Asal Usul Nama Sunan Kalijaga Berbagai Versi, Salah Satunya dari Cirebon

Ada beberapa versi yang dipercaya oleh masyarakat mengenai asal usul nama tersebut, meski secara asal-usul belum ada kevalidan data terkini.

oleh Panji Prayitno diperbarui 28 Mar 2023, 14:22 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2023, 14:22 WIB
Asal Usul Nama Sunan Kalijaga Berbagai Versi, Salah Satunya Dari Cirebon
Umat muslim berziarah ke makam Raden Syahid atau Sunan Kalijaga di Desa Kadilangu, Demak, Jawa Tengah, Selasa (29/3/2022). Setelah sempat ditutup akibat pandemi Covid-19, makam salah satu Wali Songo tersebut ramai didatangi peziarah sebagai tradisi jelang Ramadhan. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Bernama asli Raden Sahid, salah satu Wali Songo ini memiliki banyak julukan dalam berbagai versi. Namun, satu nama yang melegenda dan banyak dikenal masyarakat adalah Sunan Kalijaga.

Beberapa nama lain dari Sunan Kalijaga adalah Syaikh Malaya, Lokajaya, Pangeran Tuban dan Abdurrahman. 

Lalu, dari mana asal-usul nama Sunan Kalijaga? Berikut ulasannya yang dirangkum dari berbagai sumber.

Sebenarnya, penamaan Sunan Kalijaga hingga kini masih belum jelas asal-usulnya. Namun, ada beberapa versi yang dipercaya oleh masyarakat mengenai asal usul nama tersebut.

Berasal dari bahasa Arab ‘Qadhi Joko’

Sunan Kalijaga dikenal sebagai salah satu walisongo yang menjadi ‘qadhi’ (hakim) di Demak. Masyarakat Jawa menyebutnya dengan nama ‘Qadhi Joko Said’ atau ‘Qadhi Joko’. 

Karena mereka belum lancar mengucapkannya, maka yang muncul adalah “Kalijogo” atau Kalijaga.

Ketidakfasihan masyarakat mengucapkan bahasa Arab bisa dilihat dari kata-kata lain. Seperti Kalimat Syahadat yang disebut dengan Kalimosodo, Maulid disebut Mulud, dan kata ‘Asyura disebut Suro.

Ketika menjadi murid Sunan Bonang, saat gurunya Sunan Bonang menancapkan tongkatnya di pinggir kali. Ia meminta Raden Sahid menjaga tongkatnya hingga tiga tahun lamanya. 

Setelah itu, Raden Sahid mulai dikenal dengan sebutan “Jogo Kali” yang akhirnya berubah menjadi “Kali Jogo” atau Kalijaga.

Ada yang mempercayai nama ‘Kalijaga’ berasal dari sebuah desa yang ada di Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon

Hingga kini di desa tersebut masih ada petilasan Sunan Kalijaga seperti masjid dan monyet di sekitarnya.

Bagi warga setempat, banyaknya monyet di daerah masjid tersebut memiliki nilai sejarah, mitos, dan juga cerita mistik yang berhubungan dengan Sunan Kalijaga dan warga lokal. 

Dikutip dari laman history of Cirebon, Raden Sahid mendapatkan julukan Kalijaga bukan karena bersemedi mengikuti perintah gurunya Sunan Bonang untuk menjaga tongkatnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Metode Dakwah

Julukan itu didapatkan karena dahulunya, selepas berguru kepada Sunan Ampel dan Sunan Bonang, Sunan Kalijaga ditugaskan membantu dakwah Sunan Gunung Jati di Pasundan. 

Adapun pusat dakwah Raden Sahid terletak di Desa Kalijaga. Hal ini selaras dengan Babad Demak yang mengabarkan bahwa pada awal dakwahnya, Raden Sai'd ditugaskan Walisongo berdakwah di Jawa Barat sebelum akhirnya kembali ke Demak (Kadilangu).

Bukti lain yang memperkuat kisah versi Cirebon ini merujuk pada tempat (pusat) dakwah Walisongo. 

Mayoritas penamaan atau julukan Walisongo mengacu pada tempat pusat dakwah yang Walisongo lakukan sepeti Sunan Ampel, Gresik, Giri, Bonang, Drajat dan Gunungjati. 

Dalam menyiarkan agama Islam di Tanah Jawa menggunakan metode akulturasi budaya melalui pendekatan seni dan kearifan budaya lokal (local wisdom).

Sunan Kalijaga dikenal pintar dalam menggabungkan ajaran Islam dengan tradisi budaya yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Jawa saat itu. 

Berbagai kisah peninggalan sejarah, baik berupa serat, tembang, gubahan puitis, falsafah, rancangan beserta lakon wayang kulit, formasi alat gamelan, sampai tutur cerita lisan telah tersebar luas dan tidak lekang oleh waktu.

Menurut John Hady Saputra dalam buku ‘Mengungkap Perjalanan Sunan Kalijaga’, Sunan Kalijaga menggunakan pola dakwah yang sama dengan gurunya, Sunan Bonang yang cenderung “sufistik berbasis salaf”.

Sunan Kalijaga memanfaatkan kesenian budaya sebagai sarana berdakwah, salah satunya dengan wayang yang kala itu tengah digandrungi sebagian besar Masyarakat Jawa. 

Mereka tertarik dengan pertunjukan wayang yang digelar oleh Sunan Kalijaga. Masyarakat dari berbagai kalangan yang ingin menyaksikan pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga tidak memungut biaya sepeser pun. 

Namun, Sunan Kalijaga hanya meminta orang-orang yang datang menyaksikan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai ganti biaya tiket masuknya.

Sunan Kalijaga juga memanfaatkan jenis kesenian lainnya seperti tembang. Beberapa tembang ciptaan Sunan Kalijaga sampai sekarang masih sering dinyanyikan oleh masyarakat Jawa, seperti tembang ‘Gundul-Gundul Pacul’ dan ‘Lir-ilir’.

Dalam tembang ‘Lir-ilir’, tersirat makna bahwa manusia diharapkan dapat bangkit dari kesedihan, berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan, dan mengumpulkan amal baik sebanyak mungkin.

Selain itu dalam bidang kesenian, Sunan Kaliaga juga menyiarkan Islam melalui topeng, kostum pentas, seni gamelan, seni ukir, bahkan hingga bedug masjid.

Ia juga diketahui menyumbangkan banyak ide seperti perancangan alat pertanian, desain corak pakaian, permainan tradisional, pendidikan politik dan sumbangsih bentuk ketatanegaraan di kalangan elite kerajaan. (Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, 2016).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya