Liputan6.com, Jakarta - Kemajuan zaman dan teknologi telah berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat,tidak terkecuali dari segi transaksi ekonomi. Penggunaan aplikasi seperti GoPay dan GoFood menjadi pilihan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi saat ini.
Belakangan ini tengah marak diperbincangkan di mana beredar sebuah tulisan yang menyebut bahwa transaksi menggunakan aplikasi GoPay dan GoFood adalah riba. Mengapa demikian?
Advertisement
Baca Juga
Alasannya menyebutkan bahwa riba terjadi akibat bersatunya akad utang yang direpresentasikan oleh fitur deposit GoPay dengan diskon. Diskon berupa potongan harga akibat penggunaan deposit dalam transaksi ini yang kemudian disebut oleh salah satu ustaz sebagai riba.
Menurut dia, riba terjadi akibat mengutangi perusahaan penyedia layanan GoPay, OVO dan GoFood selanjutnya pihak yang mengutangi mendapat imbal manfaat berupa potongan harga.
Lantas, bagaimana Islam memandang transaksi dengan uang digital semacam ini?
Saksikan Video Pilihan ini:
Hukumnya dalam Pandangan Islam
Mengutip nu.or.id terkait pandangan ini, ada beberapa poin yang dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah dalam penggunaan aplikasi GoPay, OVO, maupun GoFood sudah terbebas dari riba atau belum.
Pertama, dalam fitur GoPay, OVO dan Go-Food, semua barang yang dipesan sudah ditetapkan harganya oleh perusahaan. Jika imbalan berupa potongan harga itu adalah disebabkan diskon harga makanan, mengapa diskon ini tidak boleh diberikan? Padahal harga produk yang dijual sudah jelas.
Sama seperti dengan seandainya ada seorang pedagang baju dititipi uang oleh rekannya. Kebetulan rekannya tersebut hendak belanja baju ke tempat si pedagang yang dititipinya. Dan pedagang sudah menetapkan bahwa saat itu tengah ada diskon pembelian buat semua pelanggan.
Lantas, si rekan yang tengah butuh baju tadi membeli apa yang diperlukannya ke pedagang tersebut sehingga ia berhak menerima diskon dari pedagang, apakah diskon semacam ini dipandang sebagai riba? Tentu tidak, bukan?
Bukankah pula uang yang dititipkan tersebut termasuk akad wadi’ah. Sebagaimana deposit yang terdapat dalam fitur GoPay adalah juga mengikuti prinsip akad wadi’ah yadu al-dhammanah (akad titip dengan jaminan keamanan nilai).
Kedua, akad wakalah ditambah imbalan kepada pihak driver tidak dipertimbangkan dalam hal ini disebut menjadi alasan mengapa tergolong riba. Dinilai bahwa si driver telah mengutangi terlebih dahulu pihak konsumen untuk membeli barang, lalu barang yang sudah ada di tangannya dijual kembali dengan mengambil keuntungan.
Kemudian menyebut akad ini sebagai akad jual beli yang digabung dengan pesan. Selisih harga beli dari toko dengan harga yang diberikan kepada konsumen driver dipandang sebagai riba karena faktor utang piutang tersebut.
Apakah utang tersebut merupakan yang dikehendaki oleh konsumen ataukah tidak? Bukankah utang itu merupakan hal yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh konsumen? Andaikan pihak yang dipesani sudah datang dengan membawa barang yang dipesan, tentu pihak pemesan pun juga ada jaminan untuk membayarnya. Yang menjamin adalah undang-undang perlindungan produsen dan konsumen.
Keberadaan Undang-undang ini dibentuk disebabkan ada faktor relasi yang harus dijamin seiring perlindungan konsumen dan produsen yang saat transaksi tidak mengenal satu sama lain dan harus ada perusahaan lain yang bergerak menjadi wasîlah (perantara) di antara keduanya.
Advertisement
Bertujuan untuk Kemaslahatan Umat
Utang konsumen merupakan imbas samping dari pemakaian aplikasi saat pengguna jasa aplikasi GoPay, OVO dan Go-Food melakukan deal pemesanan makanan dengan harga yang sudah tertera. Jadi, sampai di sini, seharusnya berlaku kaidah fiqih bahwasanya:
العبرة في العقود للمقاصد و المعاني لا للألفاظ والمباني
Artinya: “Akad bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan juga makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan sekadar ucapan dan juga ungkapan.”
Maslahah yang dikehendaki dan berlaku universal pemakaian aplikasi GoPay, OVO dan Go-Food adalah kemudahan konsumen mendapatkan kebutuhannya sementara ia masih bisa melaksanakan tugas pokoknya yang lain. Kemaslahatan bagi perusahaan adalah lancarnya jasa yang ia tawarkan diorder oleh konsumen.
Keharusan memerinci satu per satu agar tidak memenuhi unsur jahâlah dalam jual beli justru dapat berujung pada mempersulit konsumen dan bisa menambah cost (biaya) yang dikeluarkannya. Kesulitan semacam ini termasuk bagian dari mafsadah yang harus dihindari. Prinsip yang harus dijaga produsen adalah semakin banyak konsumen melakukan order, semakin banyak pula keuntungan yang ia dapatkan.
Sebaliknya, semakin sedikit konsumen melakukan order, semakin sedikit pula keuntungan yang diterimanya. Agar banyak mendapatkan order, maka ia harus amanah, sebagaimana hal ini adalah praktik yang disetujui oleh syariat. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.