Liputan6.com, Cilacap - Peristiwa kehancuran semesta alam disebut kiamat. Sebelum kiamat terjadi, terlebih dahulu diawali dengan tanda-tanda yang mengarah kepada kehancuran alam semesta. Tanda-tanda kiamat bisa berupa tanda-tanda kecil (sughra) atau tanda-tanda besar (kubra).
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Dalam perspektif agama, tanda-tanda kiamat itu bisa ditemukan dalam Al-Qur'an maupun hadis. Belakangan, para ilmuwan perlahan paham, apa yang disebut dalam dalil tersebut nyata adanya. Salah satunya adakah kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia itu sendiri.
Pemanasan global yang dampaknya dirasakan masyarakat dunia, berdasarkan penelitian ternyata menyebabkan ancaman yang besar bagi kehidupan manusia dan semesta alam.
Salah satunya menyebabkan pohon-pohon mengalami gangguan bahkan akan berhenti ber-fotosintesis.
Melansir CNBC Indonesia, pemanasan global mulai menunjukkan tanda "kiamat" yang kini sudah mulai muncul di hutan, bahkan bisa membuat manusia sesak nafas.
Padahal, hutan dikenal fungsinya sebagai menjadi paru-paru bumi karena pohon yang menjalankan fotosintesis menyerap karbon dioksida dan melepas oksigen ke atmosfer.
Simak Video Pilihan Ini:
Fotosintesis Akan Terganggu Bahkan Berhenti
Pohon di hutan biasa terpapar sinar matahari dan menyerap air dengan akarnya. Namun, karena matahari terlalu terik membuat temperatur terlampau panas, sehingga bisa membuat proses fotosintesis berhenti.
Penelitian oleh Gregory Goldsmith dari Chapman University in California beserta tim, menemukan beberapa bagian hutan tropis yang mendekati batas temperatur sehingga mengganggu proses fotosintesis.
"Studi menunjukkan bahwa dedaunan di hutan tropis di tempat dan waktu tertentu telah menembus batas temperatur kritis," kata Goldsmith dikutip dari CNBC Indonesia.
Pohon di hutan tropis, bisa menjalankan proses fotosintesis di suhu hingga 46,7 derajat Celcius. Tapi peneliti itu menjelaskan bahwa kemampuan spesies berbeda bergantung kepada populasi hutan, jumlah daun di pohon, dan kanopi.
Oleh karena itu, tim dari Northern Arizona University menggunakan data dari sensor ECOSTRESS NASA untuk mengukur temperatur permukaan bumi, untuk mencari tahu dedaunan di hutan tropis yang "kepanasan" hingga tidak bisa berfotosintesis.
Dari data yang dikumpulkan dari pantauan satelit pada periode 2018-2020 tersebut kemudian divalidasi dengan sensor di permukaan yang ditempatkan di pucuk pohon lima hutan di Brasil, Puerto Rico, Panama, dan Australia.
Analisis menemukan bahwa temperatur di kanopi hutan memuncak di suhu 34 derajat Celcius pada musim kering, meskipun sebagian daun mencapai suhu 40 derajat Celcius. Sebagian kecil daun, yaitu 0,01 persen dari sampel melampaui temperatur krisis (46,7 derajat Celcius) paling tidak sekali sepanjang musim kering.
"Meskipun masih jarang, temperatur ekstrem bisa berdampak bencana kepada fisiologi daun. Bisa digolongkan sebagai peristiwa berdampak luar biasa dengan probabilitas rendah," tulis laporan penelitian.
Menurut laporan ScienceAlert, pohon menutup pori-pori di daunnya yang dinamakan stomata, untuk menghemat air setiap suhu terlalu panas.
Advertisement
Akan Banyak Pohon Mati
Namun, penutupan stomata membuat daun berpotensi rusak karena tidak bisa "mendinginkan diri" lewat proses transpirasi. Pada periode kering, saat tanah mengeras, dampak suku panas bisa makin parah.
"Percaya atau tidak, kita tidak tahu banyak soal alasan pohon mati," kata Goldsmith. Pemahaman sains soal efek panas dan kekeringan, air dan temperatur, terhadap tanaman, masih sangat sedikit.
Kemudian, tim peneliti menggunakan data yang mereka punya untuk menjalankan simulasi untuk memahami respons hutan tropis terhadap kenaikan temperatur dan kekeringan yang makin sering terjadi.
Simulasi menunjukkan bahwa 1,4 persen dari pucuk kanopi hutan bisa berhenti berfotosintesis dalam beberapa waktu ke depan sebagai dampak dari pemanasan global.
Jika pemanasan global melewati 3,9 derajat Celcius, seluruh hutan bisa tidak tahan. Daun bakal kering dan pohon di seluruh hutan mati satu demi satu.
Peneliti menekankan bahwa perhitungan ini hanya probabilitas. Bisa saja, dampak parah terjadi pada temperatur yang berbeda. Oleh karena itu, sangat penting untuk menekan emisi dan mencegah deforestasi untuk melindungi hutan tropis.
Pemanasan Global Akibat Ulah Manusia Perspektif Al-Qur'an
Menukil Istiqdal.co.id via laman Islami Liputan6.com, pemanasan global disebabkan karena perbuatan manusia. Kerusakan di muka bumi dan di lautan tidak lain terjadi karena buah tangan manusia. Dampak dari kerusakan ini kemudian berimbas kepada bukan hanya pelaku kerusakan, tetapi juga kepada seluruh semesta raya. Allah dalam Surat Ar-Rum/30 ayat 41, memperingatkan manusia:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Surat Ar-Rum/30: 41).
Ayat ini umumnya dijadikan sebagai pengingat bahwa pemiliharaan keseimbangan ekosistem adalah tanggungjawab manusia. Adapun sahabat Abu Bakar As-Shiddiq menafsirkan kerusakan di darat dan di laut sebagai kerusakan ucapan dan qalbu manusia. Kerusakan lisan dan qalbu melalui kemungkaran-kemungkaran itu diratapi manusia dan malaikat.
Berbagai macam bencana alam yang berupa erupa kerusakan di darat dan di laut merupakan ulah tangan-tangan manusia yang bodoh dan berdosa. Kekeringan, banjir, gunung meletus, badai, semua itu bukan hanya faktor bencana alam, tapi juga akibat dari kejahilan tangan-tangan manusia.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Ketika ada orang yang sering berbuat dosa itu mati, maka hamba-hamba Allah SWT, seperti manusia, bumi, pohon dan hewan-hewan merasa lega”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement