمَّرُ عَلَيْهَا بِمَسَامِرَ كَبِيْرَةٍ مِنْ خَشَبٍ تُضْرَبُ بِخَشَبَةٍ صَغِيْرَةٍ فَيَخْرُجُ مِنْهَا صَوْتٌ دَوِيٌّ .... قُلْتُ ضَرْبُ الطَّبْلِ الْمَذْكُوْرِ لِلْغَرَضِ الْمَذْكُوْرِ مُبَاحٌ نَطَقَتْ بِذَلِكَ النُّقُوْلُ الْمَذْكُوْرَةُ بَلْ هُوَ دَاخِلٌ فِي اْلبِدْعَةِ الْمَحْمُوْدَةِ (الرسالة المسماة بالجاسوس في بيان حكم الناقوس 13- 14 للشيخ هاشم اشعري مؤسس جمعية نهضة العلماء)
Hukum tentang Beduk yang digunakan umat Islam Jawa di masjid-masjid mereka, untuk memberi tahu masuknya waktu salat dan mengajak berjamaah. Beduk adalah kayu berukuran besar yang sangat panjang, yang di dalamnya diberi lubang yang luas yang kedua tepinya ditutupi semisal kulit kerbau, dipaku dengan beberapa paku bersa yang terbuat dari kayu, kemudian ditabuh dengan kayu kecil, sehingga mengeluarkan suara gemuruh… Saya katakan, "Menabuh bedug dengan tujuan di atas adalah boleh, bahkan masuk dalam bidah yang terpuji."
Demikianlah pendapat KH Hasyim Asy'ari menyikapi beduk yang berkembang menjadi bagian tradisi Islam di Indonesia. Gurunya pada guru ini berpendapat menabuh beduk diperbolehkan, dan bahkan masuk dalam bid'ah yang terpuji.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Perbedaan Pandangan Para Pendiri NU Tentang Kentongan
Mengutip tebuireng.online, perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah wajar, karena masing-masing memiliki dalil atau dasarnya sendiri. Hal tersebut sebagaimana para ulama salafus saleh yang juga saling berbeda pendapat dalam memutuskan masalah, seperti Imam ar Rofi’i dan Imam an Nawawi, al Ghazali dan Ibn Rusyd dan juga ulama-ulama yang lain.
Sama dengan penerus para ulama terdahulu, ulama NU juga sering berbeda pandang dalam menyikapi suatu permasalahan. Namun, mereka tetap bersatu bersama-sama membangun NU. Bukan cuma ulama NU yang sekarang, pada awal berdirinya NU terdapat perbedaan pandangan di antara mereka.
Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Faqih Maskumambang Gresik. Mari kita simak kisahnya! Perbedaan sikap dan pandangan itu efeknya sampai sekarang dirasakan di Tebuireng.
Sebuah Kisah Teladan
Kiai Faqih, Maskumambang, Gresik memiliki hubungan yang sangat akrab dengan KH Hasyim Asy'ari karena senasib dan seperjuangan dalam mencari ilmu serta dengan guru yang sama. Ketika Ormas NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Kota Surabaya, keakraban mereka pun semakin tinggi.
Mereka berdua didaulat oleh para kiai untuk menduduki jabatan dalam rrganisasi tersebut. Yaitu KH Hasyim dilantik sebagai Rais Akbar dan Kiai Faqih sebagai Wakil Rais Akbar. Keakraban mereka dalam menjalankan roda organisasi bukannya tanpa perbedaan. Mereka pernah tidak sepaham dalam menanggapi satu masalah yang berhubungan dengan hukum pemakaian kentongan.
Setidaknya, sejak tahun 1918, 1926 dan bertahan hingga kini, NU tiap bulannya sudah menerbitkan Jurnal Ilmiah. Tradisi keilmuan yang kuat dari para ulama atau kiai NU inilah sebenarnya yang menjadi cikal bakal ormas Islam terbesar di Indonesia ini.
Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama tersebut, Hadratus Syekh menuliskan fatwa bahwa penggunaan kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil salat dalam hukum Islam. Dasar dari pendapat beliau itu adalah bahwa penggunaan alat itu tidak ditemukan dalilnya.
Hadratus Syekh, begitu beliau biasa disebut memang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat menguasai ilmu hadis. Karena itu sangat wajar apabila beliau berpendapat seperti itu. Sebab memang tidak ditemukan dalil shorih (jelas) mengenai kebolehan penggunaan alat tersebut.
Ada sebuah argumen beliau, adanya dalil tersebut hanya menjelaskan tentang kentongan yang mirip dengan lonceng yang biasa dipakai kaum Nasrani sebagai pengingat di setiap waktu ibadahnya.
Hal itu sebagaimana yang bisa kita baca kini dalam kitab ar Risalah al Musammah bi al Jasus fi Bayani Hukmi an Naqus, bahwa Kiai hasyim menjelaskan bahwa beliau pernah mendengar dari gurunya yaitu Syaikh Muhammad Syu’aib ibnu Abdurrahman al Maghribi tentang kentongan
Dalam penjelasan tersebut diterangkan bahwa kentongan itu merupakan alat yang digunakan umat Nasrani sebagai pengingat di setiap waktu ibadahnya.
Advertisement
Tradisi Saling Menghormati Pendapat
Pendapat tersebut disanggah oleh Kiai Faqih, Maskumambang, Gresik. Dalam penerbitan bulan berikutnya jurnal tersebut, Kiai Faqih menyatakan bahwa kentongan boleh digunakan. Alasan beliau adalah kentongan diqiyaskan (disamakan) dengan beduk sebagai alat pemanggil salat. Jika beduk boleh digunakan tentunya kentongan juga boleh digunakan.
Segera setelah uraian Kiai Faqih itu muncul, KH M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama se-Jombang dan para santri senior beliau, untuk berkumpul di Pesantren Tebuireng, Jombang. Beliau lalu memerintahkan kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas.
Meski berbeda pandangan, akan tetapi keduanya saling menghormati. Pernah, suatu saat ketika Kh Hasyim Asy'ari berkunjung ke Gresik, Kiai Maskumbambang meminta santrinya menyembunyikan kentongan. Sikap ini diambil beliau karena penghormatan beliau terhadap KH Hasyim Asy’ari.
Setelah selesai melaksanakan tugas, para santri pun menghadap kembali kepada sang Kiai. Salah satu santri maju kehadapan Kiai Faqih dan berkata dengan polosnya.
“Maaf Kiai, amanat Kiai kepada kami untuk menurunkan kentongan selama kedatangan Kiai Hasyim Asy’ari sudah kami laksanakan,” kata si santri.
Sontak saja KH Faqih menjadi sangat malu. Pasalnya kiai yang disinggung dalam amanat beliau itu sudah duduk sedari tadi. Tiada lain beliau adalah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Rupanya para santri tidak tahu bahwa yang berada di hadapan kiai mereka adalah sang Hadratus Syekh.
Dengan tersenyum menyimpan malu, KH. Faqih pun berkata kepada para santrinya: “Ya sudah, sini kalian semua cium tangan Kiai Hasyim Asy’ari,”
Dari kisah di atas, kita tahu bahwa Kiai Hasyim ketika itu begitu teguh terhadap pendapatnya. Ketika ulama-ulama yang lain bertolak belakang dengan Hadratus syekh, beliau dan juga ulama yang lain tetap dapat saling menghormati.
Minimal, Kiai Hasyim tidak melarang secara umum, namun hanya melarang secara khusus terhadap pesantren beliau yaitu Pesantren Tebuireng. Oleh karena itu pula, sampai sekarang Pesantren Tebuireng tidak pernah memakai kentongan sebagai pengingat akan masuknya waktu salat. Hanya menggunakan beduk sebagai iringan pra-adzan.
Tim Rembulan