Liputan6.com, Jakarta - Inara Rusli melayangkan gugatan cerai terhadap Virgoun di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Selain meminta hak asuh dan nafkah anak, Inara juga menuntut nafkah mut’ah sebesar Rp10 miliar dalam gugatannya.
Permintaan uang mut’ah tersebut dinilai cukup besar dan menimbulkan pertanyaan dari publik. Melalui akun media sosialnya, ibu tiga anak ini mengungkap alasan meminta Rp10 miliar.
"Nanti kalau ditulis seikhlasnya malah enggak dikasih," tulis Inara saat menjawab pertanyaan warganet di Instagram beberapa hari lalu.
Advertisement
Baca Juga
Terlepas dari itu, istilah uang mut’ah memang dapat dijumpai pada kasus perceraian pasangan suami-istri yang bukan disebabkan karena salah satunya meninggal dunia.
Lantas, apa arti mut’ah dan bagaimana hukumnya dalam Islam? Simak ulasan berikut yang mengutip dari penjelasan para ulama.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penjelasan Uang Mut’ah dalam Islam
Arti mut’ah secara bahasa adalah kesenangan. Menurut mazhab Syafi’i, mut’ah adalah nama untuk menyebut harta-benda yang wajib diberikan seorang (mantan) suami kepada (mantan) isterinya karena ia menceraikannya. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 3, h. 319)
Mengacu pada penjelasan tersebut, pemberian uang mut’ah kepada mantan istri menurut mazhab Syafi’i adalah wajib. Namun, tidak semua perceraian mengharuskan adanya pemberian mut’ah.
Mengutip NU Online, para ulama sepakat bahwa tidak ada uang mut’ah dalam kasus cerai mati sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi.
اَلْفُرْقَةُ ضَرْبَانِ فُرْقَةٌ تَحْصُلُ بِالْمَوْتِ فَلَا تُوجِبُ مُتْعَةً بِالْإِجْمَاعِ
Artinya: “Perpisahan itu ada dua macam, pertama perpisahan yang terjadi sebab kematian. Maka dalam kasus ini menurut ijma’ para ulama tidak mewajibkan memberikan mut’ah”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Raudlah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Bairut-al-Maktab al-Islami, 1405 H, juz, 7, h. 321)
Hal penting yang harus diingat adalah bahwa perempuan yang dicerai berhak mendapatkan mut’ah apabila perceraian itu lahir dari inisiatif pihak lelaki. Artinya, jika inisiatif dari pihak perempuan atau disebabkan oleh pihak perempuan maka tidak ada mut’ah.
وَكُلُّ فُرْقَةٍ مِنْهَا أَوْ بِسَبَبٍ لَهَا فِيهَا لَا مُتْعَةَ فِيهَا كَفَسْخِهَا بِإِعْسَارِهِ أَوْ غَيْبَتِهِ أَوْ فَسْخِهِ بِعَيْبِهَا
Artinya: “Setiap perceraian yang terjadi karena inisiatif dari pihak perempuan atau disebabkan oleh pihak perempuan maka tidak ada mut’ah, seperti pihak perempuan menggugat cerai suaminya karena si suami tidak mampu mencukupi nafkahnya atau menghilang, atau pihak lelaki mengajukan tuntutan cerai karena adanya aib pada isterinya.” (Taqiyuddin Muhamman Abu Bakar al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, Damaskus-Dar al-Khair, 1999 M, juz, 1, h. 373)
Advertisement
Penjelasan Uang Mut’ah dalam Islam
Muhyiddin Syarf Nawawi dalam Raudlah ath-Thalibin menjelaskan, jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dan belum sempat disetubuhi (dukhul) maka harus dilihat terlebih dahulu apakah ia memberikan uang mut’ah atau tidak.
Perempuan yang dicerai sebelum disetubuhi maka ia hanya berhak mendapatkan separuh dari maharnya. Maka apabila separuh maharnya sudah diberikan, maka ia tidak wajib memberikan mut’ah kepada mantan istrinya. Namun jika separuh maharnya belum diberikan, maka ia wajib memberikan mut’ah menurut pendapat yang masyhur di kalangan madzhab syafi’i.
Sedangkan jika sudah disetubuhi, maka menurut qaul jadid yang al-azhhar, ia (perempuan yang diceraikannya) berhak mendapatkan mut’ah.
وَفُرْقَةٌ تَحْصُلُ فِي الْحَيَاةِ كَالطَّلَاقِ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ نُظِرَ إِنْ لَمْ يَشْطُرْ الْمَهْرَ فَلَهَا الْمُتْعَةُ وَإِلَّا فَلَا عَلَى الْمَشْهُورِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا الْمُتْعَةُ عَلَى الْجَدِيدِ الْأَظْهَرِ
Artinya: “(yang kedua) adalah perpisahan yang terjadi semasa hidup sebagaimana talak atau perceraian. Jika talak itu terjadi sebelum dukhul (disetubuhi) maka harus dilihat. Apabila pihak lelaki belum memberikan maharnya yang separo maka ia (perempuan yang dicerai) berhak mendapatkan mut’ah, namun jika maharnya yang separo sudah diberikan maka tidak ada mut’ah baginya sebagaimana pendapat yang masyhur di kalangan madzhab syafi’i. Sedangkan jika perceraian itu terjadi setelah dukhul maka ia berhak menerima mut’ah sebagaimana qaul jadid yang azhhar." (Raudlah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, juz, 1, h. 321)
Wallahu'alam.