Liputan6.com, Jakarta - Topik habib, sayyid, atau syarif selalu menarik dikupas. Keturunan Nabi Muhammad SAW itu memang memiliki tempat tersendiri di hati umat Islam dan dimuliakan sebagai dzurriyah Rasulullah SAW.
Pun begitu, syarifah yakni perempuan keturunan Nabi Muhammad SAW, meski tak sepopuler habib banyak pula diperbincangkan.
Advertisement
Baca Juga
Syahdan, ada seorang jemaah Al-Bahjah yang menanyakan kepada KH Yahya Zainul Maarif atau Buya Yahya mengenai syarifah yang bukan habib. Masalahnya, ada yang menghukumi zina bagi syarifah yang menikah dengan ahwal. Â
Pertanyaan dan persoalan ini memang banyak menjadi pertanyaan dalam masyarakat terkait hukum pernikahan syarifah.
"Jika ada syarifah menikah dengan seseorang yang menikah dengan pria ahwal atau bukan habaib. Ada pendapat yang menyebut hukumnya haram dan sama seperti zina. Pertanyaannya apakah boleh kita menggunakan pendapat tersebut, atau hukumnya bagaimana?," tanya salah seorang jemaah kepada Buya Yahya, sebagaimana dibacakan pembawa acara.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Kafa'ah atau Keseimbangan
Buya Yahya menjawab pertanyaan tersebut dengan menjelaskan hukum kafa’ah, yakni keseimbangan atau kesesuaian. Bolehkah keturunan nabi menikah dengan kalangan orang biasa?
"Pertama adalah hukum kafa'ah, hukum keseimbangan atau kesesuaian. Sebelum kita berbicara tentang hukum syariat Islam, syariat fiqih, kafa'ah ini disepakati oleh orang yang berakal," ujar Buya Yahya menjelaskan.
"Zaman dulu biasanya raja itu besanan sama raja, orang kaya dengan orang kaya, itu sudah kafa'ah. Itu sudah kesepakatan orang berakal. Dan kafa'ah itu dimiliki oleh kaum wanita," lanjutnya.
Buya Yahya menjelaskan maksudnya adalah jika seseorang memiliki anak gadis, maka ia berhak mempertahankan kemuliaan di dalam keluarganya.
Disadari atau tidak seorang bapak yang mempunyai seorang putri saat hendak mencarikan suami untuk putrinya akan memilih calon suami yang sepadan atau bahkan lebih dari putrinya sendiri dalam kecakapan kekayaan atau nasab. Biasanya gara-gara berpacaran atau cinta terlebih dahulu itulah seorang menikah akan melanggar kafa’ah ini yang sekaligus melanggar orangtua.
Kafa’ah adalah untuk menjaga kelestarian dalam sebuah pernikahan. Kemudian di dalam Islam, kafa’ah sangat penting dan sangat diperhatikan. Sehingga menjadi kesepakatan ulama akan adanya kafa’ah dalam pernikahan.
Hanya nanti ada perbedaan di antara para ulama tentang rinciannya, seperti kafa’ah itu dalam hal apa saja. Yang jelas kafa’ah itu ada. Itu bukan termasuk diskriminasi. Akan tetapi dengan adanya kafa’ah ini justru ingin menjaga agar pernikahan lestari dan tidak ada yang saling merendahkan.Â
Advertisement
Keseimbangan Nasab
Adapun pembahasan ulama tentang kafa’ah finnasab. Itu apakah kafa’ah finnasab ini adalah syarat luzum atau syarat shihhah (kecuali kafa’ah dalam agama). Jumhur ulama mengatakan itu adalah syarat luzum, bukan syarat shihhah.
Artinya, jika ada seorang yang menikah tanpa sekufu maka secara fiqih belum dianggap lazim, artinya jika ada wali mujbir yang menikahkan putrinya tidak dengan sekufu maka sang putri berhak untuk membatalkan pernikahan tersebut.
Atau sebaliknya, jika seorang putri menikah tidak dengan sekufu mungkin karena jauh dari tempat walinya lebih dari dua marhalah lalu dinikahkan oleh seorang hakim, maka seorang wali pun bisa membatalkan pernikahan tersebut.
Mengenai persoalan zina antara pernikahan syarifah dengan ahwal, bagi Buya Yahya hal tersebut bukan zina.
"Pernikahaannya adalah sah, pernikahannnya bukan zina. Soal melanggar kafa'ah iya. Tapi itu bukan zina," ujarnya.
"Memang orang seperti ini telah melakukan kesalahan, akan tetapi kita juga tidak boleh mengatakan itu zina. Sebab zina adalah dosa besar dan dalam perzinaan ada hukum yang sangat banyak berkenaan dengan perzinaan,"
Memang orang seperti ini telah melakukan kesalahan, akan tetapi kita juga tidak boleh mengatakan itu zina. Sebab zina adalah dosa besar dan dalam perzinaan ada hukum yang sangat banyak berkenaan dengan perzinaan.
"Perlu kami ingatkan, kita tetap mendukung kafaah. Orang diluar habaib tidak perlu mengatakan diskriminasi. Itu karunia Allah, nasab itu karunia, Habaib u tidak pernah meminta. Jadi jangan ada yang menyebut diskriminasi," ungkapnya.
Penulis: Nugroho Purbo
Â