Kisah 3 Sahabat Nabi yang Masuk Islam Usai Diyakinkan Raja Nasrani

Kisah tiga Sahabat Nabi Muhammad SAW yang masuk Islam atau menjadi mualaf di bulan Safar yaitu Amr bin Ash, Khalid bin Walid, dan Utsman bin Thalhah. Sejumlah sejarawan bahkan membuat judul khusus untuk membahas proses tiga sahabat ini menjadi seorang Muslim.

oleh Putry Damayanty diperbarui 30 Agu 2023, 12:30 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2023, 12:30 WIB
Safari Gurun
Safari gurun memberikan pengalaman wisata yang hebat menyaksikan lanskap lautan gurun pasir, oryx Arab, dan sejuta atraksi wisata lainnya. Foto: Rochmanuddin/ Liputan6.com.

Liputan6.com, Jakarta - Safar merupakan bulan kedua dalam hitungan kalender hijriyah. Di bulan Safar terdapat sejumlah peristiwa penting dan bersejarah yang terjadi bagi umat Islam.

Di antaranya ialah kisah tiga sahabat Nabi Muhammad SAW yang masuk Islam atau menjadi mualaf.

Tiga sahabat Nabi yang masuk Islam di bulan Safar tersebut ialah Amr bin Ash, Khalid bin Walid, dan Utsman bin Thalhah. Sejumlah sejarawan bahkan membuat judul khusus untuk membahas proses tiga sahabat ini menjadi seorang Muslim.

Salah satunya adalah Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fit Tarikh yang melaporkan begini, “Pada bulan Shafar 8 H, Amr bin Ash beserta dua sahabatnya, Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan masuk Islam.” (Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, [2010], juz II, hal. 109)

Awal mula kesadaran Amr bin Ash adalah ketika ia bertemu dengan Raja Najasyi untuk melakukan diplomasi agar sang raja mau mengusir umat Muslim yang hendak berlindung di negerinya. Dalam pertemuan itu Amr mendapat perenungan yang akhirnya membuatnya tertarik untuk menjadi mualaf.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Kronologi Masuk Islam

Sebelum peristiwa hijrah ke Madinah, umat Muslim pernah hijrah ke Ethiopia yang saat itu di bawah kepemimpinan raja adil dan bijaksana bernama Negus, seorang Nasrani yang taat. Berbagai penindasan yang dialami umat Muslim di tanah Makkah membuat mereka harus segera mencari tempat aman agar bisa menjalani hidup lebih tenang dan beribadah lebih leluasa. Pada bulan Rajab tahun kelima dari kenabian sejumlah sahabat hijrah ke Ethiopia.

Saifur Rahman al-Mubarakpuri melaporkan, jumlah umat Muslim yang hijrah ke Ethiopia saat itu sebanyak 16 orang, yang terdiri dari 12 laki-laki dan 4 perempuan. Rombongan ini dipimpin oleh Utsman bin Affan.

Perjalanan yang dilakukan pada malam hari secara sembunyi-sembunyi ini hampir saja digagalkan oleh orang Quraisy. Beruntung, saat rombongan tiba di pinggir pantai untuk menyeberang, datang dua kapal yang bisa digunakan untuk moda transportasi. Ketika orang Quraisy sudah tiba di pantai, rombongan Muslim sudah jauh bertolak. Sesampainya di Ethiopia, mereka mendapat perlakuan baik dari penduduk setempat dan dibiarkan untuk menetap di sana. 

Keberhasilan sekelompok umat Muslim mencari perlindungan ini membuat kaum Quraisy marah besar, mereka tidak mau ada orang Muslim yang bisa hidup damai. Akhirnya, diutuslah Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabi’ah untuk melakukan negosiasi kepada raja Negus dengan tujuan mempengaruhi sang raja. Dengan begitu, umat Muslim akan diusir dari Ethiopia. Keduanya membawa sejumlah hadiah untuk diberikan kepada raja.

Sang Raja Memperkuat Keberpihakannya pada Umat Muslim

Sesampainya di istana, keduanya menemui sang raja dan berkata. “Wahai tuan raja, mereka (orang Islam) yang datang ke negeri ini sebenarnya hanya orang-orang bodoh yang telah banyak melakukan keonaran di negeri sendiri. Mereka ke sini bukan untuk mengikuti agama tuan, melainkan membawa agama baru yang mereka ciptakan sendiri. Kami diutus pimpinan kami untuk memberitahukan hal ini. Harapannya, tuan bisa waspada dan mengusir mereka,” rayu keduanya.

Ternyata raja tidak percaya begitu saja atas ucapan kedua orang itu. Untuk mendapat informasi yang berimbang, raja mengundang perwakilan umat Muslim untuk menyampaikan fakta sebenarnya. Ditunjuklah Ja’far bin Abu Thalib untuk menjadi juru bicara umat Muslim. Saat raja bertanya status kelompoknya di Makkah, Ja’far menjawab begini: 

“Dulu kami adalah orang-orang jahiliah yang menyembah berhala. Hingga kemudian Allah mengutus seorang nabi untuk membimbing kami ke jalan yang benar. Berhala-berhala itu akhirnya kami tinggalkan. Bersamaan dengan itu, kami juga diajari nilai-nilai moral kehidupan yang baik, meninggalkan ajaran-ajaran masa lalu yang bobrok.”

Raja Negus yang sudah mempelajari ciri-ciri kehadiran nabi akhir zaman itu meyakini bahwa apa yang disampaikan Ja’far sebagai kebenaran. Sang raja kemudian meminta Ja’far membacakan sebagian ayat Al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi. Ja’far kemudian membaca, “Kaf ha ya ‘ain shad”. Seketika raja menangis dan membenarkan ajaran yang dibawa oleh nabi yang disebut umat Muslim. (Saifur Rahman al-Mubarakpuri, Ar-Rahiqul Makhtum, 2013, hal. 92-95). 

Tidak hanya itu, saat raja juga meminta Ja’far untuk menjelaskan perihal Nabi Isa, Ja’far menjelaskan sesuai dengan pandangan agama Islam, yaitu Isa sebagai nabi sekaligus rasul, bukan Tuhan. Lagi-lagi, raja mengiyakan dan semakin memperkuat keberpihakannya kepada umat Muslim. Sejak saat itu, raja mengusir dua delegasi orang Quraisy tadi dan mengembalikan seluruh hadiah yang sudah mereka berikan.

“Wahai Amr, celaka kamu! Patuhlah padaku dan ikuti Muhammad! Sungguh ia berada dalam kebenaran. Mereka yang menentangnya akan bernasib sama seperti Fir’aun ketika melawan Musa,” kata sang raja.

Peristiwa ini sangat terngiang di benak Amr dan membuatnya memeluk Islam tapi masih ia sembunyikan status agamanya agar tidak diketahui orang Quraisy. Hingga pada tahun ke-8 H, bersama Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, menemui Rasulullah SAW untuk secara terang-terangan dibaiat menjadi seorang Muslim.Wallahu a’lam. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, juz II, hal. 109-110).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya