Liputan6.com, Cilacap - Abu Nawas merasa kesal dengan perbuatan keji sang Raja. Akan tetapi kemudian, ia berhasil membalasnya hanya dengan bekal makanan basi dan tongkat besi.
Pembalasan Abu Nawas ini membuat banyak perabot istana raja yang hancur bak kiamat. Kisah ini terdapat dalam buku yang berjudul “Kisah 1001 malam: Abu Nawas Sang Penggeli Hati” karya MB. Rahimsyah.
Advertisement
Baca Juga
Syahdan, Abu Nawas merasa sangat sedih karena mendengar kabar dari istrinya. Pagi tadi beberapa atas perintah Raja, pekerja kerajaan membongkar dan terus menggali rumah Abu Nawas tanpa seizin pemiliknya.
Ini dilakukan sebab Baginda Raja bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terkubur perhiasan yang tak ternilai harganya. Mimpi yang dianggap sesuatu yang benar itu, akhirnya baginda Raja memerintakan untuk segera menggali tanah yang di atasnya terdapat bangunan rumah Abu Nawas.
Namun, setelah mereka terus menggali, ternyata perhiasan itu tidak ditemukan. Mereka kembali dengan tangan kosong. Karena kesal atas kegagalannya, setelah menggali tanah itu, baginda Raja langsung pulang menuju istana dan tidak meminta maaf apalagi sampai mengganti kerugian ini. Tentu saja perilaku ini membuat Abu Nawas sangat kesal dan menaruh dendam.
Abu Nawas lama memeras otak, akan tetapi tidak juga menemukan solusi untuk membalas perlakuan Baginda. Selera makan Abu Nawas juga hilang. Malam beranjak larut, dengan raut muka sedih Abu Nawas tidak beranjak dari tempat duduknya.
Simak Video Pilihan Ini:
Makanan Basi dan Lalat
Pagi harinya, Abu Nawas melihat lalat-lalat itu hinggap di makanan Abu Nawas yang sudah basi. la tiba-tiba tertawa riang.
"Istriku, tolong ambilkan kain untuk menutup makananku dan sebatang besi,” Abu Nawas berkata kepada istrinya.
"Buat apa?" tanya istrinya heran.
"Membalas Baginda Raja,” kata Abu Nawas singkat.
Dengan muka berseri-seri Abu Nawas bergegas menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata,
"Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa izin dari hamba dan berani memakan makanan hamba,”
"Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" sergap Baginda kasar.
"Lalat-lalat ini, Tuanku.” kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya. "Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini,”
"Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?"
Advertisement
Mengusir Lalat hingga Perabot Istana Rusak
"Hamba hanya menginginkan izin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu.”
Baginda Raja tidak bisa mengelakkan diri menolak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat surat izin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.
Tanpa menunggu perintah, Abu Nawas mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca.
Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan Baginda Raja.
Raja Menyadari Kekeliruannya
Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya.
Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu.
Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas yang nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah menjadi garang dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang yang mengusiknya. Setelah puas, Abu Nawas pulang dengan perasaan lega dan gembira.
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Nurul Huda 1 Cingebul
Advertisement